Setiap menuliskan wacana, "rasa" di hati seperti terbata-bata dan terbebani oleh tuntutan kaidah bahasa dan logika. Padahal rasa tidak ada sangkut pautnya dengan hukum logika. Berulang kali, setiap aku  menulis, hasilnya seperti terasa kaku, garing dan mengekang. Tulisan pun ibarat fatwa filsafat yang menjemukan.
Begitulah omelan pikiranku ketika mengevaluasi bagaimana aku menuliskan ide dan pemikiran. Seperti ada sesuatu yang kurang. Tulisan seperti sayur kekurangan bumbu yang melezatkan. Bukannya mencerahkan, setiap tulisan menjadi terasa seperti makanan yang membuat tenggorokan keselek ketika ditelan.
Namun, mungkin ada benarnya apa yang dikatakan orang bahwa setiap penulis memiliki gaya tersendiri. Ada tulisan yang bercita rasa seni sastra, puisi, cerita atau diari. Ada juga tulisan yang bercita rasa akademik, referensi, teori atau filsafat. Aku pun tidak tahu, tulisanku termasuk jenis yang mana.
Barangkali, kaidah umum yang disepakati sekarang ini, telah membuat nilai tulisan seakan terikat oleh aturan dan kaidah yang dipaksakan. Lihat saja bagaimana kursus-kursus atau tips dan trik menulis disajikan. Buku-buku keterampilan menulis pun disusun sedemikian yang memuat kaidah penulisan.
Padahal, pada waktu dulu, prasasti-prasasti ditulis tidak berdasarkan kaidah penulisan seperti sekarang. Bahkan kitab suci pun disajikan tidak dalam bentuk seperti karangan manusia kebanyakan. Bahasanya kadang terdengar aneh. Urutan dan kronologinya kadang acak tidak beraturan.
Tetapi walau tidak terikat oleh aturan kaidah penulisan seperti sekarang, prasasti, naskah kuno, dan kitab suci tetap menarik perhatian orang untuk diteliti dan dipelajari. Semua ini sebenarnya tidak ada kaitannya dengan kaidah dan aturan penyampaian tulisan masa kini. Semua itu berkaitan dengan makna tulisan.
***
Mengenang kembali ke masa silam di saat mulai menulis di Kompasiana ini, sebenarnya aku tidak punya tujuan khusus kenapa menulis dan untuk apa. Awal-awal menulis dulu motifnya hanya untuk menumpahkan ide yang ada di kepala daripada diutarakan di depan orang dengan tidak karuan.
Beberapa orang mungkin menulis dengan tujuan untuk mengasah keterampilan sehingga satu saat nanti tulisannya bisa laku di penerbitan. Beberapa orang mungkin menulis dengan motif sebagai hobi yang mendarah daging selama hidupnya. Beberapa orang mungkin menulis tanpa tujuan dan maksud sepertiku.
Semua motif tersebut pada akhirnya bermuara pada hasil tulisan yang tersaji. Hasil tulisan yang dibaca orang pun memberikan umpan balik psikologis yang menyenangkan. Hidup menjadi terasa mendapatkan pengakuan ketika beberapa orang membaca tulisan kita, mengomentari atau sekadar memberi rating.
Banyak juga tulisanku masuk dalam kategori headline di Kompasiana ini. Ketika hal itu terjadi, maka peluang untuk semakin banyak dibaca orang menjadi terbuka lebar. Peluang untuk menambah pundi-pundi rating pun makin besar. Headline tulisan seakan menjadi parameter dari segi kualitas tulisan yang disajikan.