Ada anggota tubuh untuk mempraktikkan amalan, ada hati untuk menghayati kedalaman dan ada akal untuk perenungan dan membangun argumen keyakinan.
Salah satu pemahaman dari ajaran agama yang saya anut mengatakan bahwa ayat dari firman Tuhan itu ada dua macam; ayat kawniyah dan ayat qauliyah. Keduanya sangat terkait erat satu sama lainnya. Tidak mungkin bahkan mustahil semustahil-mustahilnya jika antara keduanya ada pertentangan.
Jika ayat qauliyah itu seperti buku panduan mengoperasikan kendaraan, buku panduan mekanik bengkel atau buku ajar praktikum mahasiswa, maka ayat kawniyah merupakan bukti kebenaran dari "teori-teori" yang ada di dalam buku panduan tersebut.
Entah kenapa, setiap mendengar kalimat dan "pernyataan kebaikan" dari para ustaz atau hasil bacaan, kadang masih terasa kering dan hambar jika tidak disertai dengan perenungan dan penghayatan. Seolah-olah pernyataan tanpa perenungan dan penghayatan ini seperti sayur tanpa garam atau bumbu lainnya.
Itulah sebabnya mungkin di dalam dunia Ilmu Pengetahuan antara teori dan fakta itu tidak bisa dipisahkan. Teori tanpa fakta menjadi tidak teruji dan tidak kokoh, fakta tanpa teori menjadi himpunan gejala yang tidak sistematis dan tidak mudah dimengerti.
***
Jika dihubungkan, antar kedua hal ini (ayat qauliyah dan ayat kawniyah) dengan komposisi rohani manusia, maka padanannya adalah hati dan akal. Ayat qauliyah bisa diresapi kebenarannya dengan hati yang terbuka dan siap untuk meyakini semuanya.
Sedangkan ayat kawniyah bisa dipahami dengan menggunakan kekuatan akal pikiran. Penalaran dan hukum-hukum logika menjadi perangkat dasarnya. Produk akhirnya bisa saja berupa pengetahuan sistematis seperti sains dan teknologi ataupun berupa pengetahuan reflektif spekulatif seperti filsafat.
Kedua jalan ini, sudah dari sejak masa lalu melahirkan tradisi intelektual yang berbeda. Jika yang satu melahirkan kedalaman penghayatan berupa epistemologi sufisme, sedangkan yang kedua mengambil kedalaman argumentatif dan spekulatif berupa epistemologi filsafat.
Namun demikian, kedua tradisi keilmuan tersebut berada di tataran kedalaman yang tidak semua orang mampu menjangkaunya. Ketidakmampuan ini bukan merupakan kelemahan, tetapi merupakan preferensi personal semata ketika seseorang berupaya berekspresi tentang kayakinan keagamaannya.