Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Trilogi Ekspresi Keagamaan dan Keimanan

29 Juli 2018   07:06 Diperbarui: 29 Juli 2018   08:18 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: huffingtonpost.com

Ada anggota tubuh untuk mempraktikkan amalan, ada hati untuk menghayati kedalaman dan ada akal untuk perenungan dan membangun argumen keyakinan.

Salah satu pemahaman dari ajaran agama yang saya anut mengatakan bahwa ayat dari firman Tuhan itu ada dua macam; ayat kawniyah dan ayat qauliyah. Keduanya sangat terkait erat satu sama lainnya. Tidak mungkin bahkan mustahil semustahil-mustahilnya jika antara keduanya ada pertentangan.

Jika ayat qauliyah itu seperti buku panduan mengoperasikan kendaraan, buku panduan mekanik bengkel atau buku ajar praktikum mahasiswa, maka ayat kawniyah merupakan bukti kebenaran dari "teori-teori" yang ada di dalam buku panduan tersebut.

Entah kenapa, setiap mendengar kalimat dan "pernyataan kebaikan" dari para ustaz atau hasil bacaan, kadang masih terasa kering dan hambar jika tidak disertai dengan perenungan dan penghayatan. Seolah-olah pernyataan tanpa perenungan dan penghayatan ini seperti sayur tanpa garam atau bumbu lainnya.

Itulah sebabnya mungkin di dalam dunia Ilmu Pengetahuan antara teori dan fakta itu tidak bisa dipisahkan. Teori tanpa fakta menjadi tidak teruji dan tidak kokoh, fakta tanpa teori menjadi himpunan gejala yang tidak sistematis dan tidak mudah dimengerti.

***

Jika dihubungkan, antar kedua hal ini (ayat qauliyah dan ayat kawniyah) dengan komposisi rohani manusia, maka padanannya adalah hati dan akal. Ayat qauliyah bisa diresapi kebenarannya dengan hati yang terbuka dan siap untuk meyakini semuanya.

Sedangkan ayat kawniyah bisa dipahami dengan menggunakan kekuatan akal pikiran. Penalaran dan hukum-hukum logika menjadi perangkat dasarnya. Produk akhirnya bisa saja berupa pengetahuan sistematis seperti sains dan teknologi ataupun berupa pengetahuan reflektif spekulatif seperti filsafat.

Kedua jalan ini, sudah dari sejak masa lalu melahirkan tradisi intelektual yang berbeda. Jika yang satu melahirkan kedalaman penghayatan berupa epistemologi sufisme, sedangkan yang kedua mengambil kedalaman argumentatif dan spekulatif berupa epistemologi filsafat.

Namun demikian, kedua tradisi keilmuan tersebut berada di tataran kedalaman yang tidak semua orang mampu menjangkaunya. Ketidakmampuan ini bukan merupakan kelemahan, tetapi merupakan preferensi personal semata ketika seseorang berupaya berekspresi tentang kayakinan keagamaannya.

***

Sebelum dua titik ekstrem tersebut, ada stasiun syariat yang merupakan pintu masuk pertama untuk menyelam ke kedalaman dua tradisi selanjutnya (sufisme dan filsafat). Tanpa mengerti dan mengamalkan syariat yang merupakan tahapan awal keberagamaan, maka sufisme dan filsafat sulit untuk dimengerti.

Dengan skema seperti demikian, tampak bahwa landasan keberagamaan itu semacam trilogi (syariat, sufisme dan filsafat). Trilogi yang jika berhasil dikuasai akan membuat kokoh dan integral pemahaman terhadap doktrin dan bukti kebenaran dari keyakinan yang dianut.

Hampir di semua agama, trilogi itu ada. Dimulai dari doktrin amalan dan praktik, kemudian disempurnakan dengan penghayatan dan perenungan; penghayatan dengan hati dan perenungan dengan akal pikiran. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan.

***

Tetapi apakah semua orang menyadarinya demikian? Tidak, tidak semua orang menyadarinya. Maksudnya tidak semua orang menyadari dalam kerangka epistemologi seperti kesadaran dari kaum akademisi dan teoretisi yang bergelut dengannya.

Karena, orang bisa saja menguraikan air matanya ketika ia bermunajat kepada Tuhannya, meskipun tidak tahu apa itu namanya dan masuk dalam kelompok kesadaran hatikah atau akalkah atau keduanya. Yang jelas dia telah menghayati kedalaman dari ajaran dan munajat kepada Tuhan; mirip seperti yang dipraktikkan kaum sufi.

Pun demikian adanya, ketika seseorang terkagum dengan perenungan ketika melihat indahnya pantai, hijaunya dedaunan atau letusan gunung yang menggelegar. Akal pikirannya bekerja mencari-cari landasan ketuhanan dari semua fenomena yang dialaminya. Dan pencarian itu merupakan cara kerja dari filsafat dalam menuju kebenaran.

Maka tidak penting apa itu namanya untuk menyebut ketiga macam landasan keberagamaan tersebut. Yang penting, ketiganya bersatu padu menyatu di dalam diri dan bersama-sama bekerja dalam mengekspresikan keagamaan dan keyakinan kepada Tuhannya.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun