Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Katak dalam Tempurung Masuk Gelanggang Informasi

28 Juli 2018   14:46 Diperbarui: 28 Juli 2018   15:02 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: steemit.com

Karena mudahnya setiap orang untuk mengakses informasi di dunia maya, maka sharing dan caring menjadi hal yang biasa. Secara tidak langsung ada beberapa nilai yang bisa diperoleh darinya. Yang paling pokok menurut saya adalah kesadaran bahwa diri ini sangat kecil dan bukan siapa-siapa ditengah-tengah hutan belantara.

Ada ungkapan "Katak dalam tempurung." Satu ungkapan yang menunjukkan bahwa seseorang terperangkap di dalam ruang persepsi pribadi yang terlalu sempit. Bukan hanya sekadar dalam pengertian ruang fisik tetapi yang lebih penting adalah ruang kesadaran dan wawasan.

Ruang kesadaran berati ruang di mana kesejatian diri memperoleh tempatnya di dalam batas-batas yang dikelilingi oleh kesadaran orang lain. Bahwa ternyata begitu banyak batasan-batasan yang tercipta secara tidak langsung akibat adanya lalulintas dan komunikasi dalam konteks informasi.

Terus menerus berada di dalam ruang kesadaran yang tidak berkembang, akan mengakibatkan kepicikan dalam cara pandang. Seolah persepsi dan opini diri sendiri yang paling benar. Sebuah karakter yang justru akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan wawasan.

Ketika orang mulai mengenal interaksi di lingkungan dunia maya, maka secara tidak sadar dia masuk ke dalam ruang yang diisi oleh beragam persepsi, sudut pandang dan opini orang lain. Makin lama dan makin dalam masuk, seharusnya makin sadar bahwa diri sendiri hanya sebuah titik mungil di tengah-tengah lukisan semesta persepsi dan opini.

***

Hal lain yang menyadarkan diri ketika masuk ke dalam dunia maya ini adalah pengakuan bahwa wawasan di luar sana itu ternyata semakin tidak bertepi. Semesta wawasan yang ada di sana semakin tumbuh dan berkembang tanpa batas. Jatah usia tidak akan pernah cukup untuk menuntaskan perjalanan mengarungi alam wawasan ini.

Ketika terjadi sebuah peristiwa bencana alam misalnya, maka wawasan-wawasan terhadapnya akan bermunculan. Seseorang akan melihatnya berdasarkan sudut pandang kealaman murni, sementara yang lainnya akan memandangnya dari wawasan pengelolaan lingkungan hidup yang melibatkan para petinggi negeri.

Ada lagi yang melihat fenomena tersebut sebagai bagian dari keyakinan mereka yang menurutnya merupakan ujian atau pelajaran yang layak digali hikmahnya. Atau mungkin ada yang menilainya sebagai sebuah kesalahan yang diakibatkan oleh dorongan ekonomi pelaku usaha.

Semakin banyak wawasan yang mengarah kepada sebuah peristiwa, semakin tambah kesadaran bahwa "siapa sih diri kita ini sesungguhnya?" Terjadi tarik ulur di antara diri sendiri yang sebenarnya dengan diri orang lain yang saling berlomba menunjukkan eksistensinya.

Maka, wawasan yang timbul dari adanya keragaman pemahaman orang lain terhadap sebuah fenomena, jika dibarengi dengan keterbukaan hati dan pikiran diri sendiri, hal itu harusnya bisa mengantarkan kepada kesadaran ini bahwa sudah saatnya "katak dalam tempurung" itu untuk loncat keluar dan mengembara.

***

Misal hal tersebut terjadi bahwa diri keluar dari cengkeraman tempurung, maka saat itulah kesigapan diri untuk berhadapan dengan opini dan wawasan orang lain, dibutuhkan. Tanpa dibekali dengan sikap diri yang demikian, maka perdebatan tak berujung dan gesekan-gesekan opini akan terjadi.

Itulah yang kita dapati ketika caci-maki di media sosial terjadi. Orang tidak siap dengan segala perbedaan ketika ia memberanikan diri untuk keluar dari tempurung yang selama ini membatasinya. Ibaratnya, seseorang keluar rumah di saat musim dingin, tetapi belum siap dengan pakaian hangat yang harusnya dikenakan.

Pertaruhan di sini akan terjadi; seberapa lama seseorang akan mampu bertahan dengan situasi demikian? Seberapa lama ia mampu terus berhadapan dengan keadaan yang selama ini mungkin salah dalam pandangannya? Seberapa lama dia tetap berada di dalam sikapnya yang seperti di dalam tempurung padahal nyatanya dia sudah merangkak keluar darinya?

Jawabannya kembali kepada masing-masing pelaku petualangan itu. Mungkin ia tidak lagi tahan dengan semua hal yang berbeda dengannya. Ketika itu terjadi, maka yang bersangkutan akan mengundurkan diri dari gelanggang sharing informasi. Ia akan menutup semua akun yang pernah dibukanya ketika di awal-awal mencoba keluar dari tempurungnya.

Atau mungkin ia akan mulai beradaptasi dengan kehidupan liar di alam informasi sehingga dengan cara demikian ia akan mulai terbiasa dengan semua perbedaan yang ada. Atau mungkin seseorang akan terus bermental seperti di dalam tempurung dengan terus menyerang mereka yang tidak sepikiran dengannya.

***

Lalu, di manakah posisi kita masing-masing sekarang ini? Di manakah kita di antara wawasan yang ada? Di batasan mana kita berusaha untuk mencoba memasuki alam liar informasi yang ada? Jawaban tentunya kembali ke masing-masing kita.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun