Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bicara Hati Nurani tentang Sengketa di Pulau Pari

22 Juli 2018   22:19 Diperbarui: 22 Juli 2018   23:25 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Pulau Pari di depan Kantor Ombudsman (megapolitan.kompas.com)

Kembali, masalah rebutan hak milik dan hak guna lahan muncul ke permukaan. Dilansir dari Kompas.com, di Pulau Pari sedang terjadi kisruh antara warga setempat dengan sebuah perusahaan yang bergerak dalam dunia pariwisata.

Seperti dikutip dari situs DetikX, menurut sejarahnya, masyarakat yang tinggal di pulau tersebut lebih dahulu datang dan mengelola pulau sebagai tempat tinggal dan tempat hidup mereka.

Tetapi setelah keadaan di sana menjadi ramai dengan berbagai kegiatan usaha dan pariwisata, datanglah sebuah perusahaan swasta. Masalah pun terjadi di antara kedua belah pihak di sana.

Persoalan sengketa tanah antara masyarakat setempat dengan perusahaan pariwisata tersebut, sudah berlangsung lama. Dan belakangan, mencuat kembali di masa Pemerintahan Jokowi dan Menteri Susi ini.

Menteri Susi pun bicara lantang tentang masalah tersebut. Di mengatakan: Anda Mau Kelola Pulau Dasarnya Apa? Kalau Cari Uang, Tidak Boleh... Berita selengkapnya bisa dilihat di sini.

***

Entah mengapa, masyarakat sekarang ini terkadang lebih mementingkan uang daripada orang. Seolah-olah nilai segepok uang lebih berharga daripada kelangsungan hidup seseorang.

Kasus di atas sungguh amat mengoyak rasa kemanusiaan. Bagaimana tidak, perusahaan yang nota bene bekerja dalam rangka menyejahterakan orang dengan uang yang didulang, justru mengorbankan nilai-nilai dan harga kehidupan orang-orang.

Kasus-kasus demikian bukan sekali dua kali terjadi di negeri ini. Sengketa lahan antara perusahaan dengan modal kuat, sering mengalahkan rasa keadilan. Uang menjadi segalanya. Uang didudukkan di atas takhta dunia melebihi manusia.

Jika bicara sudut pandang aturan dan hukum, tentu saja masing-masing pihak akan berargumen dengan mengacu kepada legalitas formal yang menurutnya sudah dikantongi. Ada SHM, ada HGB dan lain-lain surat klaim yang dianggap sah.

Tetapi lagi-lagi, proses memperoleh legalitas tersebut sering ditengarai dilakukan dengan cara-cara yang kurang benar atau bahkan tidak benar. Jalan dan jalur pintas dilakukan untuk sekedar mendapatkan selembar kertas bukti kepemilikan.

Seperti kasus di Pulau Pari di atas yang diberitakan oleh DetikX, tiba-tiba saja lahan-lahan yang sudah ditinggali oleh penduduk di sana berpuluh tahun, berubah kepemilikannya "secara sah" ke tangan perusahaan. Padahal menurut penduduk, pihak BPN tak pernah melakukan kegiatan pengukuran lahan di sana.

***

Ah, kita tidak tahu yang sebenarnya terjadi di sana seperti apa. Hanya ketika mendengar urusan sengketa lahan antara perusahaan dengan penduduk asli di sana, rasanya naluri dan rasa keadilan sebagai manusia terusik dengan sendirinya.

Pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam mengayomi kehidupan masyarakat, sudah seharusnya menjadi penengah dalam kasus tersebut. Pulau, udara, air dan kekayaan lain sebagai pemberian Tuhan untuk Bangsa Indonesia, jangan sampai menjadi ladang pertikaian antara sesama.

Perusahaan sebagai entitas atau lembaga produktif, tentu saja berhak untuk ikut mengelola kekayaan yang ada di negara Indonesia. Demikian pula orang-orang atau masyarakat berhak hidup aman dan tenteram tanpa ada intimidasi dan ancaman pengusiran.

Semoga saja, kasus antara penduduk asli kepulauan Pari dan perusahaan yang bergerak di sana memiliki jalan keluar yang saling menguntungkan. Tidak baik rasanya harus terjadi pertikaian sesama anak bangsa hanya karena sebidang tanah.

Ini seperti dikatakan oleh Menteri Susi: Tidak Pantas di Negara Sebesar Ini Ada Rebutan 1 Hektar Pulau, Lucu... Ya betul, lucu dan rasa keadilan sebagai sesama anak bangsa amat terganggu.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun