Barangkali setiap hari kita sering atau pernah mendengar kalimat-kalimat seperti ini: "Nak, gasnya habis. Tolong belikan di warung sebelah, ini tanggung sedang masak sayur." Atau mungkin ungkapan seperti ini: "Rasa-rasanya semangatku hilang. Terlalu berat beban yang kuhadapi ini. Entah bisa menghadapinya atau tidak. Aku tidak tahu."
Kalimat-kalimat di atas merupakan ungkapan mengenai sesuatu yang sedang mengalami penurunan. Sesuatu itu adalah energi, daya atau kekuatan. Yang pertama berupa energi bahan bakar untuk masak. Sedangkan yang kedua adalah energi mental psikologis dalam rangka menjalani kehidupan.
Keduanya ada dan nyata. Keduanya menjadi daya yang jika tidak diperhatikan dengan saksama, maka aktivitas akan mengalami gangguan. Keduanya sangat erat berhubungan. Dan keduanya bersumber dari sesuatu yang bisa kita sebut sebagai bumi. Bumi dalam pengertian hakiki dan bumi dalam pengertian majasi.
Bumi Hakiki dan Energi Material
Bumi hakiki adalah tempat di mana kita berpijak di atasnya. Ia merupakan salah satu planet di dalam tata surya kita. Planet urutan ketiga yang mengitari matahari. Matahari sendiri adalah bintang dan sumber utama energi bagi seluruh sistem tata surya tempat kita hidup.
Dia atas, di bawah dan di sekeliling permukaan bumi begitu banyaknya energi tersimpan dan tersebar. Angin, panas matahari, gelombang laut, listrik, panas bumi, gas, bahan bakar seperti minyak bumi, batu bara dan lain-lain adalah sumber energi dalam pengertian alami.
Hampir bisa dikatakan mustahil jika manusia bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap semua sumber energi yang disebutkan di atas. Ketika bepergian bahan bakar dibutuhkan, ketika tubuh bergerak makanan dibutuhkan, bahkan ketika tidur di malam hari yang gelap sekalipun manusia membutuhkan energi.
Bisa dipastikan bahwa tanpa semua sumber energi tersebut, manusia akan mengalami kesulitan untuk bertahan hidup. Tanpa dukungan semua sumber energi tersebut, spesies manusia di muka bumi bisa-bisa musnah. Bahkan tumbuhan dan hewan juga musnah jika dukungan sumber energi di atas tidak ada.
Terhadap semua sumber energi alami terebut, manusia dituntut untuk bersikap bijak; bijak dalam memanfaatkannya, bijak dalam membagikannya. Eksplorasi energi yang berlebihan justru akan menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem kehidupan. Pembagian yang tidak bijak akan menimbulkan ketimpangan di tengah kehidupan.
Bumi Majasi dan Energi Mental
Untuk bisa bertahan hidup di atas muka bumi ini, manusia tidak hanya memerlukan sumber-sumber energi alami seperti di atas. Sebagai makhluk yang memiliki dimensi lain yang disebut rohani dan jiwa, manusia juga memerlukan energi yang bersifat mental spiritual. Energi-energi demikian bersumber dari "bumi majasi" sebagai sumber energi yang non material.
Tidak ada artinya seseorang hidup jika hanya bertumpu pada sumber energi alami yang bersifat material. Boleh saja seseorang menjadi sehat secara jasmani, mampu melakukan aktivitas keseharian yang bersifat fisik, tetapi jika ia tidak mampu atau lemah secara mental, tentu akan menjadi gangguan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia.
Sumber energi mental bisa sangat beragam. Keragaman ini sesuai dengan jenis energi yang dibutuhkan oleh masing-masing orang. Misalnya, terkait kemampuan mental intelektual, maka sumber energi yang harus dijaganya adalah pendidikan dan proses pembelajaran.
Terkait dengan emosi, motivasi dan semangat hidup, maka lingkungan keluarga, lingkungan sosial serta kestabilan jiwa merupakan sumber energinya. Bahkan sumber ini bisa berupa sumber spiritual berupa keyakinan dan keimanan yang tertuang dalam bentuk agama yang dianut seseorang.
Perpaduan dari semua sumber energi mental spiritual ini akan menjadikan diri tidak saja sehat secara fisik dan mental tetapi juga secara spiritual. Kehilangan salah satu jenis energi di dalam kehidupan, akan membuat manusia menjadi tidak seimbang.
Ecophilosophy sebagai Sebuah Perspektif
Belakangan telah muncul salah satu bentuk aliran dalam filsafat yang dikenal dengan sebutan ecophilosophy atau disingkat menjadi ecosophy. Secara populer, jenis filsafat ini dikembangkan oleh seorang filosof bernama Arne Dekke Eide Nss berkebangsaan Norwegia.
Mengutip dari sumber di sini, menurutnya, ecophilosophy ini adalah:
By an ecosophy I mean a philosophy of ecological harmony or equilibrium... The details of an ecosophy will show many variations due to significant differences concerning not only the 'facts' of pollution, resources, population, etc. but also value priorities.
Menurutnya, ecophilosophy adalah filsafat mengenai harmoni dan keseimbangan lingkungan. Ia tidak hanya berkepentingan dengan masalah-masalah faktual seperti sumber daya, populasi dan lain sebagainya, tetapi juga masalah nilai, norma dan etika dalam menyikapi semuanya.
Dengan pengertian lain, ecophilosophy ini adalah cara pandang untuk memberikan nilai dan kebijaksanaan ketika memandang lingkungan sebagai sumber daya yang bermanfaat bagi manusia. Memandang bahwa alam bukan semata-mata sebagai objek eksplorasi tetapi juga sebagai "mitra" manusia dalam menjalani kehidupannya.
Sebagai mitra, maka lingkungan dianggap sejajar dalam porsi dan posisinya dengan manusia. Ia bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang memiliki nilai dan harga yang harus dihormati oleh manusia. Manusia tidak boleh semena-mena terhadapnya. Karena manusia tidak bisa hidup tanpanya.
Fokus dari ecophilosophy ini adalah masalah lingkungan sebagai sumber energi dan inspirasi bagi manusia. Sebagai sebuah sumber energi berarti manusia harus bijak dalam mengelolanya. Dan sebagai sebuah inspirasi, berarti menghormati lingkungan yang mencakup kondisi sekitar seperti lingkungan keluarga, sosial dan alam semesta.
Cara berpikir filsafat ini merupakan "protes" dari cara berpikir filsafat modern yang eksploitatif dan destruktif terhadap lingkungan. Penguasaan yang "gila-gilaan" dari cara berpikir filsafat modern dengan buah ilmu pengetahuannya menjadi salah satu keprihatinan dari ecophilosophy.
Kita bisa perhatikan sekarang ini, bagaimana penguasaan lahan dan lingkungan menjadi hanya sebatas komoditas ekonomi. Pencemaran lingkungan, pemanasan global adalah sedikit contoh dari punahnya kesadaran nilai dan kebijaksanaan dalam memandang lingkungan.
Demikian juga dengan kesadaran terhadap lingkungan sosial. Manusia zaman sekarang sudah hampir menjadi "budak" dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Manusia seolah dianggap menjadi urutan kedua setelahnya. Kepedulian sosial menjadi terkalahkan oleh media sosial.
Ujaran kebencian dan berita-berita hoaks sudah menjadi polusi sosial di jagat dunia maya. Semua itu muncul dikarenakan manusia sudah mulai kehilangan cara pandang terhadap lingkungannya sebagai sesuatu yang bernilai. Kebijaksanaan di dalam mengelola lingkungan sosial sudah mulai menurun.
***
Maka menanamkan cara berpikir dalam mendudukkan alam dan lingkungan sebagai sumber energi yang harus dihargai, dihormati oleh manusia adalah misi dari ecophilosophy ini. Ini penting agar manusia tidak kehilangan nalar sehatnya dalam memanfaatkan lingkungan yang ada.
Ecophilosophy datang untuk ikut memberikan kontribusi filosofis dalam masalah ini. Misi dari ecophilosophy ini adalah dalam rangka menciptakan harmoni, keseimbangan, kebijaksanaan serta penilaian manusia sebagai pengguna lingkungan dengan lingkungan sebagai sumber energi bagi kelangsungan hidup manusia.
Bahwa lingkungan, baik lingkungan alami atau lingkungan sosial, merupakan "harta" tak ternilai harganya yang akan menopang kelangsungan kehidupan spesies manusia di alam semesta. Lingkungan dan alam sekitarnya adalah "mitra" bagi manusia bukan objek bagi manusia.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H