Dengan semakin murahnya harga tiket, saat ini naik pesawat terbang bukan lagi merupakan hal yang istimewa. Siapa saja orang yang punya uang 315.000 bisa naik pesawat terbang atau "motor mabur" dalam Bahasa Jawanya. Itu contoh harga tiket terendah Jakarta-Solo melalui agen penjualan tiket online.
Ada beberapa hal yang bisa dipelajari dan diambil hikmahnya ketika naik pesawat terbang. Ini kalau menurut saya, bukan menurut insinyur yang memahami seluk beluk pesawat terbang. Ini pelajaran "cara bodoh" orang awam yang bukan insinyur pesawat terbang seperti Pak Habibi kebanggaan kita semua.
Sesuatu yang tak terlihat ternyata memiliki kekuatan yang dahsyat
Perhatikan ketika tiap kali pesawat take off atau ketika berada di atas ketinggian maksimal. Ada gaya-gaya dan kekuatan gaib yang tak kelihatan yang mampu mengangkat benda seberat ratusan ton tanpa ada penopang sama sekali. Ia mengangkat pesawat dari permukaan tanah dan sekaligus mempertahankannya dari pengaruh gaya gravitasi di ketinggian tertentu.
Tentu saja keheranan ini bisa dijelaskan menurut hukum-hukum dan teori-teori fisika dan aerodinamika. Itu semua bukan kekuatan mistis tetapi kekuatan yang bisa dijelaskan dengan pendekatan sains. Kita bisa mudah mencari jawabannya hanya dengan mengetikkan keyword "mengapa pesawat bisa terbang" di Google.
Justru makin kita tahu jawaban ilmiahnya, makin kita yakin bahwa kekuatan yang tak terlihat oleh mata itu memang ada dan tidak harus selalu dikatakan sebagai mistis. Ini berarti kalau seseorang masih berpikiran bahwa yang ada dan memiliki kekuatan itu harus tampak di mata, maka hal tersebut menunjukkan kenaifannya.
Ternyata alam semesta ini luas luar biasa
Ketika berada di atas awan, ketika itu adalah kesempatan untuk ikut membuktikan bahwa alam semesta itu memang sangat luas. Teori-teori astronomi banyak yang menguraikan dan menjelaskan secara lebih detail tentang hal ini.
Tetapi tetap saja ada rasa berbeda ketika kita berada di atas awan dan melihat ke kiri, kanan, atas dan bawah cakrawala. Coba kita bayangkan misalnya jika pesawat yang kita naiki tersebut punya kemampuan seperti pesawat fiktif dalam film Star Wars atau Star Trek. Kira-kira bisa sampai sejauh mana kita menjelajahi ruang angkasa dan merasakan sensasinya di atas sana.
Makin jauh membayangkan bahwa di balik awan yang terlihat ada jarak yang luar biasa jauhnya membentang di sana, makin liar pikiran menuju cakrawala alam semesta. Bagaimana jika perjalanan tersebut tidak berhenti di satu kota, tetapi di satu planet atau di sebuah galaksi? Seperti apa rupa dan rasanya mendarat di sana?
Makin cepat makin tak terasa kecepatannya
Kita tahu bahwa pesawat adalah alat transportasi tercepat yang dinaiki masyarakat banyak. Kecepatannya bisa sampai menembus angka hampir 1.000 KM per jam. Tetapi dengan kecepatan yang begitu tinggi tidak dirasakan dan tidak ada perbedaannya dengan ketika naik kendaraan darat lainnya. Yang membedakan hanya waktu tempuh saja dari satu kota ke kota lainnya.
Semakin cepat benda bergerak semakin singkat waktu tempuh berpindahnya dari satu titik ke titik lain. Jika satu saat pesawat mampu melesat terbang dengan kecepatan cahaya sekitar 300.000 KM per detik atau mungkin bisa di atasnya cahaya, maka rasa-rasanya bumi ini menjadi sangat kecil. Rasa-rasanya menjadi semakin jauh manusia akan bepergian. Bukan lagi antar kota antar negara, tetapi sudah antar planet.
Makin cepat kita bisa bepergian dari satu tempat ke tempat lain di suatu saat nanti seperti antar planet dan antar galaksi, makin luas pengalaman dan pembuktian kebenaran teori-teori sains yang dirumuskan berpuluh tahun lalu oleh para ilmuwan. Kita bisa membuktikan kebenaran dari ucapan Copernicus, Keppler, Newton, Einstein atau Hawking tentang alam semesta. Benar-benar keren bukan?
Ternyata Dia itu memang ada
Bagi orang awam sains seperti saya, sangat sederhana untuk membuktikan adanya Tuhan. Cukup naik pesawat terbang saja. Kekaguman terhadap kekuatan tak terlihat, keluasan ruang angkasa dan alam semesta, kecepatan daya jelajah pesawat ditambah turbulensi yang menakutkan sehingga dengan refleks mulut akan menyebut nama Tuhan, sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa Dia itu memang ada.
Bagaimana bisa mengatakan semua hal di atas tadi tercipta dan ada sebagai sebuah kebetulan dari ledakan besar (big bang) yang terjadi pada masa lalu? Jika toh memang demikian teorinya, lalu siapa yang membuat ledakan itu? Masa begitu saja alam semesta ini muncul tiba-tiba dari ketiadaan tanpa adanya Yang Menciptakan?
Sangat sulit rasanya akal menerima dalil yang mengatakan demikian. Karena di dalam cara berpikir filsafat, akal kita tidak bisa mengelak dari hukum sebab akibat bahwa ada yang namanya Prima Causa, The Unmoved Mover, The First Cause dan The One. Itulah Dia. Dia yang Maha Pencipta.
***
Kira-kira begitulah hikayat singkat dari renungan "cara bodoh" ketika naik "motor mabur". Renungan yang tidak terlalu penting untuk diperdebatkan. Karena hal tersebut sebenarnya sudah bisa dijelaskan dengan semua teori ilmiah dalam buku-buku ajar di universitas-universitas.
Tapi ada satu hal yang tidak diajarkan di universitas tersebut, yang oleh Rudolf Otto disebut sebagai Numinosum tremendum et fascinosum, kekaguman yang menggetarkan hati dan memesonakan jiwa tentang sesuatu.Â
Itulah pangkal dan dasar dari keberagamaan dan pengakuan seseorang akan adanya  Tuhan. Tanpa rasa kagum tersebut, maka keyakinan akan adanya Tuhan akan tergerus secara perlahan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H