Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggali Hikmah di Balik Ungkapan "Mudik Neraka"

22 Juni 2018   06:54 Diperbarui: 22 Juni 2018   08:58 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: elementscitychurch.org

Belakangan ini dunia medsos sempat dihebohkan oleh satu ungkapan yang merupakan ekspresi kekesalan dari seorang politisi. Kita tidak bisa memastikan apakah bentuk kekesalan tersebut sifatnya objektif atau subjektif. Tetapi ungkapannya seolah mencerminkan kondisi emosi seseorang mengenai sesuatu. Mungkin kita masih ingat dengan ungkapan tentang "mudik neraka".

Itu dia. Ungkapan yang sarat dengan muatan reaktif terhadap sesuatu. Terlepas dari benar apa tidak objek kekesalan tersebut, yang jelas dari sudut pandang publik, kalimat tersebut hampir saja atau bisa saja memancing reaksi. Salah satunya adalah laporan yang diadukan oleh seorang mahasiswa terhadap tokoh yang melemparkan ungkapan itu.

Sebagai bagian dari rakyat biasa, sepatutnya kita tidak mudah terpancing begitu saja dengan terseret ke dalam polemik yang tidak ada gunanya tersebut. Hal itu hanya akan menghabiskan energi massa rakyat Indonesia yang sudah cukup letih didera dengan beragam kenaikan harga seperti biasanya.

Namun demikian, kita juga boleh untuk mengomentari dari sudut pandang lain yang tidak harus diartikan sebagai hujatan atau sikap yang membuat suasana jadi tambah suram. Setidaknya kita bisa sekedar mengambil hikmah dan pelajaran dari kejadian tersebut.

Popularitas Bukan Segalanya

Hikmah pertama adalah urusan popularitas. Jika dilihat dari sisi tujuan mencapai popularitas, maka kita akan lebih elegan apabila berusaha menghindari bentuk popularitas yang sengaja atau tidak, bisa mencederai perasaan etis masyarakat. Menjadi populer boleh saja tetapi tidak harus dengan cara "mengorbankan" ketenangan yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Masyarakat tidak perlu dihebohkan oleh pancingan-pancingan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak pantas, hanya untuk membangunkan opini mereka. Masyarakat Indonesia sudah cukup pintar untuk bisa membaca dan menilai apa yang sekiranya layak menjadi populer secara positif konstruktif dan apa yang sebaliknya.

Ada sebuah pepatah Arab yang berbunyi: "kencingi saja sumur zamzam, niscaya Anda menjadi populer" yang dalam Bahasa Arabnya berbunyi "bul 'ala zamzam fatu'raf". Pepatah yang bernada sindiran tersebut sangat tepat untuk membaca upaya-upaya mencari popularitas dengan hal-hal yang "nyeleneh".

Tetapi kadar etika seseorang pasti akan bereaksi ketika melihat popularitas yang diperoleh dengan cara "nyeleneh" tadi. Beragam argumen akan muncul untuk menolak hal-hal yang dianggap sebagai menyimpang dari kelaziman tersebut. Standar yang digunakan bisa berupa pendekatan hukum positif atau sekedar pendekatan etis dan moral.

Apa pun pendekatan yang muncul dalam mereaksi atau merespons satu kejadian yang janggal, hal itu menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara rasa yang berkembang di masyarakat dengan kejadian yang terlanjur diketahui publik. Di sini barangkali gap tercipta secara tidak disengaja atau memang disengaja. Sehingga gap tersebut bisa menjadi salah satu problem harmoni di tengah-tengah masyarakat.

Oleh karenanya, mempopulerkan diri dengan ungkapan atau tindakan yang "nyeleneh" amat rentan dengan risiko penolakan dan bahkan hujatan publik. Sekiranya tidak siap dengan hujatan tersebut, maka tidak perlu mencoba-coba menempuh strategi demikian untuk mengejar popularitas. Popularitas bukan segala-galanya dalam hidup ini.

Hierarki Keteladanan

Hikmah lainnya yang bisa kita ambil adalah berkaitan dengan hierarki keteladanan. Maksudnya, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, hierarki dan strata itu ada dan menjadi fakta. Maka semakin seseorang berada di posisi yang lebih tinggi secara status sosial, pendidikan, kekuasaan atau pengaruh, maka tuntutan keteladanan pun menjadi semakin tinggi.

Lagi-lagi kita bisa mengutip pepatah dalam Bahasa Indonesia yang berbunyi "guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Pepatah yang menyiratkan kewaspadaan dan kehati-hatian dari seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang lain. Tidak harus guru saja tentunya yang terkena atau menjadi objek dari pepatah tersebut.

Jika kita tidak hati-hati dalam berujar atau bertindak di saat kita sedang berada di posisi yang lebih tinggi dari orang lain, maka sekecil apa pun kekeliruan akan menuai reaksi. Ketika hal itu terjadi maka "cacat hukum" atau "cacat etis" akan melekat.

Sangat disayangkan jika hal itu menimpa tokoh-tokoh yang menjadi panutan rakyat Indonesia. Menjadi pemimpin bukan saja bertanggungjawab dengan dirinya sendiri atau kelompoknya, tetapi juga kepada semua orang yang dipimpinnya. Tidak peduli apakah yang dipimpin tersebut berada di kubu posisi atau kubu oposisi.

Semakin tinggi naik pohon mestinya semakin hati-hati menghadapi embusan angin yang menerpa. Jangan sampai sebaliknya, semakin tinggi naik pohon semakin tampak (maaf) pantatnya karena tidak memakai pakaian yang benar alias sembrono. Tidak lucu bukan jika hal tersebut menimpa siapa pun.

***

Semoga saja apa yang terjadi di luar sana berupa ungkapan atau tindakan, baik disengaja atau tidak disengaja, yang sempat sedikit mengguncangkan ketenangan, tidak sampai meruntuhkan bangunan persaudaraan. Persaudaraan sebagai sesama manusia, sebagai sesama umat beragama atau sebagai sesama Bangsa Indonesia.

Apa yang tampak di depan mata kita, entah itu baik atau buruk, semuanya tetap bisa diambil hikmah kebaikan darinya. Cara terbaik menyikapi apa pun yang terjadi adalah mencari dan menggali hikmah darinya, bukan memberikan reaksi yang kontra produktif terhadap ketenangan dan suasana.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun