Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rp 10.000 Bekal Sekolah Anak Harus Pinjam, Ada Apa dengan Negeri Ini?

15 Februari 2018   07:52 Diperbarui: 15 Februari 2018   08:46 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak sekolah minta jajan (alshahida.blogdrives.com)

"Assalamualaikum, Bu pinjam uang 10.000 untuk bekal jajan anak saya sekolah." Demikian sepenggal kalimat yang aku dengar di pagi ini. Seorang ibu-ibu datang pinjam uang 10.000 perak untuk memberi bekal anaknya sekolah.

Bergejolak rasanya pemikiran di kepalaku melihat kenyataan seperti itu. Ada apa dengan negeri ini? Untuk membekali jajan anaknya 10.000 perak saja, orang desa sampai harus pinjam ke tetangga.

Sekilas muncul pemikiran betapa pentingnya pendidikan. Penting untuk mengubah standar kehidupan masyarakat desa. Tanpa pendidikan, kesempatan untuk bisa berkiprah di lapangan pekerjaan yang lebih baik, amatlah susah.

Sekilas muncul juga konsep lapangan pekerjaan di desa. Orang tua yang pinjam duit untuk jajan tersebut tentunya tidak memiliki bekal cadangan bahkan hanya untuk jajan anaknya yang mau belajar.

Di mana pemerataan kesempatan untuk bekerja bagi orang desa? Pengangguran adalah fakta nyata yang membuat ekonomi satu keluarga morat-marit. Permasalahan demi permasalahan akan muncul dari akibat lemahnya ekonomi keluarga.

Sekilas muncul lagi pemikiran tentang orang-orang dungu yang tidak menghargai pentingnya pendidikan untuk anak. Ada guru yang dibunuh, ada kepala sekolah yang dipukul memakai meja sampai berlumuran darah.

Sekilas muncul lagi pemikiran mengenai para koruptor yang menggasak duit rakyat miliaran bahkan triliunan untuk dimakan sendirian. Uang yang begitu besar dan banyak jika digunakan untuk membangun pedesaan.

***

Memikirkan masalah pentingnya pendidikan bagi masyarakat terutama masyarakat desa berarti memikirkan tanggung jawab pemerintah dalam dunia pendidikan.

Bersyukur sekarang, di Indonesia, persentase dana alokasi APBN untuk pendidikan sudah naik menjadi 20%. Tentunya ini merupakan lonjakan pembiayaan untuk segala hal terkait pembangunan dalam bidang pendidikan.

Presiden Jokowi mungkin sadar dengan sepenuh hati bahwa untuk mengubah tingkat kesejahteraan rakyat, salah satunya adalah dengan membekali rakyatnya dengan beragam keterampilan dan pendidikan. Ini usaha yang harus dihargai.

Dengan pendidikan dan keterampilan, anak-anak di masa depan akan memiliki peluang untuk bersaing menjadi lebih baik. Tidak dipungkiri, dengan adanya keterampilan dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seseorang bisa mendapatkan peluang pekerjaan yang lebih baik pula.

Pekerjaan lebih baik berarti pendapatan ekonomi lebih baik juga. Selain itu, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, maka pola pikir juga akan semakin luas dan "berisi". Maka peluang untuk menjadi mandiri pun menjadi semakin luas.

***

10.000 perak itu sangat sedikit jika dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh oknum pemimpin dan oknum wakil rakyat yang nilainya miliaran sampai triliunan. Ibaratnya setetes air di tengah lautan. Tidak ada apa-apanya.

Betapa bejat moral para koruptor itu jika membandingkannya dengan nasib dan kondisi orang desa yang untuk membekali jajan anaknya saja harus pinjam ke tetangga. Betapa rusaknya moral kemanusiaan koruptor itu, jika dana-dana yang mereka korupsi itu digunakan untuk membuka lapangan pekerjaan di desa.

Desa tetaplah desa dari dulu sampai sekarang. Desa tempat tinggal orang tuaku sekarang tetap saja menjadi desa yang sama dengan desa 30 tahun yang lalu. Tingkat ekonomi warga masih saja seperti dahulu. Hanya ada perubahan perbaikan jalan dan penerangan lampu semata.

30 tahun itu bukan waktu yang sebentar. Waktu yang cukup bagi pemerintah jika memang berniat mengubah nasib warga-warganya melalui berbagai bentuk program dan kegiatan di desa. Laju perekonomian memang tampak naik. Tapi itu di mana? Di kota atau di desa?

Statistik pertumbuhan ekonomi itu belum tentu menggambarkan fakta sesungguhnya. Kenaikan ekonomi itu hanya terjadi di kantong-kantong dan pusat-pusat ekonomi di kota. Di desa tetap saja demikian adanya. kemiskinan dan kemelaratan masih merata. Tetap saja tidak ada lapangan kerja yang jelas.

Baca juga: Ketika Imperatif Kategoris Mulai Terkikis

***

Negara ini darurat etika dan moral dalam dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang harusnya menjadi wadah untuk mengubah pola pikir masyarakat, malah justru dinodai dan dicoreng oleh kelakuan murid dan orang tua murid yang bejat.

Orang-orang yang tidak tahu rasa terima kasih sudah dibantu membuka wawasan dan pemikiran anak-anaknya. Padahal dengan dibukanya wawasan pemikiran dan diperolehnya beragam keterampilan, maka dunia akan semakin luas untuk diarungi.

Peluang untuk menjadi bagian dari geliat ekonomi nasional dan dunia pun semakin besar. Tetapi di mana kesadaran akan semua itu sekarang? Mungkin ini terkesan sangat lebay dan berlebihan. Tetapi mawas diri sejak dini melihat gejala ini bukan sesuatu yang berlebihan.

Faktanya memang demikian, keruntuhan moral dan etika anak didik dan sebagian orang tua yang tidak tahu terima kasih pada dunia pendidikan sedang terjadi. Tidak harus menunggu lebih parah lagi untuk segera diperbaiki.

Perbaikan dalam sistem pendidikan, perbaikan dalam sistem kurikulum dan materi pendidikan, perbaikan dalam keterlibatan orang tua murid dengan pihak lembaga pendidikan. Semua itu mutlak dilakukan sebelum semua terlambat dan memakan korban kesekian kalinya.

***

Semua bentuk kesadaran di atas, sebenarnya merupakan kesadaran dalam rangka menumbuhkan kesadaran di semua pihak. Di diri sendiri, di masyarakat, di para penguasa dan pimpinan dan di para wakil rakyat. Kesadaran akan hal itu sangatlah penting

Di negara yang kaya raya ini tidak pantas rasanya jika masih ada saja orang yang sampai harus pinjam duit 10.000 perak untuk membekali jajan anaknya yang mau berangkat sekolah. Itu tidak harus terjadi. Pinjam duit 10.000 perak karena tidak punya, bukan tidak ada duit receh.

Ada apa di negeri ini sebenarnya? Salah kelola pemerintahnya atau salah masyarakat dalam menjalani hidupnya? Atau salah kita semua? Menyadari kesalahan adalah penting untuk melakukan perbaikan.

Dokter tidak akan bisa mengobati penyakit pasiennya jika ia tidak mengetahui bahwa ada yang salah dengan kesehatannya. Jadi ini bukan mencari-cari kesalahan, namun mencari kesalahan untuk melakukan perbaikan. Itu pesan intinya dari segala perenungan yang dilakukan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun