Kita pernah membaca tulisan opini mengenai masalah yang sebenarnya biasa-biasa saja dalam sudut pandang orang yang netral. Setiap orang berhak mengemukakan opini, karena hal tersebut merupakan bagian dari kebebasan berdemokrasi.
Tetapi ketika opini yang sama ditulis dari sudut pandang lain, hal tersebut kadang menimbulkan persepsi dan opini baru yang berbeda pula. Pro dan kontra akan muncul sebagai bukti bahwa opini terebut "berkesan" di pikiran para pembaca.
Sebagai orang yang memiliki hobi menulis, siapa pun akan merasakan bahwa di saat tulisan tersebut diapresiasi secara positif, tentu penulisnya merasa sebagai penulis yang memberikan manfaat terhadap wacana dan wawasan pembaca.
Tetapi ketika tulisan direspons dengan beragam cara yang justru menuai pro dan kontra dalam opini yang tajam, maka muncul dalam pikiran kita satu bentuk pertanyaan evaluatif.
Mengapa hal seperti itu menjadi objek opini yang membelah secara ekstrem sudut pandang pembaca? Mengapa hal demikian itu membuat reaksi sangat keras dari masing-masing kubu yang pro dan kontra?
Untuk bisa memahami fenomena tersebut (atau fenomena apa pun yang ada hubungannya dengan opini publik), maka perlu kiranya menengok ke ranah akademik teoretis tentang opini publik.
Dilansir dari sebuah situs, satu teori menjelaskan opini publik sebagai:
Public opinion consists of opinions and modes of behavior in value-laden areas which can be publicly expressed or demonstrated with the expectation that they will meet with approval or that there is no danger of thereby isolating oneself.
Menurut definisi di atas, opini publik merupakan pendapat dan jenis perilaku dalam area sarat nilai yang diungkapkan dan ditunjukkan secara publik dengan harapan memperoleh dukungan dan persetujuan yang tidak memunculkan permasalahan jika terisolasi (berdiri sendiri).
Berdasarkan definisi di atas (atau mungkin definisi yang lainnya) opini publik itu ada yang berbentuk pendapat (opini) dan ada juga dalam bentuk perilaku atau tindakan.
Keduanya diungkapkan secara publik dengan tujuan agar diperoleh dukungan dan kesepakatan dari publik yang memersepsi opini atau tindakan tersebut. Opini dalam bentuk tulisan pun bisa menjadi satu opini publik.
Demikian pula dengan satu tindakan yang bisa memancing opini masyarakat bisa menjadi bagian dari opini publik; misalnya Presiden Jokowi selalu membagikan buku atau hadiah ketika berkunjung ke satu daerah.
Itulah elemen dari satu opini publik yang sering ditemui sehari-hari. Terdapat banyak opini berseliweran di tengah-tengah masyarakat baik berbentuk opini tulisan, perkataan atau tindakan.
Masih mengacu kepada lansiran di atas, konsep dalam opini publik ini memiliki tiga konsep yang berbeda; konsep opini publik survei, konsep opini publik elite dan konsep opini publik yang bersifat sosial-psikologis.
Konsep opini publik pertama adalah opini publik sering dipahami sebagai distribusi pendapat yang bisa diukur dengan penelitian survei. Pendapat dan keyakinan pribadi merupakan unsur opini publik sesuai konsep ini.
Jenis opini publik semacam ini sangat banyak bertebaran di media sosial. Karena hampir setiap orang memiliki opini terhadap sesuatu sesuai dengan keyakinan pendapat (bahkan agama) yang dimilikinya.
Misalnya opini mengenai gerhana bulan yang terjadi kemarin pada bulan Januari kemarin, opini mengenai keberadaan becak di ibu kota, opini mengenai rasa kue yang dipromosikan di mall dan lain-lain.
Jenis opini publik ini memiliki fungsi nyata yang mempengaruhi pemerintah, untuk mendukung kelas masyarakat yang berkuasa dalam membentuk opini dan keputusan mereka.
Contohnya adalah diskusi rasional antara ilmuwan dan politisi tentang undang-undang dan tindakan administratif, pemilihan umum atau yang lainnya. Acara-acara talk show di media televisi mungkin salah satu contohnya.
Terutama di bidang kehidupan sosial yang sarat dengan nilai, individu secara tidak sadar melihat perilaku atau pendapat mana yang diterima oleh orang lain, dan mana yang tidak.
Individu akan menghindari melakukan perilaku yang tidak diterima di depan umum dan akan tetap diam jika dia merasa opininya termasuk minoritas atau ia akan kehilangan dukungan massa yang lebih besar jika mengungkapkan opininya.
Berdasarkan pada ketiga konsep mengenai opini publik di atas, maka sebenarnya semua fenomena terkait polemik dan wacana-wacana politik yang berkeliaran di berbagai media, bisa dikategorikan ke dalam salah satu di antara ketiganya.
Apakah satu opini itu sebenarnya mencerminkan ungkapan personal individual yang mengacu pada privasi dan keyakinan dirinya? Sebatas apa kira-kira satu opini dianggap sebagai opini publik yang berasal dari pribadi tersebut?
Apakah opini itu berada di ranah politik sebagai hal yang diekspose dan dilemparkan oleh para elite masyarakat? Sejauh mana opini itu berdampak nyata pada setiap tujuan politik para elite?
Apakah hanya sekedar opini yang terpendam karena berusaha  untuk menghindari konflik di permukaan? Mengapa masih muncul sikap "memendam rasa" dari satu opini yang mestinya disuarakan di satu negara demokratis?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa dianalisis dan diurai satu persatu. Meskipun tidak harus dituliskan dalam satu waktu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H