Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanti Kurikulum Ceramah Pilkada Tanpa SARA

8 Februari 2018   22:39 Diperbarui: 8 Februari 2018   22:57 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi Publik Pilkada Tanpa Sara (merdeka.com)

Berkaca dari peristiwa Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu silam, Bawaslu berencana membuat manual buku ceramah Pilkada damai tanpa SARA. Seperti dilansir dari laman berita Merdeka.com (8/2/2018), materi tersebut akan dijadikan semacam kurikulum ketika menjalankan kampanye di tempat-tempat ibadah.

Muatan kurikulum kampanye tanpa SARA ini menurut Anggota Bawaslu Rahmat Bagja, akan dibuat bersama dengan NU, Muhammadiyah dan MUI dan kemungkinan juga akan melibatkan Kementerian Agama RI.

Muatannya nanti bukan hanya untuk materi-materi khotbah atau ceramah keagamaan Islam, tetapi juga materi untuk ceramah keagamaan dari agama lainnya yang ada di Indonesia. Sehingga, Bawaslu juga akan melibatkan  Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) untuk menyiapkan kurikulum ceramah Pilkada tersebut.

Meski begitu, Rahmat mengatakan, seperti dilansir dari Kompas.com (8/2/2018) bahwa kurikulum ceramah tersebut bukanlah hal yang diwajibkan oleh Bawaslu.

"Untuk mewajibkan agak sulit karena ini adalah ruang keagamaan. Kami hanya menyajikan, kami minta hal- hal ini perlu diperhatikan," kata dia.

Apabila dicermati, dalam rencana ini sesungguhnya bisa kita pelajari beberapa hal terkait hubungan antara agama dengan masyarakat khususnya dalam hal politik. Satu hubungan yang tetap menjadi perdebatan panjang di mana sampai sekarang pun masih menyisakan beragam suara dan opini yang berbeda-beda.

Sebagian pihak ada yang mengatakan bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari politik. Sebagian lain mengatakan sebaliknya. kedua kubu pendapat ini bukan hanya ada di dalam wacana perpolitikan di negeri ini, namun juga hampir di setiap negara yang penduduknya didominasi oleh pemeluk agama.

***

Sosiologi agama mengenal agama salah satunya sebagai bagian dari aspek institusi sosial dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat. Satu fungsi yang sebenarnya merupakan fungsi ideal bagi setiap agama apa pun di dunia ini.

Tidak ada satu agama pun yang memiliki ajaran untuk memecah belah umatnya di dalam satu negara. Meskipun selama ini kita menyaksikan bagaimana agama "berpengaruh buruk" terhadap kesatuan sosial, namun hal ini bukan disebabkan oleh ajaran agamanya itu sendiri.

Hal demikian terjadi diakibatkan adanya penafsiran-penafsiran yang cenderung memanfaatkan ajaran agama sebagai bagian dari "alat dan instrumen" demi sebuah kepentingan. Di sini harus dibedakan antara ajaran agama itu sendiri dengan penafsiran terhadap ajaran tersebut.

Memaksakan agama sebagai bagian dari alat kepentingan, maka hal itu sudah merupakan ciri dan karakter penafsiran dari penganutnya, bukan dari agama itu sendiri. Tentu saja akibat dari perbedaan penafsiran ini, maka implementasinya juga akan cenderung beraneka warna sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Sejatinya sebuah agama itu bukan mengakibatkan hidup saling caci maki dan memojokkan antara sesama, tetapi menjadi perekat untuk mewujudkan kebersamaan antara sesama warga negara dan antara sesama manusia. Inilah fungsi utama agama secara sosiologis sebenarnya.

Kebenaran ini bukan saja muncul dari idealisme para pemeluk agama bersangkutan tetapi juga secara akademik dan ilmiah memang demikian adanya. Kesamaan keyakinan keagamaan harus memunculkan sikap dan in group  feeling  bagi para pemeluknya, sehingga bisa mempererat persatuan dan kesatuan masyarakat.

Persoalan mulai muncul ketika in group feeling  ini dipakai untuk mendorong dan mengeluarkan sebagian masyarakat yang tidak satu keyakinan. Dari sinilah konflik akan muncul dalam tataran kehidupan masyarakat. Ini sebenarnya yang sering mengakibatkan agama seolah menjadi "sumber konflik" di tengah-tengah masyarakat.

Konflik ini dipicu oleh kepentingan politik, kepentingan ekonomi bahkan kepentingan pribadi sekalipun. Konflik-konflik ini sering muncul akibat adanya dorongan memanfaatkan in group feeling  tersebut untuk kepentingan yang sebenarnya tidak membuat integritas masyarakat menjadi solid.

***

Sangat bisa dipahami pada akhirnya, jika Bawaslu berencana menerbitkan semacam kurikulum untuk bahan ceramah dalam rangka kampanye Pilkada serentak 2018 ini.

Tujuan sesungguhnya di balik semua itu adalah dalam rangka memagari potensi dan peluang penafsiran sepihak oleh kalangan pemeluk agama untuk menggunakan agamanya sebagai bagian dari alat kampanye.

Ini tidak berarti agama harus dijauhkan dari praktik-praktik kehidupan politik di negeri ini, namun mengaca dari kejadian Pilkada belakangan ini, agama sering justru menjadi alat pemecah belah anak bangsa.

Gejala ini tentu saja terkait erat dengan model penafsiran "semau gue" terhadap ajaran agama seseorang. Ini amat riskan jika dihubungkan dengan momen dan suasana Pilkada yang akan datang.

Peluang melakukan penafsiran semaunya ini bisa berakibat pada saling pojok memojokkan pihak tertentu dengan mengatasnamakan ajaran agama. Padahal sebenarnya hal itu merupakan hasil penafsirannya terhadap ajaran agama, yang belum tentu ajarannya mengatakan demikian.

Urusan agama dan keyakinan seseorang memang sangat rentan untuk dimanfaatkan dalam rangka menyudutkan pihak lain yang dianggap sebagai lawan; lawan politik terutama.

Oleh sebab itu, terlepas dari kesan intervensi Bawaslu terhadap agama seseorang terkait dengan Pilkada ini, rencana meluncurkan buku kurikulum ceramah Pilkada yang bebas SARA ini layak untuk diapresiasi.

Ini bukan dalam rangka membatasi ruang gerak keagamaan seseorang, tetapi dalam rangka menjaga agama dari penggunaan yang hanya didasarkan pada kepentingan dan penafsiran semaunya yang dikait-kaitkan dengan urusan kepemimpinan.

Semoga saja Pilkada besok berjalan tanpa adanya gesekan dan konflik yang mengatasnamakan agama. Karena agama tidak menghendaki konflik tapi menghendaki hal-hal yang baik.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun