Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filsafat Mimpi Presiden Jokowi

6 Februari 2018   16:54 Diperbarui: 6 Februari 2018   17:59 2186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (news.liputan6.com)

Kita semua tentu sering bermimpi, mimpi yang baik atau mimpi yang buruk. Tidak ada perbedaan antara keduanya ketika kita bangun. Mau mimpi baik atau mimpi buruk, sama-sama hilang tidak ada jejak begitu kita bangun.

Media mimpi adalah tidur. Tidak ada mimpi di saat seseorang sedang terbangun. Tanpa tidur maka tidak akan ada mimpi. Itu pasti. Meskipun ada peribahasa "mimpi di siang bolong", tapi itu sekedar peribahasa, bukan mimpi yang "nyata".

Satu hal lagi, kita sering mengatakan bahwa mimpi adalah "bunga atau kembangnya tidur". Seolah-olah tidur adalah sebuah pohon yang memiliki kemampuan untuk berbunga. Sayangnya bunga tidur itu tidak pernah ada kelanjutannya untuk berubah menjadi buah, buah tidur.

Ini bukan sebuah retorika mengenai perbedaan mimpi ketika tidur dengan tidak mimpi ketika bangun. Ini adalah fakta yang darinya kita bisa mempelajari sesuatu. Mempelajari agar  hidup ini tidak hanya tidur dan bermimpi tetapi juga hidup yang bangun dan berbuah nyata.

Idealisme Versus Realisme

Meminjam istilah filsafat, mimpi dan nyata "identik" dengan idealisme dan realisme. Jika idealisme merupakan bentuk lain dari pemikiran "mengawang-awang" lepas dari kenyataan, maka realisme merupakan pemikiran "membumi" yang menekankan pada kenyataan.

Idealisme adalah filsafat Plato yang menjelaskan bahwa kebenaran sesungguhnya ada di alam ide. Alam yang tidak di dunia ini. Kenyataan di dunia adalah kenyataan semu dan tidak hakiki. Kerbau yang sesungguhnya adalah kerbau di alam ide. Kerbau yang bersifat umum dan tidak bisa kita wujudkan kini dan di sini. Demikian jika kita contohkan.

Sebaliknya, realisme adalah pemikiran filsafat dari muridnya, Aristoteles. Kebenaran adalah apa yang kita lihat dan rasakan dalam kenyataan. Apa yang bisa kita persepsi oleh pancaindra. Ia ada di sini dan kini. Kerbau yang benar adalah kerbau yang kita lihat, kita pegang dan kita gunakan di sawah untuk membajak. Itulah kerbau sejati.

Dua cara berpikir ini sesungguhnya tidak harus dibenturkan. Keduanya bisa benar dan keduanya sekaligus bisa salah. Benar ketika manusia menempatkan cara pandang idealis berada pada tempatnya. Demikian juga, benar ketika realisme ditempatkan pada tempat yang seharusnya. Keduanya menjadi salah di saat ada kerancuan dan tumpang tindih dalam menempatkan keduanya.

 Idealisme dan Realisme Pemimpin

Perlukah seorang pemimpin bersikap idealis? Tentu saja perlu bahkan harus. Seorang pemimpin adalah dia yang memiliki visi idealis yang "tidak bisa dilihat" oleh mereka yang dipimpinnya. Dia memiliki pandangan jauh ke depan untuk mewujudkan hal-hal yang baru yang belum ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun