Sejak adanya internet dan gawai personal yang portable, partisipasi warga dalam mengisi kebebasan ruang berpendapat semakin meningkat. Apa saja yang ada di sekitarnya bisa dijadikan bahan tulisan untuk bersuara layaknya seorang pengamat.
Fenomena sosial, politik dan budaya bukan lagi merupakan ladang para pengamat profesional untuk mengupasnya. Selama seseorang memiliki kemampuan untuk berbicara dan berpikir, setiap orang menjadi pengamat versi dirinya sendiri. Ia mengamati dan menuliskan apa pun yang ada di sekitarnya.
Muncullah istilah citizen journalism atau jurnalisme warga. Satu praktik jurnalisme yang sepenuhnya dilakukan oleh warga negara. Seolah yang bersangkutan menjadi wartawan dan sekaligus pengamat beragam fenomena kemudian menuliskannya untuk dibaca warga lainnya.
Tidak ada yang melarang atau mengatur aktivitas mereka dalam membuat laporan atau opini mengenai satu peristiwa. Kebebasan sepenuhnya berada di tangan masing-masing "jurnalis" tersebut. Tetapi juga tanggung jawab sepenuhnya berada di tangannya. Tidak ada institusi yang menjadi payung untuk mempertanggungjawabkan setiap isi dari opini dan laporannya.
***
Dalam pengamatan saya, melalui beragam media sosial yang ada sekarang ini, fenomena jurnalisme warga ini telah menjadi semacam "pers bebas" untuk merespons, menuliskan dan melaporkannya ke publik. Ada semacam pers tandingan di samping pers yang sudah mapan dan konvensional selama ini.
Jika pada masa lalu, yang namanya pers tersebut hanya merupakan penerbitan atau penyiaran yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan pemberitaan baik koran, radio atau televisi, sekarang bentuk pers ini sudah semakin berbeda dan beragam.
Jika dahulu hanya lembaga, badan atau entitas bisnis pers yang berkiprah dalam kerja jurnalistik ini, sekarang siapa saja bisa menjadi bagian kerja jurnalistik. Kemudahan untuk menulis, kemudahan untuk melaporkan dan kemudahan untuk memiliki portal berita sendiri merupakan salah faktor pendukungnya.
Hampir setiap orang juga memiliki akun media sosial atau blog tempat dirinya mengungkapkan segala opininya. Opini pribadi yang berisi tentang reaksi dan respons dalam menyikapi peristiwa dan fenomena di sekitarnya, termasuk opini dalam bentuk respons dan reaksi terhadap politik dan kekuasaan pemerintah.
Opini yang tersebar melalui media sosial milik pribadi tersebut, tidak jarang bisa memengaruhi opini publik secara luas. Istilah viral belakangan marak sebagai sebutan untuk menandai satu laporan atau tulisan di media sosial terhadap satu kejadian.
Akibatnya beragam respons dan reaksi susulan akan timbul menyertai tayangan atau tulisan viral sebelumnya. Pro dan kontra tampil ke permukaan. Pengaruhnya juga mampu menggerakkan massa untuk menyuarakan beragam aspirasi. Selain itu juga, akibat dari adanya viral ini warga mampu memengaruhi kebijakan pemerintah dalam berbagai hal.
***
Seseorang tidak saja bebas menyuarakan opininya, tetapi juga harus mengindahkan akibat  dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Dalam membuat laporan atau opininya, seorang pelaku jurnalisme warga jangan asal jeplak dalam berbicara dan menuliskan opini dan peristiwa. Etika bicara dan etika sosialnya tetap menjadi salah satu syarat utama.
Mengaitkan jurnalisme warga sebagai bagian dari kerja pers secara keseluruhan yang berfungsi merespons dan bereaksi terhadap kekuasaan dan politik di negeri ini, maka ada beberapa teori untuk bisa kita gunakan dalam rangka memahami fenomenanya.
Mengutip tulisan dalam satu situs (lihat di sini), setidaknya ada empat macam teori terkait pers dan hubungannya dengan kekuasaan, politik dan tanggung jawab sosial. Keempat teori tersebut adalah: Authoritarian Theory, Libertarian Theory, Social Responsibility Theory,dan Soviet-Totalitarian Theory.
Teori pertama adalah teori otoritarian (otoriter). Teori otoriter yang berkembang pada abad 16-17 di kerajaan Inggris, merupakan sistem pengendalian media atau pers oleh kerajaan. Dalam pandangan teori ini pers (termasuk jurnalisme warga) haru mengabdi dan mendukung kekuasaan yang sedang berjalan. Pers tidak boleh melakukan kritik yang akan menurunkan tingkat kredibilitas penguasa.
Akibat dari praktik media massa sebagai pendukung pemerintah tentunya kebebasan warga untuk berpendapat menjadi berkurang bahkan mungkin hilang. Beberapa negara di dunia banyak yang menerapkan cara pandang seperti ini. Hal senada juga barangkali pernah terjadi di Indonesia ketika zaman Orde Baru dahulu.
Teori kedua adalah teori libertarian yang berkembang di Amerika Serikat dan sekitarnya. Media massa memiliki hak-hak yang luas dan berperan sebagai kelompok dengan keleluasaan yang istimewa dalam menjalankan peran sebagai penyampai informasi, penghibur, dan yang lebih penting lagi melakukan kontrol terhadap kepentingan atau kebijakan pemerintah.
Media menurut teori ini hanya bertanggung jawab kepada pasar atau market, karena mereka hidup dan dihidupi oleh pasar. Namun demikian media tetap mengabdi kepada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran yang juga merupakan bentuk upaya kontrol secara mandiri atau self-righting process of truth.
Di dalam sudut pandang teori ini, di samping pemerintah sebagai pengendali kekuasaan, ada juga pasar yang merupakan bagian dari masyarakat yang ikut juga berperan dalam menjalankan mekanisme kekuasaan dan  politik. Pasar adalah bagian terpenting dalam kaca mata teori ini yang harus dibela dan disuarakan dalam rangka menjadi penyeimbang kebijakan pemerintah.
Teori ketiga adalah teori Soviet totalitarian. Menurut teori ini, media harus mengabdi kepada keberhasilan dan keberlanjutan sistem sosialis Soviet terutama pada kepentingan partai politik komunis. Sistem ini berkembang di negara Uni Soviet sebelum pecah, dan negara-negara komunis baik di Asia maupun Eropa Timur. Media menjadi abdi atau anggota loyal dan ortodoks dari partai komunis.
Apabila ditelaah dengan seksama, teori ketiga ini lebih bersifat spesifik terhadap rezim sosialis komunis yang berkembang dan mengendalikan kekuasaan dan pemerintahan. Negara-negara komunis yang masih eksis sampai sekarang tampaknya masih menerapkan kebijakan media seperti ini, meskipun tidak seketat seperti zaman sebelum munculnya media sosial dan tren jurnalisme warga.
Teori terakhir adalah teori social responsibility. Konsep tanggung jawab media atau pers senantiasa dikaitkan dengan kata sosial yang berupaya menunjukkan pada suatu konsep tentang kewajiban media untuk mengabdi terhadap kepentingan masyarakat.
Masih mengacu kepada situs yang sama di atas, menurut Siebert, Peterson dan Schramm dalam Severin and Tankard, 1992), perbedaan esensial media dalam konsep atau teori tanggung jawab sosial adalah, "media must assume obligation of social responsibility; and if they do not, someone must see they do."
Di sini kewajiban media adalah memperhatikan dan berorientasi kepada tanggung jawab sosial masyarakat. Pers atau media harus mementingkan kepentingan dari masyarakat banyak, bukan kelompok atau kepentingan partai tertentu dalam rangka mendukung kekuasaannya.
***
Mengacu kepada empat teori di atas, maka kita sebagai para pelaku jurnalisme warga, memiliki kebebasan juga untuk menentukan sikap dalam menyuarakan opini dan laporan. Kebebasan yang menjadi kecenderungan tahu preferensi pribadi atau kelompok.
Apakah mau memihak kepada penguasa dan pemerintah tanpa reserve dan secara membabi buta tanpa dilengkapi dengan sikap kritis, apakah akan memihak kepada kepentingan pasar dan sponsor yang ada di belakang kita, apakah akan memihak kepada kepentingan satu rezim atau partai politik tertentu atau kepada kepentingan masyarakat secara umum tanpa melihat tiga kepentingan lainnya di atas?
Meskipun pilihan kiblat dalam melakukan kerja jurnalisme warga sepenuhnya menjadi pilihan pribadi masing-masing, tetapi dalam kondisi zaman sekarang di mana keterbukaan sesudah merambah ke ruang-ruang privat sekalipun, maka pilihan yang ideal tentunya adalah berkiblat kepada tanggung jawab sosial.
Karena meskipun seseorang menjadi bagian dari praktik politik dan kekuasaan sebuah pemerintahan, pada akhirnya nanti, yang bersangkutan akan tetap menjadi bagian sari masyarakat pada umumnya. Sebelum dan setelah menjabat, tetap saja seseorang menjadi bagian dari masyarakat di mana ia tinggal.
Oleh karena itu, sebagai pelaku jurnalisme warga, segala upaya yang dilakukannya, entah itu mendukung kekuasaan dan pemerintahan, entah itu mendukung pasar dan sponsor yang ada di belakang, entah itu mendukung partai tertentu, tetap saja semuanya harus dikembalikan kepada tanggung jawab sosialnya. Karena sifat manusia yang tidak akan pernah lenyap adalah sifatnya sebagai makhluk sosial (homo socialis).
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H