***
Seseorang tidak saja bebas menyuarakan opininya, tetapi juga harus mengindahkan akibat  dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Dalam membuat laporan atau opininya, seorang pelaku jurnalisme warga jangan asal jeplak dalam berbicara dan menuliskan opini dan peristiwa. Etika bicara dan etika sosialnya tetap menjadi salah satu syarat utama.
Mengaitkan jurnalisme warga sebagai bagian dari kerja pers secara keseluruhan yang berfungsi merespons dan bereaksi terhadap kekuasaan dan politik di negeri ini, maka ada beberapa teori untuk bisa kita gunakan dalam rangka memahami fenomenanya.
Mengutip tulisan dalam satu situs (lihat di sini), setidaknya ada empat macam teori terkait pers dan hubungannya dengan kekuasaan, politik dan tanggung jawab sosial. Keempat teori tersebut adalah: Authoritarian Theory, Libertarian Theory, Social Responsibility Theory,dan Soviet-Totalitarian Theory.
Teori pertama adalah teori otoritarian (otoriter). Teori otoriter yang berkembang pada abad 16-17 di kerajaan Inggris, merupakan sistem pengendalian media atau pers oleh kerajaan. Dalam pandangan teori ini pers (termasuk jurnalisme warga) haru mengabdi dan mendukung kekuasaan yang sedang berjalan. Pers tidak boleh melakukan kritik yang akan menurunkan tingkat kredibilitas penguasa.
Akibat dari praktik media massa sebagai pendukung pemerintah tentunya kebebasan warga untuk berpendapat menjadi berkurang bahkan mungkin hilang. Beberapa negara di dunia banyak yang menerapkan cara pandang seperti ini. Hal senada juga barangkali pernah terjadi di Indonesia ketika zaman Orde Baru dahulu.
Teori kedua adalah teori libertarian yang berkembang di Amerika Serikat dan sekitarnya. Media massa memiliki hak-hak yang luas dan berperan sebagai kelompok dengan keleluasaan yang istimewa dalam menjalankan peran sebagai penyampai informasi, penghibur, dan yang lebih penting lagi melakukan kontrol terhadap kepentingan atau kebijakan pemerintah.
Media menurut teori ini hanya bertanggung jawab kepada pasar atau market, karena mereka hidup dan dihidupi oleh pasar. Namun demikian media tetap mengabdi kepada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran yang juga merupakan bentuk upaya kontrol secara mandiri atau self-righting process of truth.
Di dalam sudut pandang teori ini, di samping pemerintah sebagai pengendali kekuasaan, ada juga pasar yang merupakan bagian dari masyarakat yang ikut juga berperan dalam menjalankan mekanisme kekuasaan dan  politik. Pasar adalah bagian terpenting dalam kaca mata teori ini yang harus dibela dan disuarakan dalam rangka menjadi penyeimbang kebijakan pemerintah.
Teori ketiga adalah teori Soviet totalitarian. Menurut teori ini, media harus mengabdi kepada keberhasilan dan keberlanjutan sistem sosialis Soviet terutama pada kepentingan partai politik komunis. Sistem ini berkembang di negara Uni Soviet sebelum pecah, dan negara-negara komunis baik di Asia maupun Eropa Timur. Media menjadi abdi atau anggota loyal dan ortodoks dari partai komunis.