Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Dialog Lumpur: Kita adalah Saudaranya

5 Februari 2018   23:05 Diperbarui: 6 Februari 2018   00:28 1125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersahabat dengan lumpur (youtube.com)

Jika Ebit G. Ade mencoba bertanya kepada rumput yang bergoyang, maka ada kalanya perlu juga berdiskusi dengan lumpur di pematang. Makhluk jadi-jadian dari tanah yang sering disingkirkan orang.

Manusia bisa belajar dari apa saja. Dari sekolahan, dari teman sesama manusia juga dari teman sesama makhluk ciptaan-Nya. 

Sore itu aku memilih berteman dengan lumpur dengan harapan mendapatkan pencerahan hidup.

***

"Kenalkan namaku Manu, kamu lumpur kan?" Tanyaku kepadanya sambil menyodorkan tangan. 

Disambutnya tanganku dengan penuh kesejukan dan warna-warni hitam kelam yang melekat basah di tubuhnya.

"Tapi tidak apa-apa, toh  sejatinya aku juga sebagai manusia tidak ada bedanya dengan dia pada masanya dahulu kala." Batinku ketika menyentuh lumpur tanda keakraban.

"Ya, aku lumpur. Memang demikian, kamu juga asalnya sama seperti aku." Kata si lumpur tiba-tiba menyahutiku, seolah si lumpur mengetahui bisikan hati dan batinku.

***

"Dahulu kala sebelum kamu lahir ke dunia ini melalui orang tuamu, aku lebih dahulu diciptakan oleh Tuhanmu. Dari aku pulalah kalian umat manusia dibuat oleh Tuhanmu." 

"Kamu pasti tahu kan yang namanya Adam?" Ocehnya ke aku seolah tidak memberi kesempatanku untuk berkata.

"Tahu, karena aku manusia pernah diajari sejarah  nabi-nabi zaman dahulu. Dia adalah manusia pertama yang diciptakan Tuhan sebagai nenek moyang bangsa manusia." Tambahku melengkapi pengetahuan si lumpur tadi.

"Sini lebih dekat ke aku." Kata si lumpur sambil merebahkan badannya untuk aku duduki. Aku pun duduk  di sela-sela rumput dan padi yang tumbuh di atasnya.

"Aku kadang heran dengan manusia, seolah tidak menghargai ciptaan Tuhan kalian, mengapa sebagian kalian masih saja ada yang meyakini kalau nenek moyang kalian itu kera."

"Bukankah itu seperti kalian menolak penciptaan langsung diri kalian oleh Tuhan?"

***

Tersentak sesaat diriku mendengar nada protesnya mengenai pemahaman sebagian manusia tentang asal-usulnya. Aku masih tetap terdiam.

"Kalian manusia seolah tidak yakin bahwa Tuhan kalianlah yang sesungguhnya menciptakan kalian semua dari aku. Kalian bukan kelanjutan dari bangsa kera."

"Kera diciptakan oleh Tuhan sendiri tanpa ada sangkut pautnya dengan kalian. Aku adalah saksinya." Kata lumpur melanjutkan pembicaraannya.

***

Bahagia bermain lumpur (pikiran-rakyat.com)
Bahagia bermain lumpur (pikiran-rakyat.com)
Setelah aku merenung baik-baik, aku mencoba melanjutkan basa-basiku dengannya. "Begini pur..." kataku.

"Secara pribadi, pengetahuanku tentang manusia berasal dari kera itu datang belakangan. Aku mendengarnya dari guruku waktu sekolah dulu. Aku juga membacanya dari buku-buku yang katanya hasil karya para ilmuwan."

"Tapi itu dulu. Sekarang aku rasanya susah untuk memahami bahwa manusia itu bersaudara dengan kera. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Aku pun meragukan pengetahuan tersebut, kok tidak semuanya kera menjadi manusia juga? Kok masih tetap ada di bumi ini kera-kera berkeliaran?"

"Jika memang manusia berasal dari kera, seharusnya semua kera sekarang menjadi manusia. Dan itu adalah sebuah keadilan Tuhan. Keadilan untuk mengubah semua kera menjadi manusia." Begitu aku membalas protes si lumpur tadi.

***

"Sebentar." Kata si lumpur menyela. "Kamu ini sebenarnya sejalan dengan pikiranku, tetapi dalam satu sisi kamu mencampuradukkan keyakinanmu dengan pengetahuanmu." Kata si lumpur protes lagi. 

Pikiranku pun mulai curiga, kok si lumpur tahu perbedaan antara "keyakinan" dan "pengetahuan".

Si lumpur sedikit menggerakkan badannya hingga membuatku terpeleset jatuh dan masuk ke selokan di sampingnya. 

"Sebaiknya, jangan kamu campuradukkan antara  yang kamu ketahui dan yang kamu imani. Jika kamu lakukan itu, maka keimananmu terancam oleh pengetahuanmu." Si lumpur melanjutkan kata-katanya.

"Itu tidak berarti bahwa pengetahuan dan keimanan berseberangan. Tetapi kamu harus paham bahwa masing-masing memiliki batas kebenaran dan ruangnya sendiri-sendiri. Ketika batas masih ada, jangan kamu paksakan untuk saling melintasi. Itu berbahaya." Katanya.

***

"Oh berarti, ketika aku mengetahui sebuah teori bahwa manusia itu berevolusi dari kera, cukup saja aku ketahui tanpa harus mencampuradukkannya dengan keyakinanku bahwa manusia itu diciptakan Tuhan langsung. Begitu maksudnya?" Tanyaku kepadanya.

"Itu cara pemahaman yang benar" Jawabnya. "Tuhan juga tidak akan menyalahkanmu ketika kamu sedang berusaha untuk mencari kebenaran dari alam semesta ini."

"Karena itu juga merupakan salah satu bentuk dari kamu sebagai manusia untuk mensyukuri anugerah akal pikiran yang diberikan oleh-Nya."

"Hanya saja jika apa yang kamu ketahui berdasarkan pengetahuanmu yang terbatas itu bertolak belakang dengan apa yang kamu yakini, maka di sanalah kamu harus menyadari bahwa akal manusia itu terbatas adanya." 

"Jangan kamu tukar keyakinan dan keimananmu dengan pengetahuanmu yang terbatas."

Aku terdiam merenungkan kata-kata si lumpur yang terakhir tadi. "Jangan kamu tukar keyakinan dan keimananmu dengan pengetahuanmu yang terbatas."

Hmm... Sebuah kesimpulan etis epistemologis tampaknya.

***

Karena hari semakin mendung dan hujan akan segera turun. Sementara, aku pamit dahulu ke teman baruku "sang lumpur sawah".

"Pur...maaf hari mau hujan ini, aku harus mengangkat jemuran pakaian supaya tidak kehujanan. Kapan-kapan kita lanjutkan dialog teologis epistemologis ini." Kataku pamit ke si lumpur.

"Oke kawan...jangan sungkan-sungkan untuk datang lagi ke sawah ini. Toh kamu juga masih saudaraku." Jawabnya.

Aku tertegun sejenak dengan ungkapan terakhirnya sambil bergumam: "aku ternyata masih saudara si lumpur hitam kelam di sawah." 

Aku pun beranjak dan melangkahkan kaki pulang.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun