Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membudayakan Sikap Apresiatif

4 Februari 2018   14:28 Diperbarui: 4 Februari 2018   19:10 1913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagus sekali nak gambarnya, kamu pintar memang...!  Begitu sepenggal kalimat yang sering kita dengar sewaktu masih anak-anak. Seperti itu pula kita mengekspresikan perasaan hati kepada anak ketika melihat hasil karya mereka.

Tiba-tiba ingatan itu muncul ketika melihat "rating display" di toilet. Tidak ada bedanya sebenarnya apa yang kita ungkapkan untuk menilai pekerjaan seorang anak dengan pekerjaan cleaning service yang membersihkan toilet.

"Apresiasi". Itu kata inti dari keduanya. Bahasa Indonesianya adalah penghargaan. Penghargaan yang tidak harus diwujudkan dalam bentuk imbalan benda atau barang. Penghargaan cukup dengan kata-kata atau telunjuk jari untuk menyentuh rating display-nya.

***

KBBI mendefinisikan apresiasi ini sebagai kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu. Di sini ada tiga hal yang saling berkaitan: kesadaran, penilaian dan sesuatu (objek atau peristiwa).

Kesadaran sendiri merupakan keadaan mental di mana seseorang merasakan dan memahami sesuatu. Kondisi mental yang merupakan kebalikan dari keadaan tidak sadar seperti tertidur atau pingsan.

Ketika melihat sebuah benda atau satu peristiwa, maka manusia memersepsinya dengan pancaindra. Kemudian hasil persepsi tadi ditransfer ke dalam otak dan pikirannya untuk diproses dalam rangka memunculkan reaksi atau respons.

Itu adalah proses kesadaran yang terjadi dalam mental seseorang terhadap benda atau peristiwa. Persepsi tadi bisa dalam bentuk melihat, mendengar, merasakan, mencicipi atau menghirup aroma.

Maka ketika ada peristiwa atau benda yang dipersepsi oleh pancaindranya tersebut, kemudian tidak ada reaksi atau respons apa pun, hal seperti itu mirip-mirip dengan keadaan tidak sadar.

Lakukan saja eksperimen berikut: bacakan satu cerita kepada orang yang sedang tidur. Kira-kira apakah dia akan bereaksi atau merespons terhadap suara atau kalimat-kalimat yang dibacakan? Tentu saja tidak. Ini disebabkan orang tersebut sedang dalam kondisi tidak sadar.

"Woi... ternyata kamu sudah ada di sini  ya, aku tidak sadar tadi ketika kamu menghampiriku". Itu merupakan salah satu contoh percakapan bahwa ketidaksadaran juga bisa terjadi di saat seseorang terbangun.

Keadaan demikian bisa diakibatkan oleh beberapa hal; bisa dikarenakan dia sedang fokus kepada hal yang lainnya, atau dia sedang melamun pikirannya ke sesuatu yang tidak jelas. Efeknya, kehadiran seseorang menjadi tidak disadarinya.

Intinya, ketidaksadaran itu bisa terjadi ketika seseorang dalam keadaan tidur atau dalam keadaan terjaga. Konsekuensinya apa yang terjadi dan apa yang ada di sekitarnya seolah menjadi tidak ada menurut dirinya.

***

Kesadaran adalah langkah awal dari penilaian. Tanpa adanya kesadaran maka tidak akan ada penilaian. Menilai baik, benar, bagus atau indah tentunya akan diawali oleh tahap kesadaran dahulu.

Tetapi sebaliknya, kesadaran yang ada belum tentu akan mengantarkan seseorang kepada sebuah penilaian. Informasi terkait objek atau peristiwa hanya bercokol dan mengendap di dalam pikiran. Tidak ada reaksi atau respons terhadapnya yang merupakan susulan dari kesadaran sebelumnya.

Banyak terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari, kesadaran ini tidak disertai dengan penilaian. Memang tidak semua bentuk kesadaran harus dimunculkan dalam bentuk penilaian.

Terhadap hal-hal yang sensitif atau kontroversial, biasanya seseorang cukup mengetahui dan menyadarinya tanpa diiringi dengan penilaian. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman antara pelaku peristiwa dengan penilai.

Tetapi terhadap hal-hal atau sesuatu yang kira-kira netral atau justru merupakan hal yang positif, maka kesadaran yang tidak diiringi dengan penilaian adalah hal yang ganjil.

Ganjil karena manusia pada dasarnya menginginkan pengakuan dan pujian. Manusia menginginkan eksistensinya diakui oleh orang lain. Eksistensi sebagai bentuk dari ciri-ciri dan kesejatian dirinya.

Ketika kita belanja di Indomart atau Alfamart, di depan kasir sering ditemui display yang bisa kita sentuh untuk menilai pelayanan; puas atau tidak puas. Tetapi kita sangat jarang melalukan itu. Seolah-olah itu bukan hal yang penting untuk dilakukan.

babakarthik.com
babakarthik.com
Demikian juga, ketika di toilet yang modern, alat yang sama sering terpampang untuk dijadikan media penilaian. Apakah kondisi dan pelayanan di toilet tersebut memuaskan atau tidak?

Kepuasan dari segi kebersihan, kepuasan dari segi kepraktisan dan kepuasan dari hasil kerja tenaga cleaning service yang merawatnya. Itu semua merupakan objek penilaian yang sebenarnya sangat diharapkan oleh penyedia layanan untuk dinilai melalui alat yang terpasang.

Di dalam tulisan di media-media pun demikian adanya. Media-media online sekarang, termasuk Kompasiana ini, menyediakan tombol-tombol untuk diklik dalam rangka memberikan apresiasi dan penilaian terhadap berita atau tulisan.

Jenis rating-nya pun macam-macam. Ada rating yang berbunyi puas, gembira, menarik, netral, tidak suka sampai rating marah. Semua itu mewakili ekspresi dari kondisi mental seseorang terhadap objek, peristiwa atau tulisan.

Cara tersebut sebenarnya merupakan cara bagaimana seseorang didorong untuk belajar mengapresiasi orang lain dalam bentuk penilaian. Hanya saja kita sebagai seorang dewasa, kadang-kadang menganggap hal tersebut sepele dan tidak penting.

Padahal jika kita ingat bagaimana kita memperlakukan anak-anak kita, kita tidak segan-segan untuk memuji atau menilainya. Ini sebagai bentuk kesadaran dan pengakuan terhadap hasil karya anak tadi.

Demikian juga, kita menikmati dan merasa dihargai ketika kita memperolah penilaian. Penilaian baik berarti yang kita kerjakan atau kita buat bersesuaian dengan harapan atau minat orang lain.

Ketika penilaiannya buruk, berarti ada sesuatu yang harus diperbaiki sebagai upaya dalam rangka pengembangan dan peningkatan diri. Jadi sebenarnya, menilai baik atau buruk, sama-sama memiliki manfaat.

***

Bahwa menyadari dan menghargai sesuatu adalah hal yang manusiawi. Itu merupakan salah satu bentuk mekanisme manusia untuk saling mendorong dan memotivasi sehingga menjadi lebih baik lagi.

Jika kita menemukan rating display atau tombol-tombol seperti itu, maka janganlah sungkan-sungkan untuk memencetnya atau mengkliknya. Di samping hal tersebut tidak memakan biaya dan menguras tenaga, juga bisa  menjadi salah satu bentuk dari kesadaran dan apresiasi kita terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain.

Ketika isi penilaiannya baik, maka hal itu akan mendorong orang yang dinilai terus mempertahankan kualitasnya. Ketika penilaiannya jelek, hal itu akan mendorongnya untuk melakukan perbaikan. Keduanya sama-sama bernilai positif.

Bukankah hal demikian menjadi salah satu bentuk interaksi yang konstruktif? Konstruktif bagi orang lain dan bagi diri sendiri. Demikianlah mungkin salah satu makna dari istilah "interaksi" walaupun sekedar disimbolkan oleh emoticon atau rating dalam sebuah tulisan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun