Intinya di masa sulit musim kemarau, kodok bersabar diam dan tidak melakukan demonstrasi kepada Tuhan menuntut turunnya hujan. Tetapi di saat makanan dan air melimpah di musim hujan, kodok tidak berlebihan atau ogah-ogahan untuk mengucapkan nyanyian dan zikir-zikir pujian.
Kodok dan Lompatan Kuantum
Saya belum pernah melihat kodok selamanya berjalan lemah gemulai. Kaum kodok selalu melompat jika mereka ingin berpindah tempat. Mengerahkan energi dan tenaga secara optimal untuk melangkah ke target dan tujuannya.
Jika kita melihat kodok berjalan santai sambil mendendangkan musik, mungkin itu sesekali saja. Itu bukan merupakan tabiat dan karakter kodok. Kodok selalu hidup penuh semangat untuk melompat bukan berjalan lunglai.
Kodok tidak menghiraukan seberapa jauh dia bisa melompat. Tidak ada desain perencanaan ketika dia hendak meloncat. Pokoknya melompat saja. Urusan apakah nanti akan terperosok ke got atau terpelintir ke kali, tidak pernah mereka pikirkan.
Beda halnya dengan manusia. Kekhawatiran melangkah menuju target dan tujuannya sering malah membuatnya terdiam. Hanya membayangkan saja situasi dan keadaan di sana jika dia berhasil melangkahkan kakinya. Tetapi yang bersangkutan tetap terdiam.
Kehati-hatian yang berlebihan pada akhirnya membuatnya tidak bergerak ke mana-mana. Terkungkung dengan keinginan dan terpenjara dengan keengganan dan kekhawatiran yang diciptakannya merupakan akibat yang diterimanya.
Padahal manusia di samping dibekali dengan kaki dan tangan untuk melompat lebih jauh menuju harapannya, manusia dibekali dengan otak dan pikiran untuk menciptakan beragam peralatan penunjangnya. Tetapi kenapa terkadang manusia terus saja terdiam dalam satu keadaan?
Pernahkah kita melihat kodok memakai sepatu roda atau sepeda untuk mempercepat langkah dan lompatannya? Mereka cukup menggunakan kaki-kakinya saja untuk mengejar tujuannya.
Mereka tidak dibekali oleh Tuhan akal pikiran untuk mengubah benda-benda di sekitarnya menjadi alat bantu melompat. Alat bantu yang bisa mempercepat dan meninggikan lompatannya. Mereka menerima apa adanya pemberian Tuhan sembari memanfaatkannya sebaik mungkin.
***