Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Tiga Cara Manusia Menjelaskan Gerhana Bulan

1 Februari 2018   07:00 Diperbarui: 27 Mei 2021   10:25 4974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepat di hari terakhir bulan Januari 2018, gerhana bulan total terjadi. Gerhana dengan sebutan; super blue blood moon. Tiga fenomena alami bulan ini terjadi sekaligus dalam satu waktu. Sebutan itu sendiri berasal dari Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika (NASA).

Tiga sebutan sekaligus ini memiliki arti: super moon  menandakan bulan berada di posisi sangat dekat dengan bumi, blue moon  menandakan ini adalah bulan purnama kedua dalam satu bulan, dan blood moon  yang menandakan bulan memancarkan warna merah darah.

Seluruh dunia yang kebetulan bisa menyaksikan peristiwa tersebut ramai-ramai mengabadikan momen yang hanya terjadi dalam siklus 150 tahunan itu. Tidak ketinggalan juga di Indonesia. Masyarakat berbondong-bondong keluar menyaksikannya. Bahkan sebagian umat Islam menyambutnya dengan melaksanakan salat gerhana.

Seperti halnya peristiwa alam lain yang terjadi di dunia ini, beragam sudut pandang mencuat dalam menyikapi dan meyakininya. Jika kita meminjam teori perkembangan masyarakat menurut August Comte, fenomena alam ini bisa dilihat dari tiga cara pemahaman manusia.

Tiga cara ini mencerminkan tiga hukum perkembangan peradaban masyarakat. Ketiganya adalah tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positif. Tiga tahap pembagian ini sebenarnya bukan teori baru. Hampir semua kita telah pernah mendengarnya ketika duduk di bangku kuliah.

Gerhana Bulan dalam Pandangan Teologis
Comte sendiri membagi tahapan ini menjadi tiga bagian; fetisisme  (keyakinan terhadap kekuatan benda-benda), politeisme  (keyakinan terhadap banyak dewa) dan monoteisme (keyakinan terhadap satu kekuatan tertinggi). Mitologi dan keyakinan agama termasuk dalam tahapan ini.

Berpijak dari tahapan teologis menurut Comte di atas, menyikapi gerhana bulan tersebut maka masyarakat melihatnya dari sudut pandang supranatural. Supranatural ini bisa saja mencakup mitos atau keyakinan agama.

Ilustrasi (Sumber: duniaku.net)
Ilustrasi (Sumber: duniaku.net)
Orang Yunani Kuno meyakini bahwa gerhana bulan sebagai pertanda Tuhan atau Dewa sedang marah. Gerhana bulan menjadi pertanda akan datangnya bencana yang mengerikan.

Itulah sebabnya gerhana bulan ini dalam bahasa Inggris disebut eclipse.  Eclipse sendiri berasal dari Bahasa Yunani Kuno "ekleipsis"  yang memiliki arti ditinggalkan, disia-siakan atau kehancuran.

Ada juga mitos yang mengatakan bahwa gerhana bulan terjadi dikarenakan bulan dimakan oleh makhluk raksasa atau oleh makhluk perkasa lainnya. Suku Inka mengatakan bulan dimakan jaguar. Orang Tiongkok mengatakan bulan dimakan naga bahkan orang Jawa (Kuno) mengatakan bulan dimakan batara kala.

Mitos lain menyatakan bahwa ketika gerhana bulan, wanita hamil tidak boleh melihatnya. Ia harus sembunyi di kolong tempat tidur. Karena jika ia melihat gerhana atau keluar rumah ketika gerhana terjadi, anaknya akan lahir cacat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun