Mari kita cermati dan sedikit kupas pernyataan seorang wakil rakyat yang terhormat ketika menilai apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi (menjadi imam salat) dalam kunjungannya ke Afghanistan. Kunjungan dalam rangka menjalankan fungsi kenegaraan, bukan kunjungan bersifat pribadi atau keluaraga.
"Kalau imam salat kan biasa yah, presiden seharusnya imam dari rakyat Indonesia membawa apa yang diharapkan. Kalau jadi imam bagus-bagus aja. Saya kira itu pencitraan yang bagus lah."
Demikian pernyataan Fadli Zon ketika ditanya wartawan mengenai Jokowi menjadi imam salat di sela-sela kunjungannya ke Afghanistan baru-baru ini seperti yang diberitakan Kompas, Selasa (30/1/2018) . Tanggapan di atas menurut sebagian netizen bernada nyinyir dan tidak sepantasnya diungkapkan dalam mengkritisi apa yang dilakukan Jokowi.
Membaca kunjungan Jokowi ke Afganistan harus didudukkan sebagai peristiwa resmi seorang Presiden dalam rangka kunjungan kenegaraan. Setiap respons dan reaksi pun mestinya didudukkan dan dibingkai dalam kerangka kebijakan bukan dalam bingkai pribadi.
Opini ini bukan merupakan sebuah pembelaan, tetapi sekedar menyuarakan pandangan lain mengenai fenomena "saling serang" secara terselubung menurut persepsi rakyat biasa (saya), terhadap beberapa tokoh politik di negeri ini. Tujuannya adalah dalam rangka mencoba bersikap kritis dalam definisi yang biasa-biasa saja.
Miris rasanya melihat dan mendengar ungkapan dan respons seorang Wakil Rakyat berkata nyinyir seperti itu. Padahal rakyat sendiri tentu tidak merasa terwakili dengan ungkapan-ungkapan bernada sinis dari seorang wakilnya.
Apakah seperti itu tugas seharusnya seorang wakil rakyat? Apakah itu sikap yang mendidik rakyat untuk berpolitik santun dan etis di negeri ini? Apakah memang benar konstituen rakyat yang memilihnya dahulu menitipkan sikap kritis dalam hal-hal yang menyangkut tindakan pribadi seseorang?
Sikap Santun Oposisi dalam Berpolitik
Mari kita mengacu ke definisi oposisi yang sangat sederhana yang bisa dipahami oleh rakyat. KBBI mengatakan bahwa oposisi adalah:
"Partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa".
Jika dalam sistem dan tata negara kita ada kelompok yang meneguhkan diri sebagai oposisi, maka sikap tersebut sebenarnya juga berada dalam ruang-ruang publik dan kebijakan. Ruang di mana penguasa menjalankan perannya sebagai kelompok yang mengendalikan kekuasaan di negeri ini. Ruang itulah yang menjadi tempat untuk oposisi untuk mengkritisi dan mengevaluasi.
Sekarang ini, ketegasan menjadi oposisi itu seolah menjadi kabur antara ruang pribadi dan ruang kebijakan publik. Suara-suara yang keluar dari mereka dinilai tidak ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat. Suara yang hanya mewakili kegalauan atau kegundahan pribadi atau golongannya.
Kekaburan ini ditandai dengan seringnya keluar pernyataan-pernyataan dari seseorang atau kelompok yang terkesan "menyerang" tindakan pribadi yang dilakukan oleh kelompok yang berkuasa. Pernyataan di atas hanyalah merupakan satu dari sekian banyak ungkapan kritis dari oposisi terhadap lawan politiknya yang tidak pada tempatnya.
Membandingkan pernyataan seorang tokoh politik wakil rakyat di atas terhadap "lawan politiknya" dengan pemahaman yang sebenarnya mengenai oposisi ini rasa-rasanya sangat tidak sejalan. Pemahaman yang pada mulanya berkisar di dalam bingkai-bingkai kebijakan publik dipaksa menjadi berada atau termasuk di dalam ruang pribadi.
Ada orang yang menikahkan keluarganya yang kebetulan sebagai penjabat publik, dikritisi. Ada orang menjadi imam salat sebagai salah satu bentuk ketaatannya kepada Tuhannya berdasarkan keyakinan yang dipegangnya dikritisi. Kritikan-kritikan itu jika dinilai sebenarnya sudah menyimpang dari kemestiannya sebagai wakil rakyat.
Dari sudut pandang dan kacamata rakyat biasa, hal ini sangat tidak etis dan tidak kondusif dalam menciptakan suasana sejuk dan menentramkan. Rakyat sebenarnya harus dididik untuk bisa berdemokrasi dan berpolitik secara baik dan etik, bukan dididik dengan cara-cara yang tidak simpatik.
Fakta "pernyataan kritis" di atas tidak perlu dibawa ke dalam urusan yang lebih rumit praktik pengamalan keyakinan dan kepercayaan seseorang. Pernyataan tersebut cukup di letakkan sebagai masalah dalam kerangka sikap seseorang yang katanya mewakili sebagian rakyat Indonesia.
Sikap Kritis atau Relativisme?
Seseorang yang meletakkan dirinya di arah yang berlawanan dengan orang lain dalam konteks bernegara dan berbangsa, boleh saja bahkan harus mengkritisi pihak yang dianggapnya berseberangan. Itu juga yang diharapkan oleh rakyat pemilihnya.
Rakyat menitipkan kepercayaan kepada orang-orang yang secara kualitas dianggap lebih baik darinya. Rakyat mencoblos gambar seseorang untuk dijadikan wakil dalam mengawasi dan membawa aspirasinya ke panggung politik itu kepada mereka yang diyakini konsisten dengan amanat dan aspirasinya.
Rakyat mempercayakan mandat dan keterwakilannya kepada seseorang itu bukan dalam ranah-ranah yang terkait dengan masalah-masalah pribadi. Namun mereka mewakilkan mandat tersebut dalam ranah kepentingan bersama dan kepentingan umum. Urusan pribadi yang bersangkutan sebenarnya tidak dalam porsinya untuk dibicarakan.
Betapa naif rasanya seorang yang duduk mewakili rakyat dalam urusan-urusan politik harus begitu jauh bersikap reaktif terhadap lawan politiknya. Seolah-olah tidak mampu lagi untuk membedakan perannya sebagai wakil rakyat dan sebagai pribadi yang memiliki "masalah" dengan orang yang dikritiknya.
Bahwa sikap-sikap yang dimunculkan oleh wakil rakyat itu sebenarnya merupakan sikap yang tidak perlu dan tidak wajar. Hal ini di samping akan memancing reaksi yang lebih jauh di masyarakat, juga yang bersangkutan seperti sedang membuat pengumuman mengenai sisi lain dari kepribadiannya yang penuh dendam dan iri dengki dengan orang lain.
Urusan keluarga, urusan hobi atau ibadah tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat banyak. Kecuali jika hal tersebut sudah dianggap mengganggu dan dikerjakan di luar kewajaran dan kepatutan umum. Pada titik seperti ini boleh saja menyuarakan kritik terhadap urusan-urusan tersebut.
Hanya saja ketika dalam praktiknya, posisi dan statusnya sebagai orang yang mewakili rakyat memberikan pernyataan-pernyataan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat tapi hanya mencerminkan kepentingan terselubung dari pribadi atau golongannya, untuk apa sebenarnya yang bersangkutan menyatakan diri sebagai wakil rakyat?
Kata "pencitraan" yang pada awalnya netral sekarang ini sudah dipaksa untuk menyandang status dan sifat yang negatif. Kata yang awalnya merupakan ungkapan dalam rangka memberikan kesan baik di mata publik, sudah sarat dengan kecaman dan umpatan yang dilahirkan oleh para "politisi sakit hati".
Siapa pun tentunya menginginkan dirinya untuk tampil sebaik mungkin di depan publik. Lantas kenapa hal seperti ini dipersoalkan? Seseorang akhirnya menjadi serba salah ketika berhadapan dengan orang yang di dalam dirinya tersimpan "masalah personal dan etis" dalam menyikapi orang lain.
Kata "pencitraan" pada akhirnya justru sangat ampuh untuk menghakimi orang lain dalam segala tindakannya. Kata yang sudah tidak mampu lagi mencerminkan perbedaan antara yang baik dan buruk, antara yang benar dan salah. Kata yang sudah mewakili pernyataan dan ungkapan kaum-kaum "sofis penganut relativisme" yang membuat kabur kebenaran.
Apa pun yang dikerjakan oleh seseorang, serta merta dilekatkan kepadanya ungkapan "pencitraan" dengan tujuan mengoyak pandangan positif dari masyarakat. Bertindak benar pun menjadi salah, bagaimana kalau bertindak salah?Â
Bersikap kritis kepada siapapun tidak diharamkan selama itu objektif. Tetapi kritis juga harus berada pada tingkat kewajaran. Sebab kritis yang hanya sekedar meluapkan kegundahan dan kemarahan peribadi, pada akhirnya hanya akan memuculkan reaksi negatif susulan dari masyarakat, terlebih jika hal itu dilakukan oleh para tokoh politik di negeri ini.
Tidak sewajarnya rakyat "dibuat bingung" dengan tingkah laku dan pernyataan para politisi yang membuat samar dan abu-abu kenyataan dan kebenaran akibat dari kritk-kritiknya yang tidak perlu dan kelewatan.
***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H