Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nostalgia Anak "Kampoeng Tempo Doeloe"

29 Januari 2018   00:20 Diperbarui: 29 Januari 2018   02:57 1937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: pustamun.blogspot.com)

Sawah di depanku itu terbentang luas. Tanaman padinya menghijau setinggi lutut orang dewasa. Aku duduk di depan teras rumah di kampung tempat orang tuaku tinggal. Kilasan sejarah masa lalu itu bermunculan di kepala.

Puluhan tahun silam, sawah di depan mata itu menjadi tempatku bermain setiap sore setelah pulang sekolah agama. Jika pas musim kemarau, sawah dijadikan lapangan bola. Terkadang aku dan teman turun ke sawah untuk mencari belalang atau mencari satu dua ekor belut jika pas musim tanam padi.

Jika bernasib baik, menjelang magrib aku pulang sambil membawa belalang atau beberapa ekor belut hasil tangkapan. Setelah sampai di rumah, biasanya ibuku langsung membersihkan belalang atau belut yang kubawa. Sementara aku mandi dan bersiap-siap pergi ke madrasah untuk mengaji di malam hari.

Keesokan harinya, jam 06.30 aku berangkat ke sekolah seperti biasanya. Kebetulan sekolah tingkat dasarku di kampung waktu itu adalah Madrasah Ibtidaiah (MI). Sekolah di MI ini biasanya dijalani sampai zuhur.

Sepulang sekolah istirahat sejenak sekitar 1-2 jam di rumah. Setelah itu berangkat lagi ke madrasah untuk belajar ilmu agama. Di kampung, pengetahuan agama sama pentingnya untuk dipelajari di samping pelajaran-pelajaran umum.

Sekolah di madrasah dilakukan setelah zuhur sekitar pukul 14.00 sampai asar sekitar pukul 16.00. Di sela-sela waktu setelah asar dengan waktu magrib biasanya menjadi waktu untuk bermain bersama teman-teman.

Menjelang magrib, setelah mandi anak-anak pada berangkat kembali menuju madrasah untuk mengaji di malam hari. Waktu dulu, di kampung tempatku tinggal belum ada listrik seperti sekarang ini. Listrik baru masuk kampungku pada tahun 1989.

Jika kebagian tugas untuk menyalakan lampu, anak-anak pengajian mengambil lampu petromaks di kantor madrasah. Kemudian dinyalakan sebelum salat magrib. Kadang-kadang sebagian di antara mereka kebagian tugas memompa air untuk mengisi bak air masjid untuk jamaah yang hendak wudu dan salat.

Setelah salat magrib selesai, di madrasah, ajengan sebagai guru mengaji, mengajari beberapa ilmu agama seperti cara beribadah, dasar-dasar keimanan dan akhlak pergaulan. Mengaji agama di malam hari ini biasanya selesai sekitar jam 20.00.

Setelah selesai mengaji, aku pulang ke rumah jika mau, atau kadang tidur di masjid di kompleks madrasah. Kecuali kalau malam minggu aku bisa menumpang menonton tipi hitam putih di rumah tetangga. Zaman dulu, menonton tipi paling-paling hanya malam dan hari minggu saja, tidak setiap hari seperti anak-anak sekarang.

Demikian sepotong ingatan masa laluku sewaktu masih usia SD sampai SMP yang kuhabiskan di satu kampung. Kampung yang bukan merupakan sentra kerajinan atau sentra perdagangan. Namun hanya sebuah kampung pertanian sistem tadah hujan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun