Beberapa hari ini media dihangatkan oleh "penampakan" seorang (mantan) vokalis band Nasional karena penampilannya sebagai pejabat publik yang nyentrik. Ya, dia adalah Pasha Ungu yang pada tahun 2016 kemarin terpilih sebagai Wakil Walikota Palu, kota yang bertetangga dengan kota tempat kelahirannya (Donggala). Bersama dengan Walikota Hidayat, Pasha menjabat sebagai Wakil Walikota untuk periode 2016-2021.
Ihwal yang membuatnya menjadi sorotan dan bahan kontroversi adalah gaya rambutnya yang dinilai publik tidak pantas untuk seorang pejabat. Pasha menampilkan gaya rambut "kuciran" mirip-mirip anak-anak jalanan dengan gaya free style-nya. Akibatnya dia menuai berbagai kecaman dan cemoohan yang berasal dari masyarakat biasa sampai pejabat atasannya.
Direktur Fasilitas Kepala Daerah, DPD dan Hubungan antar lembaga (FKDH) Kemendagri, Akmal Malik menyebut gaya rambut Pasha melanggar etika. "Sisi etika saja, ada aturan berpakaian rapi, tata cara berpakaian dinas. Secara normatif tidak melanggar UU, hanya melanggar etika tata cara berpakaian." Demikian respons Akmal saya kutip dari sebuah media.
Lain halnya dengan Akmal, Mendagri Tjahjo Koemolo justru berpendapat sebaliknya. Dia mengatakan kalau gaya tersebut bukan merupakan pelanggaran baik dari segi aturan atau etika.Â
Mendagri mengatakan, seperti diberitakan Kompas.com: "Dari foto yang beredar tidak menyalahi undang-undang atau peraturan. Seragam sudah benar, potongan rambut wajar." Kata Tjahjo melalui pesan singkatnya, Senin (22/1/2018).
Nah loh. Satu fenomena gaya seorang pejabat daerah telah menjadi bahan "pembelajaran persepsi" baik di kalangan masyarakat maupun di kalangan pejabat sendiri. Barangkali ini mungkin salah satu ekspresi dan realitas dari konsep bernegara dan berbangsa yang namanya demokrasi.
Terlepas dari beragam polemik di atas, ada beberapa hal yang menurut saya menarik untuk dipikirkan terkait gaya personal seorang pejabat publik (pulic officer). Di sana terdapat tiga hal yang kita kenal sebagai personal style, public officer dan public demand (tuntutan masyarakat).
Nada-nadanya seperti mau membuat teori baru dalam bidang personal and public performance. Boleh saja kalau mau dibilang seperti itu juga, toh siapa pun bebas berteori, teori berbasis opini.
Personal Style dan Jalan Setapak
Entah kita sebagai rakyat biasa saja atau seorang rakyat biasa yang kebetulan jadi pejabat publik, di dalam diri kita tetap saja ada aspek personalnya. Bukan hanya karena eksistensi kita sebagai manusia dengan fungsi individu itu mendahului eksistensi ketika menjalankan fungsi publik, tetapi dengan adanya personalitas diri, kita membuktikan bahwa tiap manusia memiliki keunikan dan memiliki gaya.
Style is a manner of doing or presenting things. Demikian pengertian mengenai style atau gaya. Jika gaya berarti cara seseorang melakukan atau menyajikan sesuatu mengenai sesuatu, tentunya hal itu memiliki konsekuensi untuk munculnya perbedaan antara satu cara dengan cara yang lainnya.
Cara saya menulis merupakan gaya saya mengekspresikan pemikiran dan perasaan saya yang pastinya berbeda dengan cara dan gaya Anda sekalian dalam menyajikan pemikiran dan perasaan. Walau ada kesamaan, namun barangkali kesamaan itu sebatas dari penggunaan beberapa aspek saja yang berlaku umum seperti bahasa dan media yang digunakan (komputer atau smart phone).
Tetapi ketika menyangkut cara kerja dalam menuliskan isi pikiran atau substansi tulisan yang melibatkan cara, pola dan gaya berpikir, maka di sanalah akan ditemui beberapa perbedaan. Perbedaan antara saya dengan Anda sekalian. Ini berarti, saya sebagai personal berbeda dengan Anda sebagai personal pula.
Gaya pribadi mirip-mirip seperti jalan setapak yang dilalui setiap orang. Jalan yang pada akhirnya akan mengantarkan yang bersangkutan ke wilayah privat yang sesungguhnya. Rumah, kamar tidur, kamar mandi dan ruangan privat lain yang melekat dalam bangunan privatnya sebagai manusia. Maka hanya lewat jalan setapaklah seseorang membuat jalan akses ke ruang privatnya.
Kita semua tentu tahu, di jalan setapak tidak pernah kita temukan rambu-rambu lalu lintas. Orang boleh saja berlari atau berjalan dengan langkah gontai. Di jalan setapak tidak ada CCTV pengawas untuk mendeteksi pelanggaran lalu lintas.
Semau-maunya orang yang jalan di atasnya saja. Paling-paling aturan tersebut akan dibuatnya sendiri sebagai bentuk kehati-hatian supaya tidak terpeleset ketika jalannya licin.
Public Officer dan Jalan Raya
Di dalam bahasa Inggris, padanan kata pejabat publik adalah public officer. Public officer is a person who has been legally elected or appointed to office and who exercises governmental functions. Demikian kutipan mengenai pengertian pejabat publik hasil Googling.
Secara legal tentu saja Pasha Ungu telah terpilih sebagai Wakil Walikota Palu yang menjalankan fungsi-fungsi sebagai pejabat publik sekaligus pejabat pemerintahan. Oleh karena itu, di samping dia menjadi manusia dengan eksistensi personal individual, juga menjadi manusia dengan eksistensinya sebagai pejabat publik.
Menjadi seorang pejabat publik, Pasha setingkat lebih tinggi jika dibandingkan dengan kebanyakan orang. Seseorang di samping menjadi individu sekaligus ia juga akan menjadi bagian dari masyarakat yang masuk dalam ruang publik. Maka sering dikatakan kalau manusia itu makhluk individu sekaligus makhluk sosial.
Mengenai pejabat publik, di samping dua fungsi tadi melekat pada dirinya, dia juga memiliki fungsi lain yang lebih tinggi dari kebanyakan orang. Dia memiliki fungsi untuk melayani dan menjadi orang yang diharapkan memenuhi tuntutan masyarakat dalam segala hal. Demikianlah risiko menjadi pejabat publik.
Risiko lain adalah bahwa seorang pejabat publik seolah dituntut untuk menjadi serba berada di atas rata-rata. Mulai dari cara kerja, kualitas pribadi, etika, moral, kecakapan, popularitas sampai menyangkut urusan gaya.Â
Tentu saja semua itu akan menjadi pekerjaan baru bagi seseorang dengan peran demikian. Begitu pun dengan Pasha ketika dirinya berubah dari hanya sekedar seorang vokalis band Ungu menjadi Wakil Walikota Palu.
Maka jika diibaratkan lagi, seorang pejabat publik adalah mereka yang menyusuri jalan raya sebagai fasilitas umum dalam rangka melayani masyarakat umum pula. Jalan di mana semua aturan dan tata krama diterapkan. Jalan yang tidak seperti jalan setapak di atas yang menuju ke ruang privat.
Jalan raya selalu menjadi tempat umum yang berada di atas jalan setapak dalam segala hal. Dalam lebarnya, dalam keleluasaannya, dalam fungsinya dan dalam hal lain yang lebih luas dari fungsi jalan setapak. Ketika seseorang berada di jalan raya, ada banyak aturan bahkan CCTV mengintainya. Pelanggaran sekecil apa pun akibatnya akan membuahkan sanksi.
Ketika Pasha Menyusuri Jalan Raya dengan Gaya Jalan Setapak
Pasha memiliki cara dalam menyajikan penampilan pribadinya terkait potongan rambutnya. Secara gaya dengan kekhasan personalnya tentu saja tidak perlu dipersoalkan. Karena urusan cara dalam menyajikan diri sendiri adalah urusan pribadi sesuai dengan preferensinya. Apalagi jika melihat latar belakangnya sebagai seorang artis. Di sinilah Pasha sedang menyusuri jalan setapak menuju wilayah privatnya.
Yang jadi masalah adalah ketika gaya tersebut tidak lagi menjadi gaya sebagai ekspresi diri individual atau personal. Ketika seseorang sudah memasuki wilayah pengharapan publik terhadap dirinya baik sebagai pejabat atau tokoh yang secara kelaziman dan kepatutan umum mengharuskannya untuk menanggalkan gaya personalnya, maka ia sebenarnya ibarat sedang menyusuri jalan raya dengan seabrek aturan dan tata tertib.
Di sinilah potensi pelanggaran menjadi lebih besar dibanding ketika dia menyusuri jalan setapak. Sedikit saja pelanggaran maka dia akan menuai polemik dan cemoohan. Polemik dikarenakan preferensi pribadinya terhadap gaya rambut yang digunakannya bertubrukan dengan pengharapan publik kepada dirinya sebagai seorang tokoh dan pejabat. Harapan yang mengharuskannya tampil lebih sopan menurut definisi kebanyakan orang.
Tetapi hal itu tidak semata-mata menjadi faktor pemicunya. Faktor lain adalah adanya kesepakatan umum dari masyarakat mengenai kepatutan seorang pejabat publik. Kepatutan menyangkut cara berbicara, cara berpakaian dan cara bertindak.
Lagi-lagi ini ibarat aturan-aturan yang berlaku di jalan raya yang meskipun tidak tertulis dan diundangkan oleh pemerintah, tetapi tetap saja memiliki sanksi; sanksi sosial dan moral.
Bagaimanapun masyarakat telah memiliki semacam "rambu-rambu lalulintas" umum yang meskipun tidak tertulis tetapi digunakan untuk menilai dan mengukur penampilan dan tindakan seorang pejabat publik. Jika selaras dengan pakem tersebut, maka masyarakat diam atau bahkan memujinya.
Tetapi jika menurut sebagian saja, sang pejabat menyimpang dari pakem, maka polemik dan cemoohan muncul ke permukaan. Penyimpangan yang bukan secara moral, tetapi penyimpangan yang sebenarnya merupakan cara diri untuk berekspresi yang tidak ada hubungannya dengan moral dan etika ketika tidak sebagai pejabat publik.
Demikianlah keadaannya ketika kita mencoba memahami polemik terkait dengan penampilan Pasha sebagai pejabat yang menyimpang dari pakem dan kesepakatan umum mengenai kepatutan seorang pejabat.Â
Pasha Ungu yang pada awal kariernya menjadi seorang lelaki yang menyusuri jalan setapak bahkan "gang tikus" menuju ruang-ruang privatnya, kemudian berubah menjadi Pasha Wakil Walikota yang menyusuri jalan raya dengan rentetan aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Tentunya perlu waktu untuk beradaptasi dari satu gaya hidup ke gaya hidup lainnya. Selama yang bersangkutan tidak menyimpang jauh dari norma, hukum dan undang-undang yang diberlakukan di negeri ini, maka wajar saja jika ada sebagian orang menganggap bahwa penampilan rambut Pasha Wakil Walikota tersebut tidak menjadi masalah. Ini seperti dinyatakan oleh Mendagri sendiri Tjahjo Koemolo ketika mengomentari gaya rambut Pasha Wakil Walikota.
Kebosanan Terhadap "Penampilan Datar"
Seorang netizen memberi komentar di salah satu situs penyedia berita bernada mendukung mengenai gaya Pasha Walikota ini dengan mengatakan:
"Indonesia sekarang gak butuh orang berpenampilan rapi, tapi korupsi? Tak butuh orang pintar, karna orang pintar akan membodohi masyarakatnya untuk menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi, tapi Indonesia krisis orang jujur dan cerdas, cerdas dalam berpikir, bertindak, dan berperilaku. Bagaimana dengan menteri Susi? Dia merokok, dia hanya lulusan SD? Tapi lihat hasil kerjanya? Bagaimana dengan Setnov dia pintar dia rapi, tapi dia juga pintar memanfaatkan uang rakyat".
Telak dan sesak rasanya membaca komentar seperti itu. Telak karena ada "kebosanan dan kemarahan" yang menyeruak keluar dalam bentuk kata-kata di atas ketika melihat kelakuan sebagian pejabat yang secara lahiriah  berpenampilan sesuai keinginan masyarakat umum tetapi di balik dandanannya justru malah menggasak uang rakyat.
Sesak karena di Indonesia sekarang sudah muncul "wabah kamuflase" dari pejabat untuk memalingkan perhatian rakyat dari jati diri sesungguhnya yang belum banyak diketahui. Peci dan baju koko, jas dan dasi serta penampilan rapi lainnya, sering menjadi instrumen penampilan para calon pejabat ketika menghadapi Pemilu atau Pilkada. Seolah dengan barang-barang tersebut, jati dirinya akan terbungkus rapi.
Barang-barang yang dalam sekejap mampu menyihir masyarakat dan mendudukkan sang calon menjadi calon pimpinan yang moralis, etis dan agamis atau intelektual. Ironisnya, masyarakat pun terbius dan "percaya" begitu saja dengan yang dilihatnya secara lahiriah itu. Tetapi dalam perjalanannya, tidak sedikit para pejabat baik pusat atau daerah yang akhirnya "bertamu" ke gedung KPK.
Ironisnya lagi baju koko dan peci, jas dan dasi masih sering dipakainya baik ketika mendatangi gedung KPK atau selagi menjalani persidangan untuk menyelesaikan kasus dari terkuaknya jati diri yang sebenarnya dari pejabat bersangkutan. Baju koko dan peci, jas dan dasi ternyata selama ini telah mengelabui. Barang-barang tersebut ternyata tidak memiliki korelasi dengan seseorang untuk jauh dari korupsi.
Lagi-lagi cara berpikir seperti ini juga menjadi seolah seperti pejalan kaki yang menyusuri jalan setapak. Cara berpikir yang "aneh dan tidak lazim". Karena akan bertabrakan dengan cara berpikir yang  mengatakan "lebih idealnya kan penampilannya rapi, perilakunya juga terpuji, karena pejabat yang penampilannya urakan dan perilakunya tidak terpuji akan menjadi contoh yang ditiru anak muda". Begitu kira-kira argumennya.
Tetapi sekali lagi, gaya seseorang itu keluar dari preferensi pribadinya. Saya kira anak muda sekarang dengan kemudahan akses terhadap informasi, akan lebih banyak memiliki figur contoh dan panutan untuk ditiru. Mereka tidak akan serta merta meniru Pasha dengan gaya rambutnya. Janganlah kita menganggap anak muda sekarang sebagai generasi bodoh yang akan menjiplak begitu saja gaya orang lain.
Saya sendiri, termasuk golongan yang memprotes penyelewengan dari "penampilan datar" dan rapi seperti netizen di atas. Zaman sekarang substansi dan isi lebih penting dari pada kemasan. Rakyat sudah bosan dengan kemasan menarik tapi isinya tidak laik. Rakyat sudah sering tertipu dengan penampilan.
Apa kemudian kita akan kembali melestarikan "tradisi tipu menipu" lewat baju koko dan peci, jas dan dasi dengan menolak tawaran alternatif berpenampilan dari seorang Pasha Sang Walikota? Sesekali keluar kek dari cara pikir mainstream dan mencoba menjelajahi cara berpikir minorstream. Saya yakin, pertanyaan dan pernyataan ini juga akan menjadi seperti jalan setapak dibandingkan dengan jalan raya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H