Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berteori dari Sepiring Nasi

21 Januari 2018   20:22 Diperbarui: 22 Januari 2018   15:12 2889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda boleh percaya atau tidak terhadap ungkapan ini. "Kenikmatan tidak ada hubungannya dengan kemasan. Kesederhanaan bisa memunculkan kesadaran dan pengetahuan".  Dua ungkapan yang tiba-tiba mencuat ke permukaan itu terpicu hanya karena sepiring nasi yang saya santap untuk mengganjal perut yang keroncongan.

Nikmatnya makan ternyata tidak ada hubungannya dengan harga dan gaya kuliner mewah yang disantap. Nikmat adalah rasa yang muncul karena peristiwa dan keadaan lain yang sulit dijelaskan. Peristiwa makan contohnya. Nikmat adalah kondisi psikologis dan mental yang cara kerjanya tidak tahu seperti apa. Tetapi misteri kenikmatan ini bisa kita mengerti, walau tidak bisa kita katakan, paling tidak ketika kita menyantap makanan.

Begitu juga, kita bisa memahaminya dengan melihat kebalikannya. Ketika di pesta-pesta atau di acara-acara pertemuan. Nasi kotak atau hidangan berisi sajian makanan yang mahal bisa sampai tidak dihabiskan. Saya yakin bukan semata-mata karena rasa kenyang orang yang menyantapnya, tetapi kebanyakan karena tidak atau kurang nikmat ketika dirasakan. Daging, telur, ikan dibuang begitu saja karena ketiadaan rasa nikmat ini.

Alasan lain mungkin karena rasa bosan yang ada dalam diri seseorang yang menyantapnya. Bosan dengan sajian "empat sehat lima sempurna" (yang dulu sepat jadi slogan peningkatan gizi masyarakat). Faktor ini pun bisa memengaruhi hadirnya kenikmatan dalam seonggok makanan. Kenikmatan memang tidak ditentukan oleh tampilan atau harga yang harus dibayar.

Sebaliknya, mungkin kita pernah mengalami di mana di sebuah tempat di desa tempat orang tua kita tinggal, kita makan dengan lahap dan banyak meskipun hanya dengan lauk seadanya: sambal jelantah (minyak bekas menggoreng) dan kanaren (ikan asin kecil-keci dalam bahasa Sunda) atau gereh menurut orang Jawa. Seperti itulah yang saya rasakan ketika menyantapnya.

Aneh... Kok bisa, hanya dengan lauk sambal jelantah dan kanaren tadi, rasa-rasanya kenikmatan yang dihasilkan mengalahkan menu makanan di restoran cepat saji dengan harga dan sajian yang memesona. Ada rahasia di sini tampaknya. Rahasia yang hanya bisa didapatkan dan dirasakan jika kita mengalaminya dan merasakannya sendiri.

Epistemologi dan Axiologi Sepiring Nasi

Sekarang mari kita membawa fenomena ini ke pusaran epistemologi untuk memahaminya. Bahwa pengetahuan itu ada yang bisa diukur secara eksak dan dibuktikan oleh pancaindra semua orang dengan alat-alat bantunya. Ini yang dikenal sebagai pengetahuan ilmiah yang bersifat massal dan universal. Ada pula pengetahuan yang hanya bisa diketahui dan dipahami oleh orang yang mengalaminya seperti pengetahuan tentang penghayatan keagamaan (mistik) yang lebih bersifat individual dan personal.

Perihal pengetahuan yang sifatnya ilmiah, mudah bagi semua orang untuk membuktikan kebenarannya. Sedangkan pengetahuan yang bersifat non ilmiah yang bersifat individual dan personal, sangat susah untuk dibuktikan kecuali merasakannya sendiri. Itu pun belum tentu terjadi kesamaan derajat pengetahuan dan pemahamannya meskipun sama-sama melakukannya.

Dari sini bisa kita lanjutkan, bahwa kesepakatan akan mudah diwujudkan ketika ada kesamaan pemahaman. Kesamaan yang didasarkan pada pengetahuan yang tidak mengandung perbedaan. Semua orang sepakat kalau nasi adalah bahan makanan pokok orang Indonesia yang menyehatkan.

Kelangkaan beras dan nasi tentunya akan memicu gejolak baik yang tampak atau tidak tampak. Karena dalam hal tersebut, kesepakatan terhadap nasi sudah menjadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Di samping itu, nasi sudah terbukti secara ilmiah sebagai makanan yang menyehatkan dan menguatkan bagi Bangsa Indonesia.

Lain halnya ketika nasi sudah diolah menjadi beragam menu dan sajian. Ada nasi liwet, ada nasi uduk ada nasi lemak dan ada nasi sambal jelantah tadi. Jika terjadi kelangkaan terhadap nasi-nasi jenis itu, saya kira tidak akan ada keluhan dan gejolak dari masyarakat. Karena di dalam kasus tersebut nasi dengan beragam jenisnya itu bukan lagi sebagai sebuah kesepakatan nasional. Meskipun menjadi kesepakatan di daerah tertentu, tetapi tidak menjadi kesepakatan di daerah lainnya.

Pengetahuan individual dan kesepakatan lokal dalam konteks sosial merupakan ciri khas dan keunikan masing-masing. Ilmu antropologi menyebutnya sebagai budaya dan tradisi. Sedangkan pengetahuan universal dan kesepakatan massal merupakan pengikat semua perbedaan-perbedaan yang lahir dari kedaerahan dan kekhasan masing-masing.

Kedua hal ini tidak boleh saling mengalahkan, tidak boleh saling mendominasi dan tidak boleh saling bertikai satu sama lain. Manusia boleh saja fanatik dengan keyakinan dan budayanya termasuk keyakinan agama yang dianutnya. Tetapi ia juga harus sadar bahwa ada sisi-sisi tertentu dari keyakinan dan fanatisme tersebut yang harus dia "korbankan" demi keselarasan dan keharmonisan di dalam keragaman.

Persoalan sering muncul ketika lokalitas dan kedaerahan serta keyakinan dipaksa untuk tampil dalam rangka menarik minat selera umum yang bertentangan. Gesekan dan pertikaian muncul sampai-sampai bisa menimbulkan peperangan. Akar dari konflik sosial sebenarnya adalah persoalan ketiadaan kesadaran dan pemahaman terhadap dua hal di atas tadi. Ketiadaan pemahaman terhadap pengetahuan umum dan khusus, ketiadaan terhadap wujud nasi nasional dan nasi daerah.

Kondisi ini akan menjadi lebih kacau dan berantakan manakala pimpinan yang idealnya menguasai keadaan dan memiliki pemahaman terhadap keragaman, ternyata jauh dari standar dan kelayakan. Keberpihakan pada akhirnya menjadi nyata dalam sikap pemimpin yang "bodoh" tersebut. Tugas seorang pimpinan dalam konteks keragaman yang mestinya menjadi pemersatu, berubah menjadi pemecah belah keadaan dan kebersamaan.

Kompleksitas antara keragaman di kalangan masyarakat dan kebodohan pimpinan barang kali menginspirasi kalangan para pemikir dan filosof masa lalu untuk berkata bahwa  "mereka yang layak jadi pimpinan adalah mereka yang memiliki kebijaksanaan atau mencintai kebijaksanaan".

Kebijaksanaan seseorang tidak mesti harus diukur dengan selesainya menempuh proses pendidikan dan diperolehnya ijazah formal dari lembaga pendidikan. Kebijaksanaan lahir dari proses dan upaya aktif untuk terus belajar dari semua kasus dan persoalan hidup dengan penuh kesadaran bahwa manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Kesempurnaan yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah milik manusia seluruhnya (kemanusiaan) bukan milik perorangan (manusia bernama A).

Bahkan kesempurnaan dalam kemanusiaan itu pun hanyalah kesempurnaan semu. Kesempurnaan yang hakiki hanya milik Ilahi. Manusia hanyalah diberi sedikit kesempurnaan agar dia sadar bahwa ada yang lebih sempurna darinya. Ada yang memiliki kesempurnaan sejatinya. Ibarat seorang yang diberi kesempatan mencicipi produk makanan, ia tidak bisa dikatakan memiliki semua makanan tersebut. Karena yang memilikinya adalah pembuat makanannya dan bukan yang mencicipinya.

Maka, untuk meraih status mencintai kebijaksanaan, sepiring nasi dengan lauk sambal jelantah dan kanaren di atas, bisa saja menjadi bahan pelajaran bagi kita semua. Kita sebagai masyarakat dan rakyat. Kita sebagai pimpinan dan pejabat. Belajar kebijaksanaan bahwa ada keunikan yang menjadi penanda kedaerahan dan lokalitas. Ada fakta yang berlaku umum sebagai penanda kesamaan dan pengikat kebersamaan.

Keseimbangan di antara keduanya merupakan keniscayaan dalam rangka keragaman dan kesamaan yang ada di Indonesia sebagai tempat kita berkumpul, tempat kita tinggal. Dan yang terpenting tempat kita belajar untuk menjadi lebih bijaksana dalam menu keragaman, budaya, bahasa, suku dan agama.

Terima kasih pada Tuhan atas sepiring nasi dengan lauk seadanya yang telah menjadikannya bahan untuk kita belajar dan untuk bisa menjadi bekal hidup di tengah perbedaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun