Lain halnya ketika nasi sudah diolah menjadi beragam menu dan sajian. Ada nasi liwet, ada nasi uduk ada nasi lemak dan ada nasi sambal jelantah tadi. Jika terjadi kelangkaan terhadap nasi-nasi jenis itu, saya kira tidak akan ada keluhan dan gejolak dari masyarakat. Karena di dalam kasus tersebut nasi dengan beragam jenisnya itu bukan lagi sebagai sebuah kesepakatan nasional. Meskipun menjadi kesepakatan di daerah tertentu, tetapi tidak menjadi kesepakatan di daerah lainnya.
Pengetahuan individual dan kesepakatan lokal dalam konteks sosial merupakan ciri khas dan keunikan masing-masing. Ilmu antropologi menyebutnya sebagai budaya dan tradisi. Sedangkan pengetahuan universal dan kesepakatan massal merupakan pengikat semua perbedaan-perbedaan yang lahir dari kedaerahan dan kekhasan masing-masing.
Kedua hal ini tidak boleh saling mengalahkan, tidak boleh saling mendominasi dan tidak boleh saling bertikai satu sama lain. Manusia boleh saja fanatik dengan keyakinan dan budayanya termasuk keyakinan agama yang dianutnya. Tetapi ia juga harus sadar bahwa ada sisi-sisi tertentu dari keyakinan dan fanatisme tersebut yang harus dia "korbankan" demi keselarasan dan keharmonisan di dalam keragaman.
Persoalan sering muncul ketika lokalitas dan kedaerahan serta keyakinan dipaksa untuk tampil dalam rangka menarik minat selera umum yang bertentangan. Gesekan dan pertikaian muncul sampai-sampai bisa menimbulkan peperangan. Akar dari konflik sosial sebenarnya adalah persoalan ketiadaan kesadaran dan pemahaman terhadap dua hal di atas tadi. Ketiadaan pemahaman terhadap pengetahuan umum dan khusus, ketiadaan terhadap wujud nasi nasional dan nasi daerah.
Kondisi ini akan menjadi lebih kacau dan berantakan manakala pimpinan yang idealnya menguasai keadaan dan memiliki pemahaman terhadap keragaman, ternyata jauh dari standar dan kelayakan. Keberpihakan pada akhirnya menjadi nyata dalam sikap pemimpin yang "bodoh" tersebut. Tugas seorang pimpinan dalam konteks keragaman yang mestinya menjadi pemersatu, berubah menjadi pemecah belah keadaan dan kebersamaan.
Kompleksitas antara keragaman di kalangan masyarakat dan kebodohan pimpinan barang kali menginspirasi kalangan para pemikir dan filosof masa lalu untuk berkata bahwa  "mereka yang layak jadi pimpinan adalah mereka yang memiliki kebijaksanaan atau mencintai kebijaksanaan".
Kebijaksanaan seseorang tidak mesti harus diukur dengan selesainya menempuh proses pendidikan dan diperolehnya ijazah formal dari lembaga pendidikan. Kebijaksanaan lahir dari proses dan upaya aktif untuk terus belajar dari semua kasus dan persoalan hidup dengan penuh kesadaran bahwa manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Kesempurnaan yang diberikan Tuhan kepada manusia adalah milik manusia seluruhnya (kemanusiaan) bukan milik perorangan (manusia bernama A).
Bahkan kesempurnaan dalam kemanusiaan itu pun hanyalah kesempurnaan semu. Kesempurnaan yang hakiki hanya milik Ilahi. Manusia hanyalah diberi sedikit kesempurnaan agar dia sadar bahwa ada yang lebih sempurna darinya. Ada yang memiliki kesempurnaan sejatinya. Ibarat seorang yang diberi kesempatan mencicipi produk makanan, ia tidak bisa dikatakan memiliki semua makanan tersebut. Karena yang memilikinya adalah pembuat makanannya dan bukan yang mencicipinya.
Maka, untuk meraih status mencintai kebijaksanaan, sepiring nasi dengan lauk sambal jelantah dan kanaren di atas, bisa saja menjadi bahan pelajaran bagi kita semua. Kita sebagai masyarakat dan rakyat. Kita sebagai pimpinan dan pejabat. Belajar kebijaksanaan bahwa ada keunikan yang menjadi penanda kedaerahan dan lokalitas. Ada fakta yang berlaku umum sebagai penanda kesamaan dan pengikat kebersamaan.
Keseimbangan di antara keduanya merupakan keniscayaan dalam rangka keragaman dan kesamaan yang ada di Indonesia sebagai tempat kita berkumpul, tempat kita tinggal. Dan yang terpenting tempat kita belajar untuk menjadi lebih bijaksana dalam menu keragaman, budaya, bahasa, suku dan agama.
Terima kasih pada Tuhan atas sepiring nasi dengan lauk seadanya yang telah menjadikannya bahan untuk kita belajar dan untuk bisa menjadi bekal hidup di tengah perbedaan.