Desa atau kampung-kampung di pelosok adalah tempat yang mirip-mirip dengan kamar mandi. Hanya akan dikunjungi dan didatangi lima tahun sekali dalam rangka mengumpulkan suara-suara yang dibutuhkan oleh para politisi. Setelah itu, mereka akan melupakannya, persis seperti kita melupakan kamar mandi ketika "hajat" kita sudah terpenuhi di sana.
Mari kita bandingkan tanpa harus menyebut angka. Banyak mana antara desa dan kota di negara ini? Satu kota kecamatan saja akan menaungi beberapa puluh desa di bawahnya. Ini menunjukkan bahwa lebih banyak kamar mandi dari pada ruangan tamu dan teras di negeri ini. Padahal sejatinya, sebuah rumah itu biasanya kamar mandi akan lebih sedikit dari pada ruangan-ruangan lainnya.
Oke, kita tidak perlu menyamakan secara serampangan antara negara dengan sebuah rumah secara fisik semata-mata. Karena analogi demikian amat sangat dipaksakan. Kita ambil saja substansinya dari analogi tersebut. Bahwa cermin kesejahteraan dan kemakmuran sebuah negara tidak bisa dilihat hanya di perkotaan apalagi di ibu kotanya.
Desa-desa dan kampung-kampung tempat berkumpulnya orang-orang dengan tingkat pengetahuan terbatas, tingkat ekonomi lemah, tingkat melek dunia yang rendah adalah cerminan dari pelayanan para elite politik di negeri ini kepada mereka. Bukankah mereka selalu berjanji kepada setiap gelintir pemilihnya untuk menyejahterakan mereka di saat terpilihnya nanti? Bukankah di negeri mana pun suara akan lebih banyak didulang dari rakyat kecil biasa?
Jadi, sederhana saja sebenarnya cara kita mengetahui tingkat pelayanan publik mereka kepada rakyatnya. Tidak perlu menggunakan rumus statistik yang jelimet dan mbulet untuk mengetahui apakah mereka telah benar-benar bekerja untuk rakyatnya yang dulu mereka rayu suaranya? Atau mereka hanya bekerja untuk kelompok dan partai yang mengusungnya? Cukup bertanya saja ke mereka orang-orang miskin dan lemah yang pernah mereka beri janji sebelumnya.
Pemikiran ini tentu saja akan menjadi naif jika sekedar dijadikan alasan untuk menolak kenyataan-kenyataan yang kita temui di lapangan. Pemikiran ini juga tidak dimaksudkan untuk mereduksi kebenaran teori-teori ilmiah  yang susah payah kita pelajari di bangku-bangku sekolah mulai SD sampai Perguruan Tinggi. Tidak. Pemikiran ini hanyalah sekadar memberikan sudut pandang lain bagaimana cara kita memahami suatu masalah.
Pemikiran ini hanya sekedar menyadarkan kita bahwa kita semua masih bisa menemukan beragam kebenaran di tempat-tempat terpencil seperti yang dicontohkan tadi. Jadi bukan sekedar di sekolahan atau di teras dan  ruang pajang perkotaan saja. Desa dan perkampungan terkadang lebih banyak mengandung kebenaran dan kejujuran. Kejujuran dari suara hati nurani rakyat yang tidak punya kepentingan apa-apa kecuali bisa membeli beras dengan harga murah. Itu saja keinginan mereka tidak kurang dan tidak lebih.
Akhirnya, ketika kita terbiasa dengan cara berpikir linier dan terpenjara dengan dunia pendidikan yang dibatasi di ruangan kelas dan opini yang terpengaruh oleh suasana gemerlap perkotaan, ada baiknya kita menyempatkan diri untuk menyusuri wilayah-wilayah yang sarat dengan kesusahan dan bahkan ketiadaan. Wilayah yang jarang didatangi oleh kaum elite akademisi dan elite politisi. Wilayah di mana keadaannya mirip-mirip kamar madi di pojok, sudut atau belakang rumah kita. Mari kita mencari kebenaran bahkan dari ruang hampa dan ketiadaan sekalipun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H