Akhir-akhir ini kembali muncul "gaduh menteri" dalam kabinet Jokowi. Kali ini tema masalah yang jadi sumber kegaduhan cukup lucu dan menggelitik rasa humor kita selaku rakyat biasa.Â
Humor yang muncul jika kita sekedar fokus pada kata yang mewakili sumber kegaduhan tersebut. Namun di balik gelitikan rasa humor itu, tersirat pula dalam benak kita semua, atau minimal benak saya sendiri, rasa keprihatinan yang berakar pada harga diri kita sebagai bangsa yang besar. Kata apakah yang membuat saya merasa lucu sekaligus kagum bercampur prihatin? "Penenggelaman kapal".
Ya itulah kata yang akhir-akhir ini jadi perbincangan dan berita di berbagai media massa. Kata yang selama sebelum pemerintahan Jokowi hanya kita dengar ketika ada musibah tenggelamnya anak kecil di sungai atau di danau ketika sedang bermain. Tetapi saat ini, kata tersebut telah menjadi lebih berbobot dan sedikit menghibur telinga rakyat yang mendengar peristiwanya karena yang tenggelam adalah sebuah kapal. Kapal para maling ikan di wilayah perairan Indonesia yang bobotnya tentu beratus-ratus ton. Itulah mengapa saya katakan kata tersebut sekarang menjadi lebih berbobot.
Kata penenggelaman menjadi terasa menghibur dikarenakan baru pada periode Presiden Jokowi kata tersebut menjadi sangat populer di media massa. Popularitas kata itu bukan tanpa alasan. Kata itu digunakan untuk menunjukkan ketegasan, jati diri dan harga diri bangsa kita Indonesia yang selama ini terkesan disepelekan oleh negara-negara lain bahkan oleh negara tetangga kita sendiri.Â
Beberapa kali terjadi kasus klaim atau pengakuan yang hampir diartikan sebagai pencurian  terhadap warisan budaya kita oleh negara sebelah. Misalnya klaim bahwa batik merupakan kain tradisional mereka atau rendang, cendol, lagu Rasa Sayange bahkan terakhir kuda lumping juga mau diklaim negara tetangga kita sebagai kebudayaan tradisional mereka. Dan sampai sekarang pun rasa-rasanya pemerintah kita seperti diam saja melihat "pencurian" identitas budaya tersebut.
Sekarang, di tangan seorang menteri Srikandi negeri ini yang banyak dikenal dengan sebutan Menteri Susi, para maling yang mencoba menggasak negara kita dibuat ketar-ketir dan dipaksa melek bahwa negara kita adalah negara yang punya wibawa dan ketegasan. Hanya saja maling-maling yang sedang "digebuki" oleh Menteri Susi ini bukanlah para maling budaya, tetapi maling harta kekayaan alam laut kita. Maling yang kedapatan sedang mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia. Ratusan kapal maling-maling tersebut sudah dibakar, diledakkan kemudian di tenggelamkan. Untuk apa Menteri Susi melakukan semua itu? Jelas, untuk melindungi kekayaan laut kita dan untuk membuat jera mereka para maling.
Tindakan tegas Menteri Susi dalam kesibukannya melakukan pekerjaan penenggelaman kapal ini bukanlah tanpa dasar, bukanlah merupakan tindakan anarkis terhadap mereka para nelayan negara tetangga. Mana ada di dunia ini, negara yang membolehkan warganya maling di negara lain? Jika mereka kedapatan maling di negara kita dan negara mereka tidak memperingatkan atau memedulikan pencurian rakyatnya terhadap kekayaan laut kita, maka tentu saja kita sebagai pemilik sah harta kekayaan laut tersebut berhak untuk menggebuk mereka. Itu jelas-jelas merupakan salah satu bentuk mempertahankan kedaulatan teritorial wilayah perairan kita.
Salahkah tindakan demikian? Tidak salah pastinya. Karena di samping secara etika, moral bahkan hukum menyatakan bahwa pencurian itu dilarang, juga tidak ada negara di dunia ini yang akan membiarkan pencuri dari negara lain datang dan mengambil harta kekayaan negaranya.Â
Selain itu juga, tindakan penenggelaman kapal itu dilindungi oleh undang-undang yang dibuat oleh negara kita sendiri. Dasar hukum tersebut adalah UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Di dalam undang-undang tersebut dikatakan bahwa "penyidik dan atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup." Demikian bunyi undang-undang tentang perikanan sebagai dasar kerja Menteri Susi.
Lalu, apa masalahnya tindakan Menteri Susi melakukan pekerjaan penenggelaman kapal tersebut dipermasalahkan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Wakil Presiden Yusuf Kalla? Padahal apa yang dilakukan Menteri Susi tersebut dengan dasar moral, dasar etika, dasar harga diri bangsa plus dasar undang-undang negara kita memang sudah merupakan keharusan.Â
Keharusan untuk menegakkan aturan etika dan moral, keharusan menegakkan dan menjalankan undang-undang dan keharusan untuk menegakkan wibawa dan harga diri bangsa yang selama ini terkesan dibiarkan ketika terjadi pencurian budaya oleh negara sebelah kita. Adalah hal yang aneh kemudian ketika Wakil Presiden dan Menteri Koordinator yang membawahi Menteri Susi justru menyuruhnya untuk berhenti melakukan penenggelaman kapal-kapal maling dari negara tetangga sebagai salah satu wujud dari pertahanan kedaulatan kelautan kita.
Jika kita sederhanakan peristiwa ini dengan peristiwa maling di lingkungan RT kita masing-masing, maka ibaratnya ada maling-maling yang mencuri harta benda warga RT tersebut, kemudian salah seorang pengurus RT itu sesuai dengan kesepakatan, diperbolehkan untuk memusnahkan perkakas yang digunakan untuk maling seperti kunci inggris, tang, linggis atau bahkan sepeda yang digunakan oleh maling tersebut. Sebab jika tidak dirampas dan dimusnahkan, maka ada kemungkinan si maling akan kembali beraksi dengan menggunakan perkakas tadi. Tentulah jika sanksi terhadap maling tadi ringan-ringan saja, maka harta kekayaan warganya tetap terancam. Di samping itu pula, maling tadi tidak akan jera dan malah mungkin bisa melecehkan warga RT tadi karena ketidaktegasan mereka dalam menindak pencurian.
Maka logis kiranya jika pengurus RT tadi melakukan itu dengan tujuan untuk menjaga ketertiban dan menjaga harta benda warganya. Jika kemudian tiba-tiba ada pengurus lainnya yang melarang pengurus tadi untuk menyita dan memusnahkan perkakas malingnya, maka seolah-olah ini merupakan "kemunduran mental" dalam mempertahankan ketertiban dan penjagaan harta benda warganya. Bagaimanapun, rasa-rasanya warga RT tadi akan merasa aneh, kenapa mesti harus dihentikan, jika hal itu memang terbukti cukup efektif untuk mencegah pencurian.
Menurut berita yang kita dengar, pelarangan terhadap Menteri Susi tersebut dikarenakan Menteri Susi diminta untuk lebih fokus pada masalah penciptaan iklim investasi yang kondusif dan meningkatkan ekspor hasil kekayaan laut kita. Katanya, dikhawatirkan jika penenggelaman kapal terus dilakukan, maka para investor akan merasa terancam dan tidak merasa aman untuk berinvestasi di Indonesia.
Argumen ini sebenarnya tidak memiliki relevansi dan terkesan kontradiksi. Justru, investor akan merasa aman apabila pihak pemerintah memiliki ketegasan dalam menindak setiap pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah negara kita. Menteri Susi telah melakukan hal yang benar bukan saja dari segi mengamankan harta kekayaan laut kita, tetapi juga dalam rangka menciptakan ketegasan aturan dan hukum yang dibuat oleh kita sendiri.
Jika hanya karena fokus pada ekspor dan menarik investasi kemudian pemerintah menghentikan salah-satu bentuk tindakan tegas terhadap para pelanggar hukum negara kita, ini seperti kita mencoba untuk berdagang tanpa kita mengamankan barang dagangan kita dari para pencuri.
Logika yang aneh bukan? Kita  memang harus meningkatkan ekspor hasil laut kita ke luar negeri atau menarik investor dalam bidang-bidang industri dan hasil kelautan sebagai salah satu upaya kita memberdayakan sumber kekayaan laut kita. Tetapi jangan sampai kita melunak dan membiarkan kembali para pencuri harta kekayaan negara kita. Jadi sebenarnya alasan meningkatkan ekspor dan fokus pada menarik investasi dalam industri dan perdagangan hasil laut kita tidaklah harus menghentikan ketegasan Menteri Susi dalam mengamankan aset kekayaan negara kita. Jadi logika ekspor dan investasi sebagai alasan untuk menghentikan "penenggelaman kapal" adalah "logika tidak nyambung dan terkesan dipaksakan".
Logika yang benar, menurut saya sebagai rakyat biasa, adalah biarkanlah Menteri Susi tetap menunjukkan ketegasan dan kewibawaan negara dan bangsa dalam bidang pekerjaannya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dengan menindak tegas para pencuri ikan di wilayah negara kita.Â
Sambil terus melakukan hal tersebut, Menteri Susi juga didorong dan diingatkan untuk lebih meningkatkan ekspor dan menarik investasi dalam industri dan perdagangan hasil laut. Mungkin itulah "logika yang benar". Sebab jika Menteri Susi disuruh untuk menghentikan tindakan penenggelaman kapal padahal nyata-nyata dilindungi undang-undang, kemudian alasannya adalah untuk lebih fokus pada peningkatan ekspor dan investasi, ini menimbulkan tanda tanya.
Sebenarnya ada apa di dalam tubuh kabinet Jokowi ini, kok seorang Menteri Koordinator Kemaritiman dan Wakil Presiden sampai harus ikut bersuara dalam urusan "tenggelam-menenggelamkan kapal" yang merupakan pekerjaan dari Menteri Susi? Entahlah, kita tidak banyak tahu sampai sejauh itu. Yang kita tahu adalah Menteri Susi sedang berjuang dalam rangka menjalankan undang-undang untuk melindungi harta kekayaan laut negara kita. Tetapi malah dipersoalkan oleh mitra kerja dan atasannya dalam kabinet Presiden Jokowi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H