Beberapa dekade terakhir ini dunia otomotif berlomba-lomba dalam "kebajikan", berinovasi tiada henti untuk mengurangi pencemaran lingkungan dengan memproduksi mobil-mobil listrik. Â Alhasil, Â sampai sekarang ini dunia permobilan telah mengalami revolusi dari mobil konvensional, mobil hybrid, dan terakhir ini adalah mobil listrik. Â
Kata revolusi sepertinya pas untuk disematkan dalam perkembangan otomotif, karena hanya butuh rentang waktu yang pendek kurang lebih satu dekade sebagian penduduk bumi sudah menikmati mobil yang konon lebih bersih dari mobil-mobil berbahan fosil. Â Perkembangan ini sempat terinsert berupa produk "antara", yakni mobil-mobil hybrid dengan power hasil kolaborasi pembakaran minyak dan tenaga baterai.
Dari judul artikel ini sekilas dan tampak jelas menyebut atribut pendidikan yakni kata "learning", dan memang pada tulisan ini akan meneropong wajah pendidikan pada Tahun Ajaran 2020/2021.  Penulis lebih tertarik menggunakan istilah Tahun Ajaran, ketimbang Tahun Pelajaran. Menurut madzab Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tahun Ajaran menggambarkan masa belajar dalam tahun tertentu atau tingkatan masa belajar siswa, sedangkan Tahun Pelajaran dalam KBBI tidak mengenal istilah ini, kalau pelajaran (lesson) baru dapat didefinisikan sebagai  yang dipelajari atau yang diajarkan. Â
Penulis pernah mengajukan pertanyaan yang bagi saya penting ini kepada seorang pejabat tingkat pusat dari instansi yang banyak mengurusi pendidikan, namun hanya ditertawakan, entah ia tidak bisa menjawab atau ketidakseragaman penyebutan Tahun Ajaran dan Tahun Pelajaran ini dianggap khilafiyah yang bermanfaat. Â Tapi, penulis bersyukur pada tahun-tahun terakhir ini Kemendikbud sepertinya lebih sering menyebut Tahun Ajaran.
Kembali pada pokok pembicaraan di awal, jadi istilah hybrid ini lebih banyak dikenalkan dan dipopulerkan oleh ahli permesinan. Â Mesin hybrid adalah mesin mobil yang menggunakan dua tenaga penggerak, di mana sumber tenaga (power) kendaraan ada dua, dari pembakaran bensin dan motor listrik. Â Istilah hybrid ini sepertinya relevan juga digunakan pada pendidikan abad serba susah ini. Â
Tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat menghasilkan power pada dunia pendidikan harus tetap jalan pada masa pandemi yang belum menemukan celah terang kapan berakhirnya. Â Jika Tahun Ajaran yang akan datang 2021/2022 masih juga full pembelajaran daring, apa jadinya kualitas anak-anak pewaris bumi ini. Â Mereka sudah bosan memandangi layar LCD berukuran kecil yang tak jelas apa maksudnya. Â
Banyak laporan penelitian menyebutkan, selama pandemi kualitas hasil belajar siswa tak karuan hasilnya, ini jika mengambil pembanding dengan hasil belajar sebelum pandemi. Â Namun banyak penelitian juga menyebutkan, bahwa pembelajaran konvensional tatap muka tanpa inovasi teknologi juga menunjukkan hasil yang mengecewakan. Â Sudah semestinya dua metode belajar ini di hibridisasi atau dikawinkan saja agar lebih jelas hasil capaian belajarnya.
Bagaimanapun pembelajaran konvensional (tatap muka langsung) itu lebih kaya dalam mendapatkan khazanah keilmuan, baik teori, konsep, hands on activity (keterampilan), serta interaksi sosial yang sebenarnya paling utama dalam pembelajaran (human element). Â Namun karena masih ada kekhawatiran penyebaran covid-19, anjuran pemerintah selama ini dengan menghadirkan 50% siswa dengan model ganjil genap dan durasi pembelajaran yang lebih pendek, mungkin dapat lebih diberdayakan.Â
Selanjutnya, guru dapat melanjutkan untuk membimbing mereka melalui moda daring (e-learning). Â Bimbingan moda daring ini semestinya juga di kontrol oleh sekolah dengan menerapkan pembelajaran daring berbasis LMS (Learning Management System), bukan berbasis Media Sosial. Â Penjadwalan juga harus diatur sedemikian rupa dengan mengakomodasi dua metode secara proporsional, dan inilah yang disebut sebagai hybrid learning. Â
Model pembelajaran seperti ini sebenarnya sudah lama diterapkan sebelum masa pandemi, dikenal dengan istilah blended learning, atau mixed learning yang berbasis teori sibernetika dan CTML (Cognitive Theory Multimedia Learning). Dengan menggunakan istilah hybrid learning yang "keminggris" ini pada pendidikan dasar dan menengah setidaknya menjadi energi bagi para pembelajar untuk tetap belajar mengajar.
Dalam pembelajaran dimasa pandemi ini, penulis justru kurang setuju dengan pemangkasan konten kurikulum yakni dengan melaksanakan kurikulum darurat.  Pembelajaran darurat jelas dapat diterima mengingat kondisi seperti ini, namun ini yang terdengar aneh ada istilah kurikulum darurat. Kurikulum disusun dan diramu dengan begitu banyak kompleksitas subject matter (pokok bahasan), dan  tentunya juga telah banyak dipertimbangkan keterkaitan antara konsep satu dengan yang lainnya. Â
Meringkas kurikulum dengan menghilangkan bagian tertentu berpotensi terjadinya diskonektivitas yang pada akhirnya pembelajaran kurang bermakna. Akhirnya, penulis mengajak kepada guru, pembelajar, dan pembaca untuk tetap melaksanakan pembelajaran dengan kepedulian penuh dan bertanggungjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H