Mohon tunggu...
Mahbub Alwathoni
Mahbub Alwathoni Mohon Tunggu... Bidan - Praktisi Pendidikan Tinggal di Grobogan

Pembelajar sepanjang hayat merindukan Indonesia yang sejahtera dan bermartabat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

The New Normal Pendidikan

30 Mei 2020   20:27 Diperbarui: 30 Mei 2020   20:26 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian masyarakat kita mungkin belum memahami betul apa itu coronavirus, COVID-19, physical distancing, pandemi dan sebagainya, mereka baru sebatas mengetahui bahwa saat ini adalah masa pagebluk, penyakit menular berbahaya, sehingga harus waspada, menjaga jarak, hidup bersih, selalu mengenakan masker, membiasakan cuci tangan dengan sabun dan sebagainya sesuai instruksi pemerintah.

Pandangan seperti itu tidak saja berasal dari masyarakat umum, namun pembelajar khususnya tingkat SMP atau SMA diyakini juga sama, mengingat tingkat literasi siswa di Indonesia berdasakan laporan PISA 2018 masih sangat rendah.

Pada aspek literasi digital, sebagian masyarakat atau pembelajar masih mempercayakan sumber-sumber informasi dari media sosial yang lalu lintasnya sangat padat, dan tentunya belum dapat dipercaya. Laporan perusahaan media asal Inggris yang bekerja sama dengan Hootsuite, rata-rata orang Indonesia telah menghabiskan tiga jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial. Total populasi Indonesia yang sebanyak 265,4 juta jiwa, jumlah pengguna aktif di media sosial telah mencapai 130 juta dengan penetrasi 49 persen. Pembiasaan untuk menimbang, membandingkan, dan berpikir kritis dalam pencarian informasi yang benar adalah keharusan agar berita bohong atau hoaks dapat ditekan.

Berdasarkan informasi dari website resmi WHO, Coronavirus atau virus corona adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa jenis coronavirus diketahui menyebabkan infeksi saluran nafas pada manusia mulai dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus jenis baru yang ditemukan menyebabkan penyakit COVID-19. Jadi, COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru yang sebelumnya belum dikenal saat terjadinya wabah di Wuhan, Tiongkok, bulan desember 2019.  Mobilitas penduduk dunia antar negara akhirnya memperlancar penularan virus corona jenis baru ini dengan cepat, mewabah secara global yang pada akhirnya dijadikan WHO sebagai pandemi.

Pandemi COVID-19 akhirnya berdampak luar biasa bagi penduduk dunia di banyak aspek, Ekonomi, pembangunan, sosial, dan termasuk juga dunia pendidikan. Pada tulisan ini penulis lebih menfokuskan masalah pendidikan, bagaimanapun juga rupa dunia ini akan dibentuk oleh tingkat pendidikannya. Ada pameo mengatakan, orang akan terbentuk dari apa-apa yang ia baca, dan terlihat dari apa-apa yang ia tulis.  Kesadaran individu sebagai pembelajar, yang kemudian menjadi kesadaran kolektif suatu bangsa akan menentukan gambaran bangsa tersebut pada masa yang akan datang.

Hampir seluruh negara menutup sekolah akibat pandemi ini, dan mengalihkan pembelajaran yang biasanya dilakukan di kelas (class room) menjadi pembelajaran daring atau online. Tentu tidak menjadi masalah bagi negara-negara yang memang pendidikannya sudah maju, mereka sudah terbiasa untuk menerapkan pembelajaran blended learning, dimana pembelajaran di kelas dipadukan dengan e-learning diluar sekolah yang disertai dengan sumber belajar yang sangat memadai. 

Ketersediaan jaringan internet dan dukungan ekonomi untuk dapat mengakses pembelajaran daring juga tidak menjadi kendala. Contohnya adalah finlandia, berdasarkan laporan Faculty of Social Sciences at the University of Helsinki Tahun 2010, negara dengan peringkat pendidikan terbaik ini telah mengkaji dan menerapkan blended learning dan hasilnya menggembirakan khususnya untuk meningkatkan hasil belajar kognitif siswa.

Bagaimana dengan Indonesia?. Sejak pandemi COVID-19 Pemerintah telah menerbitkan peraturan Work From Home (WFH) serta Study From Home (SFH) pada lembaga-lembaga pendidikan.

Guru dan siswa melakukan pembelajaran secara daring, bagi sekolah-sekolah di kota kecil atau di desa hal ini tidak biasa, dan untuk saat ini harus dilakukan mengingat tujuan pembelajaran yang terangkum dalam satu semester harus dilaksanakan dan harus selesai.  Guru terpaksa belajar untuk mengenal platform pembelajaran daring semisal google classroom dan sejenisnya, atau lembaga pendidikan yang sudah siap membangun sendiri website pembelajaran daring atau e-learning. 

Dampak positif dari pendidikan di masa darurat COVID-19 ini akhirnya guru lebih familiar, memahami dan menerapkan pembelajaran dengan moda daring.  Meskipun belum ada data akurat keterlaksanaan pembelajaran daring selama pandemi COVID-19, tapi dapat diperkiraan tidak mungkin pembelajaran daring ini terlaksana lebih 80%, karena begitu banyaknya kendala dari guru sendiri maupun siswa dalam mengakses pembelajaran daring.

Kendala dari guru mungkin lebih disebabkan pengetahuan mereka yang terbatas tentang teknologi dan penerapannya pada dunia pendidikan. Harus jujur mengatakan, bahwa sebagian guru di tanah air memang belum dipersiapkan dengan semestinya untuk menjadi pendidik dan pembelajar yang handal.

Kata profesional yang selalu menempel pada diri seorang guru memang telah ada sejak diterbitkannya peraturan tunjangan bagi guru, tapi dalam praktiknya belum menggambarkan sebenarnya. Masih banyak dijumpai guru yang belum mengenal baik pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran, padahal ini adalah tuntutan pembelajaran pendidikan abad 21. Apa yang harus dilakukan?.

Jangka pendek. Meskipun belum dapat diperkirakan sampai kapan "the new normal" ini akan dimulai namun sepertinya pembelajaran daring study from home ini sampai bulan juli tepat berakhirnya Tahun Ajaran 2019/2020.

Negara-negara Eropa semisal Italia hendak memberlakukan pembelajaran di sekolah normal kembali pada bulan september 2020, meskipun banyak orang tua protes dan menuntut untuk segera dilakukan pembenahan sistem pendidikan dan meyakinkan agar pendidikan di sekolah aman bagi anak-anak mereka, tapi di Indonesia orang tua sepertinya masih aman-aman saja dan keprihatinannya belum muncul ke publik.

Jangka pendek pelaksanaan pendidikan di masa pandemi yang belum berakhir ini mungkin dapat dilakukan dengan kehadiran siswa model ganjil genap. Kehadiran siswa yang terbatas ini tentunya bagi lembaga pendidikan yang telah mengevaluasi diri, pembelajaran daring tidak terselenggara dengan baik. Model ganjil genap akan membatasi jumlah civitas di sekolah dan tetap melaksanakan protokol kesehatan. Bagaimanapun siswa-siswa telah menahan "rindu" kepada guru-gurunya.

Jangka panjang. Jika kita membaca perkembangan virus corona dari tahun ke tahun, dan terus berpotensi mengalami mutasi tentu penduduk bumi harus lebih waspada, pandemi kemungkinan akan berulang dimasa mendatang. Bisa jadi setelah ditemukan vaksin beberapa bulan kemudian muncul spesimen virus corona baru. Aturan penyelenggaraan pendidikan sepertinya perlu di tata ulang.

Pertama, pemerintah mempersiapkan tenaga pendidik yang benar-benar menguasai teknologi, dan ini adalah suatu keharusan.  Ada baiknya menerapkan konsep TPACK (Technological Pedagogical Content Knowledge) yang pernah digagas oleh Mishra dan Koehler (2006). 

TPACK sampai saat ini telah menjadi acuan oleh banyak peneliti dan praktisi pendidikan dalam upaya mengembangkan beberapa model pembelajaran. Istilah yang kemudian dikenal dengan TPACK (Technological, Pedagogical, Content Knowledge) adalah sebuah framework untuk mendesain model pembelajaran baru modern yang menggabungkan tiga aspek utama yaitu teknologi, pedagogi dan konten/materi pengetahuan.

Penerapan TPACK ini harus didukung dengan SDM guru yang sangat memadai.  Kedua, aturan jumlah rombongan belajar dikelas memang harus tegas untuk diterapkan bagi lembaga pendidikan.  Rasio guru dan di Indonesia sampai tahun ini sangatlah mewah dengan perbandingan 1:26 (BKN 2019) yang mengalahkan singapura dengan 1:44, namun kenyataannya masih banyak dijumpai ruang kelas gendut yang dihuni 35-40 siswa.  Sangat tidak efisien, kurang manusiawi untuk pembelajaran. Idealnya adalah 25-30 siswa sehingga lingkungan pembelajaran lebih nyaman dan kondusif, lebih ke "physical distance" dalam pembelajaran, dan setidaknya mengurangi resiko penularan berbagai jenis penyakit.

Struktur kurikulum juga perlu ditata ulang dengan mengurangi muatan belajar siswa dengan konten kekinian sehingga pembelajaran lebih bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun