Mohon tunggu...
Mahbub Alwathoni
Mahbub Alwathoni Mohon Tunggu... Bidan - Praktisi Pendidikan Tinggal di Grobogan

Pembelajar sepanjang hayat merindukan Indonesia yang sejahtera dan bermartabat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Selain Menteri, Kepala Sekolah dan Pengawas Milenial Juga Perlu Ada

23 Agustus 2019   08:28 Diperbarui: 23 Agustus 2019   13:42 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan cukup panjang selama melakukan penelitian pendidikan, sebagian cerita (saya) tuangkan di media ini hanya sekedar curah keprihatinan (saya) yang juga sebagai pengajar. 

Mutu pendidikan tak lepas dari lembaga pendidikan itu sendiri, berangkat dari kesadaran individu dan menuju kesadaran kolektif dari lembaga itu sendiri bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Ada beberapa main-factor yang bekerja dan berpengaruh dalam hal ini, yaitu pimpinan (kepala sekolah) dan pengawas (assesor).

Pimpinan lembaga pendidikan (kepala sekolah) dituntut bukan hanya cerdas, cekatan, humanis, terampil dalam hal manajerial, namun juga kemampuan (ability) untuk menangkap perubahan zaman yang berlangsung begitu cepat tak terduga.

Banyak kepala sekolah yang hebat, namun sedikit atau beberapa kepala sekolah yang bereputasi jelek atau pendek kata "stupid", akan menghambat luaran pendidikan nasional. Assesment kepala sekolah memang sudah seharusnya diperketat, namun apa daya pada akhirnya kembali berpulang kepada pengambil kebijakan, dalam hal ini kemendikmen/diknas dan kementerian agama. 

Ada beberapa lembaga pendidikan formal negeri yang (saya) temui pada saat penelitian (rentang 2017 - 2019).

Bermula hanya mengambil sampel penelitian untuk kegiatan pembelajaran kimia di beberapa sekolah maupun madrasah, namun potongan fakta yang saya temui justru menyedihkan terkait peran kepala sekolah dalam ikut memundurkan mutu pendidikan.

Contohnya adalah tindakan yang tidak menyenangkan (bullying) yang diterima oleh guru kritis, cerdas, berprestasi yang dilakukan oleh pimpinan (kepala sekolah).

Alasannya bermacam-macam, karena mengkritik kebijakan sang kepala, merasa tersaingi, hingga urusan personal yang semestinya tidak terjadi mengingat kepala sekolah harus memiliki figur humanis, cerdas sosial dalam merangkul semua anak buahnya.

Ditemukan pula profil pimpinan kepala sekolah yang tidak mampu memahami content standar pendidikan, pedagogical, dan aspek-aspek penting yang semestinya di miliki seorang kepala sekolah.

Dari beberapa interview yang tak sengaja, terungkap pula pencitraan yang dilakukan kepala sekolah demi memperpanjang usia jabatannya, atau juga promosi jabatan.

Guru digenjot untuk lahirkan prestasi sekolah, tapi ketika berhasil dan konferensi pers (sengaja mengundang media massa), bagaimana sang kepala sekolah menari kegirangan di atas jerih payah sang Guru. Ada beberapa kisah juga tentang guru yang harus di ungsikan (dipindah) karena "mengganggu" sang pimpinan.

Bahkan ada juga "perbuatan tercela" yang dilakukan oleh kepala sekolah, demi pencitraan, demi dikenal atau demi disayang oleh pimpinan diatasnya, tak segan untuk memberi "upeti" dengan menggunakan "uang rakyat" (komite sekolah). Kisah ini (saya) potret dari sekolah negeri, bukan sekolah swasta yang dikelola yayasan.

Tentang perilaku menyimpang sebagian kecil kepala sekolah tersebut, yang menjadi pertanyaan-nya adalah harus "curhat" ke mana? Bukankah dengan lapor akan menimbulkan masalah baru yang mengancam nasib kami? (tutur seorang guru).

Tiba-tiba saya teringat buku karangan Joe L. Kinchelo "Teachers as Researchers (Qualitative Inquiry as Path to Enpowerment)" tahun 2014.

Joe, demikian si penulis buku yang juga praktisi pendidikan di Amerika Serikat, menceritakan kesedihan guru-guru Amerika yang diikat oleh regulasi tak adil sehingga hampir tidak ada ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, naluri alamiah curiosity dengan meneliti terabaikan, kesalahan dan regulasi yang tak pas ini tentunya pihak pemerintah yang harus bertanggunjawab.

Tapi di negeri ini sebaliknya, mungkin ada sedikit peran pemerintah juga yang keliru, sehingga melahirkan kepala sekolah yang outlier yang semestinya tak pantas lahir dipermukaan bumi pendidikan.

Untuk meningkatkan pendidikan pada abad 21 ini, merubah paradigma pendidikan dengan merevisi kurikulum itu perlu dan sebuah keharusan, meningkatkan kualitas guru dengan memperbanyak kegiatan seminar, workshop, diklat dan sejenisnya, adalah kegiatan positif untuk bekal guru dalam menjalankan profesinya.

Namun, upaya-upaya tersebut tidak berpengaruh untuk kebaikan pendidikan jika top menager disekolah (pimpinan sekolah) masih berpikiran kolot, kaku, kuno, tidak visioner, tidak cerdas dalam membaca gelombang perubahan pada abad 21 ini.  Hal ini diperparah lagi sebagian pimpinan sekolah yang money oriented, pilar-pilar pendidikan yang dirancang dan dibangun pemerintah didekontruksi oleh pimpinan sekolah dengan keserakahan. proyek, buku, proyek selokan, hingga proyek foto copy disikat habis.  Komite sebagai perwakilan masyarakat (stakeholders) yang harusnya kritis dan mengawasi sekolah, dibuat mandul karena penunjukkan anggota komite harus melalui selera pimpinan.  Tidak semua sekolah atau madrasah yang (saya) temui  "horor" seperti kisah ini.  Banyak juga sekolah/madrasah yang memiliki pimpinan yang smart dan responsible,  tapi sedikit banyak pimpinan "horor" tadi jelas sangat berpengaruh terhadap nasib pendidikan di negeri ini. 

Setelah kepala sekolah, main factor berikutnya adalah pengawas (assesor). Pengawas semestinya update informasi terkait luaran pendidikan, semisal paradigma pendidikan abad 21 menurut PISA, OECD, ISTE dan sebagainya, apakah mereka pengawas sudah memahami dengan betul?

Terkejut bukan main ketika (saya) melakukan penelitian tentang pemahaman literasi pada guru SMA dan MA di Jawa Tengah.

Dari 287 responden, hanya 54% yang memahami digital age literacy (salah satu luaran dan harapan pendidikan pada abad 21), 46% sudah memahami, dan dari 46% hanya terdapat 10% yang dalam proses belajar mengajarnya merumuskan kemampuan/ability literasi sains sebagai tujuan pembelajarannya.

Padahal, alangkah mestinya, pengawas banyak membaca jurnal, jangan hanya regulasi dan perundang-undangan lantas diterapkan "kaku" kepada para pendidik.

Akhir kata, kepada bapak Menteri Pendidikan dan Menteri Agama yang baru (kepemimpinan periode ke dua Bapak Jokowi), mulailah menata dua faktor utama tersebut (kepala dan pengawas) dan ini adalah sangat mendasar selain memperbaiki kualitas guru juga.

Kurikulum itu penting, tapi lebih penting metode. Metode itu penting tapi lebih penting jiwa-jiwa kepala sekolah, pengawas, dan jiwa guru.

Indonesia hebat, Indonesia emas, dan Indonesia bermartabat, sungguh sulit dan menjadi harapan kosong jika dua faktor tersebut sampai diabaikan.

Mulailah juga dengan membuka lelang terbuka bagi calon kepala sekolah atau pengawas yang baru. Assesment yang ketat, tidak perlu aturan jenjang kepangkatan yang belum tentu cerminkan kompetensinya.

Lebih baik cari kepala sekolah yang muda, energik, visi yang tajam ke depan meski baru golongan III.a atau III.b, daripada mencari yang tua golongan tinggi, namun hanya pandai dan ahli tanda tangan saja.

Kepala sekolah (tua/berumur) memang menjadi harapan sebagai kiblat dalam berkepribadian/ berakhlakul karimah, tapi kenyataannya tidak selalu bicara demikian, atau sanggupkah beliau kepala sekolah yang berumur mampu menampung gejala dan permasalahan disrupsi dalam dunia pendidikan?

Isu-isu politik yang berkembang saat ini tentang wacana menteri baru milenial diharapkan bisa melihat ini sebagai bahan pertimbangan proker ke depan. Sebab ini adalah fakta di lapangan yang terjadi. Selain menteri, perlu juga adanya wacana kepala sekolah dan pengawas milenial.

Sekali lagi, selamat datang Menteri Pendidikan dan Menteri Agama yang baru (nanti), dan mungkinkah (saya) nantinya juga akan mengucapkan, selamat datang kepada "mas dan mbak" kepala sekolah atau pengawas milenial?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun