3. 2,137,543 kasus infeksi
Jika di rata-rata, maka kita akan mendapatkan angka 1,832,807 kasus infeksi atau setidaknya 17% populasi DKI Jakarta. Artinya 17 dari 100 orang di DKI Jakarta bisa jadi sudah terpapar COVID-19.
Jika kita bertanya mana angka yang paling mendekati, maka saya tidak bisa memberikan jawaban pasti. Namun, analisa saya menaruh IFR COVID-19 di DKI Jakarta agak lebih tinggi dari IFR yang diberikan oleh Loannidis.Â
Setidaknya angkanya di level 0.6%-1% atau lebih tinggi daripada estimasi angka median IFR dunia yaitu 0.23%. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Mulai dari gaya hidup, layanan kesehatan, kecepatan testing dan tracing, Â dll. Kita mengetahui bahwa prevalensi perokok di DKI Jakarta sangatlah tinggi. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2019, jumlah perokok di DKI Jakarta mencapai 26% untuk usia 15 tahun ke atas dan rata-rata menghabiskan 72 batang rokok per minggu atau 10,3 batang rokok per hari. Padahal kita juga mengetahui bahwa perokok memiliki risiko relatif COVID-19 yang lebih besar jika dibandingkan mereka yang tidak merokok. Merokok terbukti memudahkan reseptor ACE-2 di saluran pernapasan manusia untuk lebih mudah diinfeksi oleh COVID-19.
Selain itu, lambatnya testing dan penuhnya layanan kesehatan dapat membuat risiko kematian akibat COVID-19 di DKI Jakarta meningkat. Hal ini menjelaskan betapa tingginya kematian terkonfirmasi, probabel, dan suspek pasien COVID-19 di DKI Jakarta yang mencapai lebih dari 1000 kematian/ 1 juta populasi atau 0.1% penduduk DKI.Â
Jika kita mengambil:
1. IFR=0.6%Â
2. IFR=0.8%
3. IFR=1.0%
dan dengan 8,000-12,000 kasus kematian, maka setidaknya ada 800,000-2,000,000 kasus infeksi di DKI Jakarta. Artinya prevalensi penularan di DKI Jakarta sudah sangat tinggi. Namun belum cukup tinggi atau masih sangat jauh untuk mencapai herd immunity threshold (>67%) (baca tulisan saya mengenai herd immunity dan HIT (herd immunity threshold) di link ini).