Mohon tunggu...
Mahawikan Akmal
Mahawikan Akmal Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Tulisanku sebagai warisan abadi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

PPKM Mulai Berlaku, tapi Covid-19 Terus Cetak Rekor?

21 Januari 2021   07:30 Diperbarui: 21 Januari 2021   07:47 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
positivity rate Indonesia per 16 Januari 2021 (via: ourworldindata.org)

PPKM atau nama lain dari PSBB mulai diterapkan pada sebagian daerah di Pulau Jawa dan Bali pada hari Senin lalu (11/1/2020). PPKM ini akan berlaku dari 11 Januari-  25 Januari 2021. Diketahui bahwa PPKM ini dapat diperpanjang jika nantinya diperlukan. PPKM merupakan bentuk pengetatan PSBB yang diterapkan oleh pemerintah untuk menurunkan angka kasus COVID-19 yang melonjak tinggi sejak pilkada awal Desember lalu hingga pada momen libur nataru dan terus berlanjut hingga sekarang.

Anehnya, baru 2 hari PPKM berjalan, kasus COVID-19 kembali memecahkan rekor, setelah sebelumnya pecah 2 hari berturut-turut di tanggal 7-8 Januari 2021. Tidak tanggung-tanggung, rekor pecah 4 hari berturut-turut di tanggal 13-14-15-16 Januari 2021. Tidak hanya itu, rekor kematian kasus COVID-19 juga terjadi pada 12-13 Januari 2021. 

Ironisnya, rekor pertambahan kasus dan kasus meninggal terjadi pada hari vaksinasi perdana dilaksanakan. Yaitu pada tanggal 13 Januari 2021.

Bahkan, positivity rate atau tingkat positif COVID-19 di Indonesia terus naik ke level 32% pada 16 Januari 2021. Artinya, setiap 3 orang yang dites, 1 diantaranya menghasilkan hasil yang positif. Positivity rate threshold atau ambang batas tingkat postitif yang dianjurkan oleh WHO adalah <5%. Jika positivity rate berada di >5%, maka wabah termasuk kategori tak terkontrol. Sedang, positivity rate di Indonesia sudah berada di level 25%-30% (per 20 Januari 2021). Artinya wabah sangat tidak terkendali

Tangkapan layar grafik pertambahan kasus COVID-19 di Bulan Januari secara nasional (via:corona.go.id)
Tangkapan layar grafik pertambahan kasus COVID-19 di Bulan Januari secara nasional (via:corona.go.id)

Tangkapan layar grafik pertambahan kasus kematian akibat COVID-19 di Bulan Januari secara nasional (via:corona.go.id)
Tangkapan layar grafik pertambahan kasus kematian akibat COVID-19 di Bulan Januari secara nasional (via:corona.go.id)

Apa Yang Terjadi? Apakah PPKM atau PSBB ini Tidak Efektif?

Yang saya ketahui secara pasti adalah PPKM yang baru berlaku kurang dari 2 minggu ini belum dapat menimbulkan efek yang signifikan terhadap penurunan penularan. PPKM harus berlangsung 2-4 minggu sampai efeknya mulai terasa. Artinya Pemerintah tidak boleh langsung mencabut PPKM ini jika mau melihat penurunan jumlah kasus. Jika baru diterapkan 2 minggu lalu langsung dicabut, tidak banyak penurunan pertambahan kasus harian yang dapat kita harapkan.

Namun, itu tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk menyoal beberapa kebijakan PPKM. Contohnya, penulis menyoal penutupan tempat berusaha di atas jam 19.00. Kenapa penulis menyoal kebijakan ini? 

Penularan itu bisa terjadi di setiap waktu dan di mana saja. Tidak bijak rasanya mewajibkan tempat usaha untuk tutup di malam hari. Hal ini tidak akan efektif berdampak banyak pada potensi penularan. Para pengusaha akan kehilangan income yang substansial. Khususnya yang jam operasional usahanya berada di malam hari.

Ya, waktu operasional dipotong, maka potensi penularan di waktu tutupnya usaha akan mengecil. Namun bukankah penularan dapat terjadi kapan saja? Bukankah setiap interaksi sosial secara langsung akan menimbulkan risiko penularan? Bagaimana dengan sisa waktu operasionalnya? Potensi penularannya sama saja kok jika dilihat melalui perspektif waktunya. 

Grafik kepatuhan masyarakat mematuhi protokol kesehatan. (via: perupadata)
Grafik kepatuhan masyarakat mematuhi protokol kesehatan. (via: perupadata)

Di sinilah terungkap bahwa pemerintah kehilangan poin penting dari usaha pencegahan penularan COVID-19, yaitu faktor perilaku masyarakat. Seharusnya Pemerintah juga melakukan usaha lebih untuk memperbaiki perilaku dan kepatuhan masyarakat dalam menerapkan protokol 3M. 

Grafik di atas menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat khususnya memakai masker cenderung menurun. Padahal inilah perilaku terpenting dalam pencegahan penularan COVID-19 yang jalur transmisinya lewat saluran pernapasan.

Inilah yang penting, perilaku masyarakat. 

Penulis masih mendapati komentar warganet yang COVID-19 pessimist di berbagai media sosial. Padahal COVID-19 ini sangat nyata dan berbahaya. Ini menunjukkan upaya sosialisasi dan upaya edukasi yang dilakukan pemerintah belum berhasil. Atau malah belum menyentuh mereka yang "covidiot". 

Pembatasan Mobilitas

Sebuah studi yang dipublikasikan di The Lancet menyebutkan bahwa mobilitas penduduk berkorelasi secara signifikan dengan tingkat pertambahan kasus COVID-19.  Studi yang dilakukan dengan observasi data mobilitas penduduk dan pertambahan kasus di AS ini menyimpulkan bahwa perubahan pola mobilitas penduduk mempengaruhi penurunan kasus COVID-19. Artinya, mobilitas penduduk memiliki peran penting dalam pencegahan penularan COVID-19. Dengan mengurangi mobilitas penduduk, jumlah kasus bisa ditekan. 

Apakah pelaksanaan PPKM membatasi mobilitas penduduk? 

Kita belum mengetahuinya secara pasti. Jawabannya bisa iya dan tidak.

Ya, PPKM secara prinsip akan membatasi mobilitas penduduk di malam hari dengan menutup tempat usaha di malam hari. Ya, PPKM secara prinsip akan membatasi mobilitas penduduk dengan menambah porsi karyawan yang harus WFH menjadi 75%. Ya, PPKM secara prinsip akan membatasi mobilitas penduduk ke tempat ibadah dengan membatasi kapasitasnya.

Tidak, PPKM tidak membatasi mobilitas penduduk dengan memberlakukan aturan dine in restoran maksimal 25% kapasitas. Kenapa? ya karena mereka yang pergi ke restoran itu sudah pergi ke restoran. Mereka mendapati restorannya patuh aturan dan tidak membolehkan mereka dine in karena kapasitas 25% telah tercapai. Namun, adakah kesempatan mereka akan mengantre dan menunggu gilirannya? Ya, sangat mungkin. Kalau mereka tidak jadi makan kemudian mereka memilih restoran lainnya yang kebetulan tidak menaati aturan 25% maksimal kapasitas, atau restoran yang sedang sepi maka mereka akan makan di situ. Adakah bentuk pembatasan mobilitas? tidak sama sekali.

Lalu, kita bisa mempertanyakan kepatuhan aturan tadi. Apakah semua tempat usaha non-esensial tutup di malam hari? Apakah semua kantor menerapkan 75% WFH? Apakah pengunjung tempat ibadah dibatasi di level 50%?

Di sinilah letak masalah efektivitas. Jika aturan yang ada tidak dipatuhi semuanya ya tidak akan efektif PPKMnya.

Kemudian, apakah mobilitas antar-wilayah dibatasi? Orang bisa dengan bebas bepergian dari 1 daerah ke daerah lainnya. Misal dari daerah yang prevalensi penularannya tinggi ke daerah yang prevalensi penularannya lebih rendah. Apakah mereka semua tidak sedang terpapar COVID-19 saat bepergian? tidak ada jaminan. Apalagi melalui jalur darat seperti mobil pribadi, bis, dll. Mereka tidak perlu melakukan tes COVID-19 untuk bepergian. Bisa saja mereka membawa virusnya ke daerah yang penularannya rendah. Lalu menimbulkan kluster-kluster penularan baru di daerah tujuannya. 

PPKM Tidak Dibarengi Usaha Testing, Tracing, dan Isolasi yang Kuat

PPKM belum terbukti dapat menurunkan mobilitas penduduk sampai pada taraf yang dibutuhkan. Lalu poin apa lagi yang pemerintah lewati dalam pemberlakuan PPKM ini? Ya, pasti 3T (testing, tracing, treatment + isolasi pasien). 

Grafik performa testing COVID-19 harian dengan skala / 1000 penduduk. via: ourworldindata.org
Grafik performa testing COVID-19 harian dengan skala / 1000 penduduk. via: ourworldindata.org

Dapat dilihat bahwa performa testing Indonesia masih berkutat di level 0.1-0.15 tes harian/1000 penduduk. Levelnya pun cenderung fluktuatif di level yang sama sejak Bulan November lalu. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan Pemerintah Indonesia dalam menggencarkan testing. Dari awal pandemi, Kawalcovid19 telah meminta pemerintah untuk memperkuat upaya testing di Indonesia. Namun hasilnya ya seperti yang kita ketahui. Tidak ada perubahan signifikan menjelang 1 tahun pandemi COVID-19 di Indonesia. 

Di berbagai negara yang sukses mengendalikan penyebaran COVID-19 seperti Australia, Selandia Baru, Tiongkok, Korea Selatan, dll. Pemberlakuan pembatasan interaksi masyarakat dengan pembatasan mobilitas ataupun lockdown, dilakukan berbarengan dengan peningkatan usaha testing dan tracing. Mereka melakukan pembatasan mobilitas untuk mempermudah usaha testing dan tracing melacak penyebaran COVID-19 di masyarakat. Namun, Pemerintah Indonesia lagi-lagi kelupaan poin penting dalam pelaksanaan pembatasan interaksi dan mobilitas masyarakat lewat PPKM ini.

Bisa jadi, pemberlakuan PPKM akan memakan waktu berbulan-bulan agar penurunan kasus harian dan angka kasus aktif bisa turun secara signifikan. Bahkan bisa jadi pemberlakuan PPKM ini tidak efektif menurunkan penyebaran COVID-19 di masyarakat dan akan percuma begitu saja. Kalau PPKM berlarut-larut siapa yang rugi? Ya semua lapisan masyarakat, pemerintah tidak terkecuali. Apa guna PPKM jika poin-poin tadi terlewat.

Terima kasih...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun