"Yah, besok aku juga diajak sahur ya,"Â ujar Jaka kepada ayahnya.
Ayahnya tertawa dan menjawab, "Oke." Jaka begitu menikmati berbuka puasa hari itu. Ia berbincang tentang kenapa ia ingin ikut puasa. Bukan karena agama, buatnya untuk detox saja. Karena katanya puasa baik untuk mengobati penyakit maag-nya.
Televisi menyala sambil mereka santap malam -salah satu kebiasaan di rumah Jaka. Sinetron Ramadhan sepertinya ada di semua saluran. Jaka tidak suka sinetron, apalagi yang sok berbau agama. Jaka tidak suka para pelawak oportunis yang di bulan biasa bercanda tentang ngelaba, tapi di bulan puasa bicara tentang tuhan dan agama. Tapi ia biarkan saja, mencoba untuk tidak merusak suasana. Jangan sampai suasana baik hatinya rusak hanya karena aktor pemain "Naga Bonar" dan pelawak tidak terkenal yang mulai fanatik di bulan puasa.
"Yah kenapa aku tidak bisa berpacaran dengannya?" tanya salah seorang perempuan muda di televisi.
"Kalau cinta itu harus dari Allah, supaya bisa selamanya." jawab si pelawak oportunis.
"Tapi bukannya banyak orang yang tidak mengenal Allah tapi bisa juga selamanya?" lanjut si perempuan muda.
"Iya, tapi mereka baru mencintai dengan baik, bukan mencintai dengan benar." jawabnya lagi, seakan si pelawak hebat sekali mengetahui kebenaran sejati.
Aku tidak tahan lagi. Aku bangkit dari meja makan, berdiri, mematikan TV, kemudian memaki. "Dasar goblok! Taik! Sempit banget otaknya!"
Ayahku cuma tertawa kemudian bertanya. "Jadi ikut sahur besok pagi?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H