Mohon tunggu...
Karnoto
Karnoto Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Me Its Me

Wiraswasta | Pernah Studi Ilmu Marketing Communication Advertising di Universitas Mercu Buana, Jakarta | Penulis Buku Speak Brand | Suka Menulis Tema Komunikasi Pemasaran | Branding | Advertising | Media | Traveling | Public Relation. Profil Visit Us : www.masnoto.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Branding Diri, Baru "Jual Diri"

3 November 2019   19:40 Diperbarui: 3 November 2019   19:40 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekuatan yang sesungguhnya terletak pada pemanfaatan soft power, seperti strategi, taktik, citra, identitas, visual, kata-kata, reputasi dan gagasan.
(Catherine Kaputa, You Are Brand)

Apa yang dikatakan Catherine Kaputa mengenai soft power agak sulit dibantah, karena faktanya di dalam dunia nyata kita menemukan orang-orang sukses adalah mereka yang mampu menggunakan akal, taktik, gagasan dan kata-katanya untuk dijual ke publik. Catherine adalah wanita yang telah berakrir dalam dunia periklanan selama 20 tahun yang mengawali karir sebagai ahli sejarah seni Jepang.

Saya ingin menyambungkan pernyataan Catherine dengan mecontohkan beberapa pribadi yang sukses membranding diri mereka. Sebut saja Andri Wongso, ia sukses menjadi kaya raya hanya karena kata-kata motivasinya yang dianggap dan mampu membangkitkan semangat.

Atau Bob Sadino, pengusaha yang memiliki gaya busana yang unik karena hanya menggunakan celana pendek. Dalam dunia politik, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sukses karena pencitraan yang dilakukan oleh timnya sebagai sosok yang gagah, tentara yang cerdas dan santun. Sementara itu, dalam dunia entertainment kita Tukul, sosok lelaki yang artis yang dibranding lelaki katro, wong ndeso tapi rezeki kota.

Pemanfaatan soft power atau membranding diri juga masuk dalam dunia religi, dunia yang selama ini sepertinya jauh dari unjuk gigi atau dalam istilah agama disebut ria. 

Sebut saja, KH Abdullah Gymnastiar, dai kondang asal Bandung, Jawa Barat, yang dikenal dengan manajemen qolbunya. Sebelumnya di era 80-an ada Almarhum KH Zaenudin MZ, sebagai dai sejuta ummat. Terakhir ada Ustad Maulana dengan taglinenya yang sering diungkapkan sejumlah kalangan yaitu ustad jamaah.

Salahkah para juru dakwah itu?, salahkah artis, pengusaha termasuk akademisi menjual diri dengan karakter uniknya masing-masing? Mudah-mudahan jawaban saya dengan Anda sama yaitu tidak. 

Dalam ilmu pemasaran, personal atau diri bisa dikategorikan sebagai merek yang bisa dijual kepada publik dalam hal ini konsumen sesuai dengan segmentasi pasar masing-masing.

Merek menurut American Marketing Assoicaiton didefinisikan sebagai "nama,istilah, tanda, lambang, desain, atau kombinasi, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari salah satu atau kelompok pesaing. 

Agar strategi penetapan merek (branding) berhasil, Philip Kotler, ahli pemasaran dunia dalam bukunya manajemen pemasaran, mengatakan konsumen harus diyakinkan bahwa ada perbedaan merek yang kita tawarkan dengan merek lainnya.

Dari sini penulis ingin sampaikan bahwa ide atau gagasan, citra yang kita buat tidak akan laku dipasaran apabila tidak memiliki keunikan dengan gagasan orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun