Misal, ada visi kepala daerah yang menginginkan sektor wisata jadi brand utama, namun dalam pelaksanaanya stakeholder baik pemerintah maupun non pemerintah justru semangat menggenjot sektor lain. Akibatnya, sektor wisata tidak bisa dibranding secara manis.
Padahal, idealnya sebuah daerah harus melakukan strategi komunikasi pemasaran berdasarkan city branding daerah tersebut. Inilah yang saya maksud bahwa pengelolaan daerah tidak lagi mengandalkan culture birokrasi, melainkan culture wirausaha.Â
Belum lagi ditambah kompetisi antar daerah yang juga menjadi tantangan bagi seorang kepala daerah.
Itulah mengapa city branding itu menjadi penting bagi sebuah daerah, karena dari sinilah guide sebuah pembangunan didapatkan.Â
Mustahil, daerah akan memiliki letupan kemajuan jika tidak memiliki brand. Sebab hakikatnya, daerah itu adalah sebuah merek yang tentu harus diperlakukan sebagaimana sebuah merek.
Yang membedakan antara merek daerah dengan brand produk komersial adalah jenis produk dan orientasinya. Jika produk komersial berupa jasa dan beroirentasi pada benefit materiil, brand daerah berorientasi pada value dan benefit non materiil.Â
Namun secara substansi sebuah brand maka keduanya harus mendapatkan perlakuan yang sama sebagaimana sebuah brand.
Semua daerah yang mengalami hentakan kemajuan dan namanya menjadi viral adalah mereka yang memiliki brand - brand kuat di daerahnya. Sebut saja Banyuwani dengan tagline Sunset of Java, Jogjakarta Istimewa, Bandung Paris of Java dan lain sebagainya. Ini menunjukan bahwa memiliki brand bagi sebuah daerah adalah keniscayaan.
Seorang kepala daerah tidak lagi mengandalkan mainstream birokrasi dalam pengelolaanya. Sebab kalau cara ini yang dipakai maka daerah tidak akan mengalami hentakan atau letupan kemajuan.Â
Pemasaran daerahpun menjadi kebutuhan yang mendesak agar daerah bisa menjadi viral karena kemajuannya bukan karena tingkah pejabatnya yang menjadi sasaran nyinyir netizen.