Mohon tunggu...
Minami
Minami Mohon Tunggu... pegawai negeri -

@maharsiana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kesehatan Kompasiana Terganggu oleh Oknum Kompasianers

21 Agustus 2010   17:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:49 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_234594" align="alignleft" width="300" caption="Wadah penyaluran ide dan energi positif, bukan gontok-gontokan apalagi sirik-sirikan (foto kompasiana.com)"][/caption] Banyaknya kompasianer yang vakum dari kompasiana belakangan ini, saya kira bukan tanpa sebab. Kompasianers yang dulu aktif menulis atau sekedar komen (komensianer) sekarang sebagian mulai tidak terlihat lagi. Karena tidak bisa mengecek secara langsung, saya berasumsi ada beberapa penyebab yang menjadi alasan mereka agak malas beranjangsana ke kompasiana.

Meski kompasianer baru bermunculan bak jamur di musim penghujan, vakumnya para kompasianer dan komensianer lama cukup membuat sebagian merasa kehilangan. Tanpa pamit atau tegur sapa, tiba-tiba mereka lenyap seperti ditelan bumi. Berbeda ketika mereka masuk ke weblog ini dengan bertegur sapa atau sekedar member komen pada tulisan kompasianer lainnya, minimal meninggalkan jejak berupa rating.

Barangkali perkiraan saya ini tidak terlalu meleset jauh mengapa mereka rela meninggalkan kompasiana:

1.       Pembunuhan karakter terhadap kompasianers dan tokoh lainnya

Disadari atau tidak, tulisan beberapa kompasianer aktif bahkan admin sekalipun, sedikit banyak telah membuat kompasianer atau tokoh lain menjadi jengah membacanya, entah karena terbawa emosi tulisan atau alasan lain. Tentu kita masih ingat kisah Agnes Davonar yang saat itu berada di puncak ketenaran kompasiana tiba-tiba jatuh karena kasus plagiarisme yang dituduhkan kepadanya. Tak tanggung-tanggung, Kang Pepih sebagai admin ikut turun gunung mengulas tentangnya, sekedar minta klarifikasi namun dampaknya cukup ampuh menginspirasi kompasianer lain untuk numpang ngetop dengan terus-menerus menggosip tentang Agnes Davonar.

Ada lagi penulis produktif yang sedang naik daun, Dewa Klasik Alexander yang nasibnya hampir sama dengan Agnes, hanya beda kasus saja barangkali. Kebetulan pada waktu itu saya sedang vakum jadi tidak terlalu paham duduk persoalannya. Yang jelas ada sebagian kompasianer yang pernah mengulas profil dan kiprah Dewa ini. Ujung-ujungnya pamor kedua kompasianer ini kini mulai meredup dan seakan-akan berhenti berkarya di kompasiana, mudah-mudahan hanya sementara. Tokoh lain yang karakternya ikut terbunuh di sini adalah blogger tuna netra Rama Aditya Adikara. Kemarin, banyak tulisan yang mengulas tentangnya.

Kisah terbaru adalah tuduhan terhadap kompasianer muda potensial Erlinda yang dituduh memakai profil anak SMA dengan fotonya sekaligus. Mereka menganggap tidak mungkin tulisan seusia remaja seperti Erlinda dapat sebagus itu. Tuduhan yang segera diklarifikasi Erlinda secara emosional karena tuduhannya memang membabi-buta. Apalagi ada kompasianer yang ingin numpang ngetop dengan mengulas kisah Erlinda.

2.       Sesama kompasianers saling serang personal

Baru beberapa hari hadir lagi ke kompasiana, namun cukup membuat saya kecewa. Apa pasal? Rupanya budaya menyerang pribadi kompasianer belum hilang. Tulisan terbaru adalah tulisan tentang Felix yang dianggap mata-mata istana di kompasiana. Dia dituduh bagian dari kroni Presiden SBY yang digadang-gadang merujuk kepada staf khusus presiden asal Papua, Velix Wanggai mengingat kemiripan nama, hanya dibedakan F dan V pada huruf awal namanya saja. Lagi-lagi tuduhan yang prematur tanpa didasari fakta kuat dan adil.

Dari tulisan-tulisan itu, lahirlah komen-komen yang isinya cukup membuat kita geleng-geleng kepala, tidak intelek, tidak beretika, tidak berkelas, dan sebagainya untuk ukuran penghuni kompasiana yang katanya orang-orang berpendidikan. Jauh dari kesan santun ketika komen di tempat lain yang isinya sesuai dengan kelompoknya.

3.       Kompasiana dikuasai ‘barisan sakit hati’

Istilah ‘barisan sakit hati’ ini saya dapat dari pesan pribadi di akun kompasiana saya yang mengira menghilangnya saya dari blog ini karena diteror kalangan ini. Pertanyaan ini tentu saya jawab dengan ketawa, “Adakah kaum sakit hati di negeri ini, apalagi di kompasiana yang isinya orang-orang cerdas berwawasan luas?”. Kalau boleh saya tebak, maksud kawan saya ini adalah kompasianers yang posisinya berhadapan dengan pemerintah (baca: SBY-Boediono) sehingga terkesan anti-SBY Boediono.

Entah bagaimana ceritanya, yang jelas komposisi kompasiana dalam hal konstelasi politik memang kurang berimbang. Berdasarkan survei yang pernah saya lakukan pada awal-awal bergabung di sini, jumlah dan frekuensi tulisan yang menghujat pemerintah memang tergolong besar, yakni sekitar 80,77%. Bisa dimaklumi mengingat kompasiana kemungkinan dijadikan wahana menuangkan uneg-uneg dan buah pikiran yang tidak bisa disampaikan di forum-forum atau wadah resmi negara.

Menurut kawan saya ini, jika ada tulisan yang menyanjung pemerintah dan kesuksesannya, penulisnya akan dituduh sebagai penjilat SBY, penulis bayaran, bahkan yang kasar lagi disebut sebagai herder SBY. Stigma yang menurut saya adalah tuduhan keji untuk ukuran orang-orang berpendidikan. Masih menurut dia, sebaliknya jika ada tulisan yang memuji Jusuf Kalla, penulisnya disebut orang pintar dan berpendidikan, bukan penjilat JK seperti halnya kasus pertama tadi. Ada standar ganda di sini.

Barangkali tiga hal di atas cukup kita jadikan bahan renungan untuk seluruh penghuni kompasiana tentang makna etika dan dialektika. Tanpa harus menyebut nama, mudah-mudahan sebagian dari mereka tergerak untuk berbuat yang lebih baik demi kesehatan rumah ini. Seandainya ada rekan-rekan yang ingin menambahkan atau menyanggahnya, sang admin telah berbaik hati menyediakan tempat di kolom komentar.

Apapun kompasiana, di sana saya temukan selain ada kelemahan juga banyak sekali kelebihan yang dapat kita petik bersama. Sudah tidak terhitung rekan-rekan kompasianers yang sukses berkat keaktifan mereka dalam menulis di kompasiana. Sebut saja kompasianer Waris Darmadi yang kini telah menjadi jurnalis, Mariska Lubis dan Wisnu Nugroho yang telah menelorkan buku-buku fenomenalnya dan termampang di gerai-gerai buku ternama negeri ini, Jemie Simatupang dan Gustaaf Kusno yang artikelnya menjadi langganan surat kabar ternama.

Dan kisah sukses kompasiana terbaru adalah keberhasilan rekan kita Yusran Darmawan asli Pulau Buton yang terpencil di Sulawesi sana mampu menembus ketatnya persaingan mendapatkan beasiswa dari Ford Foundation yang terkenal itu. Semoga kesuksesan-kesuksesan itu menginspirasi kita.

Bukan malah kita sirik-sirikan terhadap kesuksesan Agnes Davonar, Dewa Klasik Alexander, Erlinda muda yang brilian, Yusran Darmawan, atau Ariel Peterporn yang beberapa waktu sangat ngetop di kompasiana.

Salam kompasiana, selamat menunggu waktu sahur (masih 4 jam lagi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun