Mohon tunggu...
Minami
Minami Mohon Tunggu... pegawai negeri -

@maharsiana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Obrolan Japri Minami dan Assegaf, Akhir Skenario Fulitik Bangsa

15 Maret 2010   00:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:25 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stage 1 :

[Pagi cerah itu, terlihat dua kompasianer sedang duduk-duduk santai di atas tikar pandan di sudut kos-kosan di bilangan Kampung Melayu, ibukota negara. Orang pertama seorang pemimpin redaksi majalah ternama, sedangkan lawan bicaranya seorang penulis abal-abal. Keduanya terlihat fokus menatap laptop buatan Cikokol dengan antusias, tanpa ditemani kupi dan ubi goreng]

Minami memulai membuka pembicaraan, teman bicaranya Faizal Assegaf (FA) sedang mengubah statusnya di facebook, “Lagi kongkow-kongkow sama Minami di café Kemang”.

Minami : “Bang Ical, piye ki nasib fans tulisan-tulisan kita? Kayaknya mereka sedang ‘bertempur’ adu argumen masing-masing deh.”

FA : “Biarin aja, toh gak sampai saling lempar batu to?”

Minami : “Lho, kok pake “to”, emang Bang Ical orang Jawa ya?”

FA: “Huss, katanya mau mbahas fans kita, kok malah ngelantur mbahas SARA. Iya sich, tapi bukan saya, istri saya yang orang Jawa totok.”

Minami : “Oh.” Trus gimana tuch tentang mereka itu?”

[tanya Minami sambil menunjuk laptop yang sedang membuka kompasiana.com]

FA : “Gak usah cemas, bung! Sebentar lagi juga akan reda sendiri, lihat aja nanti kalau ada isu-isu baru, tak jamin deh ribut-ributnya ganti topik.”

Minami : “Tapi, naga-naganya sudah menjurus ke wilayah privasi Bang Ical deh. Lihat tuh, ada yang minta abang dijewer, ada yang minta ditendang. Malah, ada yang nyuruh Bang Ical digelitikin sampai mati ketawa saja.”

[meledaklah tawa keduanya, seisi kos-kosan pun terbangun, ada yang teriak, “Woi, sore-sore bukannya ngaji malah cekikikan”.]

Minami : “Bang, ada yang baru mabok tuh!”

Minami dan FA : “Hahahahahaha…..”

[tawa keduanya pun meledak kembali, sandal jepit melayang dari pintu kamar terdekat dengan tempat kongkow]

FA : “Iya saya tahu dan saya sadar, mungkin ini karma karena abang juga sering menyerang pribadi penguasa negeri ini. So, impas khan? Esay going lah…”

Minami : “Kalau esay going, kenapa kemarin abang gak terima privasinya diungkit-ungkit?”

FA : “Masak sich, lupa nich kayaknya abang.”

Minami dan FA : “Hahahahahaha…..”

FA : “Minami..minami..bisa aja lu ah!”

***

Stage 2 :

[Suatu sore di depan ruang rapat paripurna gedung dewan rakyat Negeri Ngotjoleria, terlihat beberapa orang berdasi dan berpakaian necis tersenyum-senyum sambil asyik berbincang dengan koleganya. Beberapa presenter dan juru kamera stasiun teve menyorot mereka tanpa sepengetahuan sembilan anggota dewan itu]

Dengan kamera dan mic canggih yang bisa mendengar pembicaraan orang dari radius puluhan meter dengan jernih –maklum buatan Israel, bukan Cikokol Tangerang- perbincangan santai kesembilan anggota pansus (bukan panci wadah usus) dapat terekam di teve, namun demi alasan privasi, tidak disiarkan secara live sebagaimana sidang paripurna di dalam sebelumnya.

Dua ‘bintang’ sidang rupanya terlibat perdebatan cukup alot. Yang satu anggota dewan yang merangkap jabatan sebagai artis dengan aksen Batak ciri khasnya. Sedangkan satunya seorang anggota dewan yang lebih tinggi dari lawan bicaranya itu. Soalnya, dia pernah bilang, “Kata siapa berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Tinggian mana kau sama aku?” Lelucon yang membuat seisi sidang tertawa dan disaksikan seluruh masyarakat Negeri Ngotjoleria. Rekan-rekan mereka asyik ngobrol sendiri di belakang keduanya.

Dalam posisi masih berdiri, Jayus memulai pembicaraan dengan pertanyaan basa-basi khas penduduk negeri itu. Si Poltak juga sudah siap dengan segala argumentasinya.

Jayus : “Di mana kucir manismu itu, Poltak. Apa ikut disunat juga?”

Poltak : “Hai, bangsaat! Emang siapa yang disunat?”

[canda Si Poltak sambil cekikikan gaya khasnya]

Bembenk Susanto terkesiap namanya dipanggil. Akhirnya dia ikut menimpali pembicaraan Jayus dan Poltak.

BS : “Siapa tadi yang manggil saya? Jangan sebut sembarangan ya!”

Kali ini, gayanya sangat serius dengan mimik wajah dilipat. Media memang sering menyingkat namanya dengan istilah yang pernah terlontar dari mulut Si Poltak. BangSsat, begitu tulis media-media online yang sentimen dengan gaya angkuh dan asal njeplak ciri khasnya.

Jayus dan Poltak : “Hahaha….”

Poltak : “Apa kau anak kecil ikut-ikutan, urus sana bapakmu itu. Nanti sahamnya hilang lho!”

Jayus dan Poltak : “Hihihihiihi…”

[keduanya tertawa cekikikan, yang jadi bahan tertawaan tersipu malu dan melangkah mundur bergabung kembali dengan keenam temannya]

Poltak gantian berdiskusi serius dengan Jayus. Sejumlah kamera masih tidak terlepas menyorot pembicaraan keduanya dari jarak jauh.

Poltak : “Lihat mas, rakyat kita di luar sana saling lempar batu dengan polisi gara-gara kasus yang tidak ada kaitannya dengan politik. Sebagai lawyer saya tidak setuju kasus Bang Sianturi ini masuk agenda sidang DPR, ini kan masalah hukum, ya serahkan saja ke penegak hukum. KPK barangkali. Ingat dia masih saudaraku, meski tidak semarga bah".

Jayus: “Mas..mas..memangnya saya orang Jawa apa, panggil kanda dong biar kelihatan mesra gitu. Kamu memang gak punya sense of belonging, payah lu Poltak".

Jayus dan Poltak : “Hahaha….”

Jayus : “Tenang saja kau, sebentar lagi kalau misi kami berhasil, mereka tidak akan turun lke jalan lagi kok. Lihat saja nanti”.

Poltak : “Misi? Misi apa maksud kau? Mau makar, kudeta, subversif, atau missi on impossible? Jangan mimpi di siang bolong lu Jayus.

[kali ini raut muka Si Poltak menunjukkan ketegangan, entah apa yang ada dalam pikirannya]

Jayus: “Yaa misi apa saja yang penting halal dan berkah. Gitu aja kok sensi.”

Poltak :“Oh, gak bisa. Halal kok main lempar-lemparan, bakar-bakaran, emangnya mancing ikan apa. Setelah kail dilempar, ikan didapat, dibakar deh rame-rame deh. Kita cincai aja gimana?”

Jayus dan Poltak : “Hahaha….”

[Si Bembenk yang dari tadi hanya ngobrol ngalor-ngidul dengan teman-temannya, nampaknya terpancing juga mengomentari diskusi Poltak dan Jayus]

BS: “Eh, lagi ngomongin ikan apaan sich, asyik bener. Nanti saya dapat jatah apa nich?”

[Entah dari mana teman Si Poltak yang ahli telamatika itu ikut nimbrung dan menimpali BS]

Roy Sukro : “Huuuuuuuuuuuu…”

[Teriaknya dengan lepas namun jari tangannya tak lepas dari salah satu lubang hidungnya]

Jayus : “BS, udah sana pergi, kamu khan ember. Sana tampung saja lumpur di rumahmu, kalau udah banyak dijual lalu hasilnya dikasihin ke Sidoarjo. Kasihan mereka masih menunggu uluran embermu”.

Poltak dan Roy Sukro :“Hahaha….”

***

Stage 3 :

[Suatu sore di depan pagar gedung DPR/MPR Negeri Ngojtoleria, terlihat massa yang kebanyakan anak muda berkaos oblong, ada juga anak SMP dan ibu hamil, terlibat baku hantam dengan aparat kepolisian. Massa ingin merangsek masuk ke dalam lingkungan gedung dengan menggunakan segala cara. Ada yang menarik kawat berduri dengan mobil Land Cruiser, ada pula yang menggoyang-goyang angkuhnya pagar anggota dewan berharap akan mampu dirobohkan. Namun, pihak pengawal negara masih sanggup menahan desakan massa sambil tersenyum dan tak lupa menyemprotkan water cannon. Ibu hamil yang dua hari berturut-turut ikut demo tersebut, roboh kemudian pingsan]

***

Stage 4 :

[Pagi itu pukul 10.00 WITA, sejumlah mahasiswa UIN Makassar tampak sibuk memblokir jalan meminta pengguna jalan berbalik arah karena badan jalan akan digunakan untuk menggelar aksi menuntut penuntasan Kasus Bank Sianturi. Warga yang kesal karena setiap aksi disertai pemblokiran jalan, mulai mendesak mahasiswa sambil saling ejek dan sesekali terlihat lemparan batu, entah dari mana dan siapa pelakunya. Mahasiswa yang masih semangat-semangatnya tentu tidak terima, akhrinya perang batu dan bakar ban pun tidak dapat dihindarkan. Polisi yang semula menjaga aksi dan niat awalnya ingin melerai bentrokan itu, tak luput juga dari aksi lemparan batu beberapa mahasiswa. Massa yang tidak terkendali akhirnya melumpuhkan sejumlah kawasan, merusak tiang rambu jalan, papan nama, sejumlah mobil patroli dan memecahkan kaca mobil ambulan yang kebetulan sedang melintas]

Stage 5 :

[Beberapa waktu setelah kejadian-kejadian tersebut, sejumlah pengamat, politisi, ketua organisasi kemahasiswaan, kalangan akademisi, pihak kepolisian, berduyun-duyun mendatangi stasiun-stasiun televisi untuk wawancara atau sekedar mengisi acara diskusi]

Stage 6 :

[Siang itu, orang-orang bersetelan rapi dan berdasi, terlihat sedang keluar dari sebuah kafe ternama di bilangan Kemang, di sudut ibukota negeri. Tawa dan canda mereka riuh rendah seolah-olah tidak peduli dengan kejadian-kejadian di luar sana]

***

Pengamat sosial berkata : “Seharusnya, jika sejak awal kasus Bang Sianturi ini masuk ke ranah hukum dan diselesaikan secara hukum, bukan politis, dan masyarakat percaya dengan gerakan penegak hukum, saya kira kejadian yang memalukan dan memilukan sejauh ini tidak perlu terjadi. Uang rakyat miliaran rupiah pun tidak menguap begitu saja. Syaratnya ya itu tadi, pemerintah harus bersikap arif bijaksana, bersungguh-sungguh menuntaskan kasus ini dan bersungguh-sungguh pula meyakinkan dan mengejawantahkan keinginan rakyatnya”.

Stage Closed

[Minami bergerak mendekati Faizal Assegaf sambil berjabat tangan dan memeluk erat bahu lawan bicaranya itu. Kemudian Jayus, Si Poltak, BS, Roy Sukro, dan politisi-politisi lainnya bergandengan tangan sambil menuju ke luar gedung dan mengajak massa yang tak terkendali untuk istirahat sebentar. Menikmati tahu gejrot khas Cirebon dan kerak telor khas Betawi yang selalu mangkal di lingkungan gedung. Polisi dan mahasiswa juga saling tukar bunga dan bantal cinta]

[plok..plok..plok..plok] Melihat akhir episode pertunjukan satir itu, dengan tulus penonton bertepuk-tangan sambil berdiri (standing ovation) setelah lelah menyaksikan panggung sejarah negeri itu. Begitu lama, seolah-olah ingin melepas keraguan bahwa bangsa ini akan tenggelam lagi seperti orde-orde lalu. Mereka puas namun terenyuh sambil menahan nafas melihat saudaranya bertempur tiada henti di atas panggung tersebut. Kini, mereka bisa pulang dengan mengulum sebuah simpul simpel nan eksotis. Menceritakan apa yang disaksikan kepada tetangga, saudara, anak cucu, dan semua yang ditemuinya. Hanya pihak-pihak yang memancing di air keruh saja yang tidak suka melihat kejadian itu. Namun,manusia tetap optimis, Gusti ora sare ! Allah itu Maha Tahu dan Maha Adil.”

Catatan :

Kami mohon dengan sangat, kepada Bung Delta agar tidak menjelek-jelekkan nama person seseorang dalam menanggapi komen, apalagi yang dikritik itu tokoh yang dikagumi dan disegani, saya rasa itu hanya akan memperkeruh suasana dan memperburuk diskusi ini. Begitu juga kepada Bung Syariif, Kasep Kalla, Olivia, dan sebagainya. Memang kalian dapat apa dari semua itu. Hajatan ini milik para elit di sana, mereka yang berpesta dengan uang kita, sedangkan kita hanya kebagian ampas saja, kita pula yang membersihkan piring kotornya. Bisa saja saya menghapus komen kalian, namun sebagai bentuk penghargaan kepada Anda semua atas kunjungannya, sejauh ini tak satu pun komen pembaca dan saya sendiri yang saya hapus, biarlah itu menjadi catatan sejarah dalam setiap tulisan saya.  Meskipun kadang ada yang membuat saya tidak enak.  Mungkin inilah bentuk kebebasan berekspresi, tidak bisa saya cegah atau atur-atur, saya bukan admin. Begitu juga jika ada komen saya yang menyinggung pribadi, saya mohon maaf.

Sebenarnya, ketika berdiskusi untuk apa kita saling menyerang dengan kata-kata kasar, meski yang kita ingatkan juga demikian, kasar dibalas kasar hanya akan menjadi kasar kuadrat. Tidak sehat. Meski tulisan saya dan Faizal Assegaf dinilai berbeda, selama ini kami selalu diskusi lewat japri, bahkan saat komentator sibuk menanggapi tulisan dan komen yang ada. Lewat japri pula, Bung FA pernah menyebut atau mengajak saya berdiskusi sambil minum kopi, dia bilang sudah lama tidak ke Kemang. Sedangkan saya lebih suka di Atrium Senen, banyak pemandangan soalnya (hehe..) Ada yang mau bergabung? Kita bisa nanya nanti, kalau revolusi memang terjadi, kira-kira siapa ya yang layak jadi penguasa negeri ini. Asal tidak main comot seperti dulu-dulu lagi. Dijamin seru barangkali.

Jakarta yang hangat, Senin 15 Maret 2010

[caption id="attachment_93591" align="aligncenter" width="500" caption="Drama di panggung NKRI yang tidak kunjung usai (foto google)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun