Mohon tunggu...
Minami
Minami Mohon Tunggu... pegawai negeri -

@maharsiana

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pembredelan Akun dan Pembredelan Buku (Edited)

5 Januari 2010   18:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:37 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tapi jika seandainya dilakukan ‘pemilu kompasiana’ dan hasilnya ternyata menolak pembekuan tersebut, maka dengan menyesal admin kita ini dianggap tidak demokratis.

Terlepas dukung mendukung Federasi Timur Raya (FTR), saya sendiri tidak mengenal penggagasnya meskipun dia sering nempel di halaman profil saya sekedar untuk ‘promosi’ postingannya. Saya sendiri tinggal di Sumatera bagian barat sehingga tidak ada kaitannya dengan FTR tadi. Artinya saya memandang ‘pembredelan’ akun tersebut dari kaca mata seorang kompasianer yang independent.

Saya ingin cerita sedikit mengenai demokrasi di daerah saya.

Suatu ketika pemerintah pusat menyediakan dana sebesar Rp 5 miliar guna membangun tanggul penahan abrasi laut, mengingat daerah saya di tepi barat Pulau Sumatera yang setiap saat menerima gempuran dahsyat gelombang Samudera Hindia tentu pembuatan tanggul sangatlah urgen. Untuk diketahui jalan lintas barat Sumatera yang melewati daerah saya itu ada beberapa ruasnya yang tinggal satu meter, tergerus air laut.

Rupanya dana tersebut dikelola oleh beberapa pejabat yang dari gelarnya saya tahu dia basic ilmunya ekonomi, ada tulisan S.E. di belakang namanya. Tapi ada satu nama yang sangat saya kenal di bagian konstruksi, gelarnya cukup mencolok dan mentereng, S.T., Sarjana Teknik, kalau dulu Insinyur namanya, sama dengan presiden pertama negara kita yang pernah membangun masjid jamik di tempat saya tinggal sekarang, Ir. Sukarno, tanpa Hatta. Ternyata dia tidak diikutkan dalam proyek pembuatan tanggul tersebut.

Apa yang jadi masalah?

Karena mengikuti gaya demokrasi dimana suara terbanyak yang berkuasa, bertentangan dengan sila ke empat Pancasila yang mengamanahkan musyawarah dengan hikmat kebijaksanaan (ilmu pengetahuan dan moral) akhirnya proyek tanggul abrasi tersebut ditangani para Sarjana Ekonomi, bukan oleh ahlinya yaitu Sarjana Teknik. Yang terjadi selanjutnya adalah belum juga diresmikan tanggul tersebut sudah jebol dan hilang ditelan ganasnya ombak Pantai Barat Sumatera yang sering masuk running text Metro TV berketinggian mencapai 5 meter. Bupati pun bukan kepalang malunya, diekspose di koran lokal mencak-mencak kepada para bawahannya yang bergelar S.E. itu.

Begitu jahatkan demokrasi sehingga harus mengorbankan uang rakyat sebesar Rp 5 miliar sia-sia belaka hanya karena bukan insinyur yang menanganinya? Para praktisi dan ilmuwan tentu akan tertohok hatinya bagaimana bisa sebuah ilmu diinjak-injak sistem demokrasi. Tanpa mengecilkan peran, pantaskah menyamakan satu suara tukang batu dengan satu suara insinyur? Atau satu suara tukang becak disamakan dengan satu suara dokter, dalam hal pembuatan keputusan? Ada benarnya juga kata Nabi Muhammad, "jika suatu urusan diberikan bukan kepada ahlinya, tunggulah kehancurannya", dalam hal ini kehancuran tanggul abrasi tersebut tentunya. Atau pepatah Barat "the right man on the right place". Namun semua itu tidak berlaku pada demokrasi kita saat ini, keputusan adalah suara terbanyak, entah yang banyak itu koruptor atau bukan pokoknya asal demokratis.

Mari kita tanyakan kepada pemerintah dan admin berkaitan dengan ‘pembredelan-pembredelan’ tersebut...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun