Sebagai informasi, migas adalah salah satu sumber pendapatan terbesar bagi Aceh. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor ini menyumbang lebih dari 30 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh pada tahun 2023. Oleh karena itu, posisi Kepala BPMA menjadi sangat strategis dan rawan konflik kepentingan.
Respons Pemerintah
Hingga berita ini ditulis, Safrizal ZA belum memberikan tanggapan resmi terkait tuntutan tersebut. Namun, seorang sumber dari Pemerintah Aceh menyatakan bahwa pihaknya tengah memonitor perkembangan di lapangan. "Kami akan segera mengambil langkah untuk meredakan situasi ini," ujar sumber yang enggan disebutkan namanya.
Di sisi lain, pihak keamanan mulai mengamankan beberapa titik lokasi spanduk untuk mencegah potensi kericuhan. Kapolres Aceh Jaya, AKBP Rudi Santoso, menyatakan bahwa pihaknya telah menginstruksikan jajarannya untuk melakukan patroli intensif.
"Kami mengimbau masyarakat agar tidak terpancing dengan isu-isu yang beredar. Semua pihak harus menahan diri," tegas Rudi.
Kasus ini menjadi pengingat akan kompleksitas hubungan pusat dan daerah di Aceh. Dengan sejarah panjang perjuangan otonomi, setiap kebijakan yang dianggap melukai kemandirian Aceh kerap memicu resistensi. Pemerintah pusat dan daerah perlu mengambil langkah bijak untuk menyelesaikan polemik ini secara dialogis agar tidak merugikan kepentingan masyarakat Aceh.
Apakah polemik BPMA hanya ujung gunung es dari ketidakpuasan masyarakat Aceh terhadap kebijakan pemerintah pusat? Waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal yang pasti, Aceh masih membutuhkan solusi konkret untuk mengelola sumber dayanya dengan lebih adil dan transparan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H