Mohon tunggu...
Humaniora

Menjadi "vigilante" dalam masyarakat. Bisakah?

28 Agustus 2015   01:08 Diperbarui: 28 Agustus 2015   01:08 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya, artikel ini masih berkaitan dengan arogansi pengguna moge. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila tulisan saya ini terlihat seperti menghakimi dan menggeneralisasi pengguna motor tersebut atas tingkah laku beberapa pihak yang kebetulan memakai moge dan bertindak ngasal. Bukan hanya moge, tetapi bentuk arogansi lainnya.

Malam ini setelah saya kembali dari GIIAS Expo di ICE BSD, ada satu hal yang sempat muncul dalam benak saya. "Apakah, kita bisa main hakim sendiri dengan harapan aparat agar penegak hukum bisa berfungsi sebagaimana mestinya?" Kebetulan, saya sendiri seorang yang cukup "tempramental" apabila melihat ketidakadilan, entah itu di kelas pada saat kuliah, di kereta, pesawat, dan di jalanan. Yang saya sebutkan terakhir menjadi "santapan favorit" saya ketika sedang berkendara menggunakan sepeda motor ataupun mobil.

Vigilante atau singkatnya "main hakim sendiri" merupakan upaya penegakan hukum melalui caranya sendiri. Kasus diserbunya Lapas Cebongan, Yogyakarta oleh beberapa personel Kopassus menurut saya bisa dijadikan contoh. Ketika disfungsi hukum menjadi semakin melempem, maka rakyatlah yang harus turun tangan (atau pihak terkait). Menurut saya, ketika aparat penegak hukum menjadi "pajangan" di negeri ini, maka bukan tidak mungkin masyarakat bisa menjadi penegak hukum. Terkesan barbar memang, tapi hadapilah. Tapi saya yakin, cara menjadi "Vigilante" bagi orang-orang yang intelektualnya matang tentu bukan main pukul. Bahkan saya yakin bahwa berantem menjadi cara yang paling terakhir dan selalu mendahulukan the power of your mind.

Beberapa minggu yang lalu, masyarakat dibuat gerah oleh ulah para pengendara moge pada gelaran acara Jogja Bike Rendezvouz atau disingkat JBR. Dengan aksi dari Mas Joyo yang berhasil menghentikan gerombolan om-om gendut berkumis tebal yang sedang "menggeber" kota Yogyakarta. Saya sebagai pengguna sepeda juga salut terhadap keberanian Mas Joyo, jarang orang yang berani menghadapi gerombolan pengendara moge dan menegur aparat untuk mengingatkan satu hal yang sangat fundamental; patuhlah terhadap aturan lalu lintas. Seketika itu, muncullah banyak Mas Joyo kecil didalam hati kecil saya. Akhirnya, saya coba untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Belum terlihat memang, tapi benih-benih "vigilante" itu selalu ada di diri saya, bahkan di masyarakat.

Kita tarik mundur lagi pada sekitar triwulan pertama tahun ini ketika fenomena begal melanda kota Depok dan sekitarnya. Banyak pihak yang ikutan "gerah" terhadap aksi para begal ini. Akhirnya, salah satu klub motor di Depok ikut serta dalam menjaga kota Depok agar aman dari begal. Adakah aksi main hakim sendiri? Tidak, mereka hanya membantu peran penegak hukum ketika lagi ada "kasus". Hal ini juga bisa menjadi teladan bagi kita semua, yakni kita juga bagian dari masyarakat dan seyogyanya ikut menjaga ketertiban dan keamanan. Sampai pada akhirnya berita yang cukup "geger" di Pondok Aren, Bintaro. Dimana seorang begal dibakar hidup-hidup oleh warga sekitar. Nah, inilah bukti dari aksi "Vigilante" yang nyata di masyarakat. Ketika penegak hukum tidak menganggap suatu kejadian secara serius maka hasilnya ya seperti itu tadi; masyarakat dapat bertindak atas dasar-dasar tertentu, seperti maraknya kasus begal yang meresahkan masyarakat.

Nah, mungkin para pembaca tulisan yang masih acak-acakan ini pernah mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan sehingga menggerakan para "pemberontak-pemberontak" kecil di dalam diri. Ya, kasus baru dari arogansi pengguna moge kembali terjadi. Menurut salah seorang blogger otomotif roda dua, pengguna motor ini dengan santainya mengambil antrian kosong di SPBU Shell Sunter dan meminta petugas untuk mengisi bensin. Padahal, kita semua tahu ketika ada nozzle bensin yang kosong atau tidak ada petugasnya, maka gunakanlah bagian nozzle yang ada petugasnya. (Selengkapnya: http://aripitstop.com/2015/08/27/arogan-moge-serobot-antrian/)

[caption caption=""Mas, tolong isikan bensin saya. Saya pake moge loh" "Tapi pak, mas yang ini antri duluan. Bapak ngantri dibelakang aja ya" "oh gitu ya mas, saya ini pake moge loh mas""][/caption]

Seperti itulah salah satu pengguna motor besar di Indonesia. Kembali lagi saya meminta maaf kepada pembaca yang kebetulan memakai motor besar seperti gambar diatas karena saya bukan menyorot motornya. Saya menyorot perilakunya.

Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Itulah gambaran yang tepat untuk menggambarkan beberapa orang yang memakai motor seharga hampir satu milyar tersebut. Apabila kita berpikir menggunakan akal sehat, orang yang mampu membeli motor tersebut adalah orang yang secara intelektual adalah orang yang cerdas, orang yang pandai, dan berpendidikan. You could by a supercar, but you can't buy good manners. Nyatanya? Mereka kalah dengan anak SD dalam hal antri mengantri. Mungkin kasus ini belum banyak didengar di jagat raya internet, saya pun tidak bermaksud untuk mem-blow up berita ini. Toh saya hanya ingin beropini, bukan mencari sensasi.

Apakah pembaca geram melihat gambar ini? Apabila jawabannya iya, maka lawanlah. Ya, apabila melihat hal yang serupa seperti ini, lawan!

Dengan apa lawannya? Permalukan saja dia. Itulah "Vigilante" zaman modern ini. Foto, upload ke social media, maka jadilah berita menghebohkan di jagat raya maya ini. Saya rasa, bangsa kita menjadi bangsa yang nyinyir semenjak ada internet, terlebih ketika periode pemilu kemarin (Kita tahulah apa yang terjadi kemarin. Tidak perlu dijelaskan. Nanti kalo dijelasin malah jadi politis lagi hehe).

Lanjut

Saya sendiri geram melihat tingkah laku dari si Om ini. Karena apa susahnya sih mengantri dibelakang motor bebek dan matic? Masa kalah dengan anak SD? Aduuuuhhh. Mungkin saya ketika melihat ada hal yang serupa dengan gambar diatas, mungkin bukan hanya bogem mentah yang akan saya daratkan di pipinya, mungkin serangan helm juga. (Biar greget!)

Perlukah masyarakat turun tangan sendiri menyelesaikan hal-hal yang terkesan sepele namun sebetulnya sangat fundamental di kehidupan sehari-hari dari kita? Jawabannya: Ya. Tetapi menggunakan cara yang sopan namun tajam. Masyarakat harus solid dalam mengatasi ketidakadilan. Tetapi kembali lagi seperti perkataan saya diatas, gunakanlah otak lebih dulu. Masyarakat hendaknya juga mengerti akan "rasa malu" yang harus ditanamkan sedari kecil dan di aplikasikan dikehidupan sehari-hari. Jangan pikirkan soal waktu, karena akan sangat lama sekali sebelum Indonesia bisa mengantre dengan baik. Pikirkan bagaimana caranya kita bisa "menertibkan" orang-orang yang ngasal seperti si Om ini. Tentu, kita semua sepakat bahwa kekerasan bukan merupakan jalan yang terbaik dalam mengatasi masalah, tetapi apalah daya ketika akal sehat dari si oknum sudah sakit. Mungkin bisa saja masyarakat kita membakar si Om ini seperti kasus pembakaran tersangka begal di Pondok Aren.

Si Om ini saya rasa harus dilempar kembali ke bangku SD agar belajar mengantri di depan kelas sebelum pelajaran dimulai agar paham cara mengantre yang baik. Mungkin bukan hanya si Om ini, tetapi ratusan bahkan ribuan pengendara lainnya agar terciptanya masyarakat yang teratur. Masa negara sekecil Singapura bisa mengantre, sedangkan negara yang besarnya sebesar benua Eropa sampai ke Rusia tidak bisa mengantre? Malu sob!

Itulah "Vigilante" dalam tulisan saya yang dibuat dengan sangat terburu-buru karena mengantuk. Bukan dalam artian sebenarnya karena arti sebenarnya sendiri dekat dengan tindak anarkisme dan sangatlah tidak etis ketika bangsa ini sedang ber-metamorfosis menjadi lebih baik lagi dan diganggu oleh tindak anarkis oleh sebagian masyarakat.

"Mas, saya pake moge loh. Isikan bensin saya!" "Tapi pak, mas yang ini lebih dulu disini pak." "Ah banyak cingcong kamu. Saya ini pejabat! Dan pake moge! Isikan bensin saya, buruan!" "iya pak, siap!" *Dan si Mas yang mengantre duluan langsung ngacir*

 

Serpong, 28 Agustus 2015

Andhika Maharetsi

Mahasiswa FISIP UI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun