Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Model - Art Modeling

Hanya seorang lelaki biasa yang senang mendengar hatimu bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Tarian Terakhir Cahaya dan Bayangan

20 Januari 2025   09:33 Diperbarui: 20 Januari 2025   09:33 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dibuat menggunakan AI DALL-E.

Pertemuan di Katedral

Air mata langit dan demam matahari menyelimuti kota tua yang nelangsa. Ribuan gagak bertengger di reruntuhan, seperti bayangan masa lalu yang tak kunjung pergi. Denting lonceng katedral menggetarkan keheningan, pengingat bahwa waktu adalah bayang-bayang yang terus mengalir, tak terhindarkan, dan abadi.

Di bawah lengkungan katedral itu, Anael, seorang penari balet yang kehilangan gairah hidup, menemukan dirinya termenung di altar yang memudar. Di sana, ia bertemu Jophiel, seorang seniman mural yang menyimpan fragmen masa lalunya dalam setiap guratan cat. Bagi Jophiel, setiap mural adalah pertempuran dengan iblis-iblis dalam dirinya, dan bagi Anael, setiap tarian adalah doa yang gugur sebelum abjad a sempat berbunga dalam desak kemarau panjang. Luka-luka mereka, meski tak kasat mata, mempertemukan mereka seperti dua bayangan yang saling mencari di dalam labirin kehidupan.


Masa Lalu yang Tersembunyi

Jophiel melihat Anael sebagai sinar yang mampu menembus kabut gelap dunianya. Di sisi lain, Anael menemukan dalam diri Jophiel sebuah cermin yang memantulkan kerapuhannya sendiri. Namun cinta mereka adalah paradoks, di mana keindahan tumbuh di atas reruntuhan.

Dalam percakapan larut malam di bawah cahaya lilin yang berkedip pelan, Jophiel berbicara tentang bagaimana muralnya adalah cara untuk menebus kesalahan masa lalu, khususnya kepada seseorang yang ia cintai tetapi telah direnggut maut. Anael, dengan mata yang basah oleh keraguan, mulai membuka diri tentang rasa hampa yang mengikutinya bahkan di puncak kariernya.

Tarianku seperti menulis surat yang tak pernah sampai, katanya dengan suara bergetar.

Saat Jophiel melukis Anael, ia menangkap bukan hanya kecantikannya, tetapi juga kehancuran yang ia coba sembunyikan. Sementara itu, Anael menari bukan untuk memukau dunia, tetapi untuk mengakhiri kesakitannya sendiri. Dalam tiap gerak dan sapuan kuas mereka, terdapat pertanyaan yang tak terjawab: apakah cinta mampu menyelamatkan, ataukah hanya menjadi saksi dari kebinasaan yang tak terhindarkan?


Denting Lonceng Terakhir

Di bawah denting lonceng terakhir, mereka menari bersama. Jejak-jejak mereka seperti puisi yang mengungkap keberanian untuk menghadapi kerapuhan. Anael, dengan gemetar, mengakui bahwa tarian ini adalah cara terakhirnya untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Jophiel, dengan mata penuh air, berjanji bahwa ia akan menjadi seseorang yang Anael bisa percaya untuk menanggung luka bersama.

Di sana, di bawah naungan katedral yang membisu, mereka memilih untuk tidak melarikan diri dari luka, tetapi menari di dalamnya. Gerakan mereka bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang menerima bahwa hidup adalah perpaduan cahaya dan bayangan---sebuah perjalanan yang menyadarkan bahwa keabadian hanya ada di dalam momen-momen yang kita abadikan di hati kita.

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun