Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Model - Art Modeling

Hanya seorang lelaki biasa yang senang mendengar hatimu bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta dan Puisi di Coffea Arabica

19 Januari 2025   22:35 Diperbarui: 19 Januari 2025   22:35 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dibuat menggunakan AI DALL-E.

Senja meluncur pelan di langit Coffea arabica, kafe kecil yang terletak di sudut kota. Tempat ini bukan sekadar untuk menyeruput kopi, melainkan semesta di mana cerita-cerita manusia saling bertaut seperti benang-benang halus. Aroma kopi arabika bercampur dengan harumnya kayu manis, menyelimuti ruangan dengan kehangatan. Di sudut yang diterangi lampu temaram, Dendrobium Aksara duduk, jemarinya menyentuh cangkir kopi yang masih mengepul. Namun, matanya menerawang jauh, melintasi ruang dan waktu.

Pikirannya tertuju pada seseorang di balik meja bar---Kala Andara, barista dengan jemari angin dan senyuman matahari. Setiap kali Kala menyajikan kopi, seperti ada keajaiban kecil yang mengiringinya. Namun bagi Dendrobium, keajaiban itu memiliki nama, aroma, dan rindu yang tak terkatakan.

Hari itu, suasana kafe berbeda. Sebuah pengumuman tergantung di dekat pintu masuk: "Demi renovasi, Coffea arabica akan ditutup selama dua bulan ke depan. Harap maklum."

Dendrobium menatap tulisan itu, rasanya seperti pintu hati yang tiba-tiba tertutup. Dua bulan? Ia mendadak kalut, bayangan hari-hari tanpa melihat Kala berputar di benaknya. Keberanian yang baru saja ia kumpulkan untuk menyapa, kini runtuh seperti kertas basah.

"Kamu terlihat seperti bunga layu," ujar Vulpes aureta, sahabat sekaligus mentornya, sambil mengaduk kopinya perlahan. "Cinta itu seperti menanam anggrek. Kadang tanahnya gersang, kadang hujannya terlalu deras. Tapi kamu harus percaya, suatu hari ia akan mekar."

Dendrobium mengembuskan napas panjang, matanya masih tertuju pada pengumuman itu. "Tapi bagaimana kalau aku salah tempat? Bagaimana kalau aku tidak cukup baik untuknya?"

Vulpes tersenyum, menyesap kopinya perlahan. "Kamu tahu, hidup itu perjalanan melampaui trauma. Kadang kita perlu percaya sebelum tahu hasilnya."

Kata-kata itu menempel di pikiran Dendrobium, tetapi hari-hari berikutnya terasa seperti jalan buntu. Coffea arabica kini hanyalah ruang kosong dalam ingatan. Hingga suatu sore di pusat kota, takdir memainkan perannya. Sebuah papan kecil dengan tulisan "Pop-Up Coffee by Kala Andara" memancing matanya.

Jantung Dendrobium berdegup cepat. Ia melangkah mendekat, melihat Kala berdiri di balik meja kecil, berbincang sambil meracik kopi dengan keahlian yang sama. Keraguan sempat merayap, tetapi langkahnya terus maju hingga akhirnya ia berada di hadapan Kala.

"Hei, kamu pelanggan tetap di Coffea arabica, kan?" tanya Kala dengan senyuman yang akrab.

"Ya," jawab Dendrobium, berusaha terdengar santai. "Aku tidak menyangka bisa menemukanmu di sini."

Kala mengangkat bahu ringan. "Kafe sedang direnovasi, jadi aku pikir, kenapa tidak mencoba sesuatu yang kecil dan sederhana?"

Percakapan mereka mengalir seperti sungai, membasuh kegelisahan yang sempat menguasai hati Dendrobium. Tetapi saat suasana mulai nyaman, seorang pelanggan datang, menyerahkan buket bunga kecil kepada Kala. Kala menerimanya dengan senyuman hangat. Dendrobium berdiri diam, keraguan kembali menghantui.

"Maaf," ujar Kala setelah pelanggan itu pergi. "Itu hanya teman lama."

Dendrobium mengangguk, mencoba tersenyum meski hatinya diliputi kecemasan. Malam itu, ia duduk di kamar, menatap buku catatannya. Kata-kata Vulpes kembali menggema: Kadang tanahnya gersang, kadang hujannya terlalu deras. Tapi kamu harus tetap percaya.

Dendrobium menulis puisi pendek, mencurahkan perasaannya:

Solitude of Love

There is no greater eternal ruin
Than this:
Solitude without solace
Love endlessly you---
Like a cup left untouched.

(2025)

Esoknya, dengan tangan gemetar, ia menyerahkan buku itu kepada Kala. "Ini," katanya nyaris berbisik. "Semua yang aku rasa selama ini---tentang dunia, kopi, dan... kamu."

Kala membuka halaman-halaman buku itu perlahan, membaca dengan penuh perhatian. Ketika selesai, ia menatap Dendrobium dengan mata yang menyimpan banyak makna.

"Jadi, semua ini tentangku?" tanyanya lembut.

Dendrobium mengangguk, wajahnya memerah. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kehadiranmu lebih berarti dari yang mungkin kamu sadari."

Kala tersenyum. "Terima kasih. Kamu tahu, aku selalu percaya bahwa kopi bisa menyatukan orang, tapi aku tak pernah membayangkan itu akan membawaku menemukan seseorang yang begitu istimewa seperti kamu."

Kala membuka buku kecil di balik meja dan menyerahkannya kepada Dendrobium. Di salah satu halaman tertulis: "Aku membutuhkan seseorang yang bisa menjadi mitra, bukan hanya dalam bisnis, tetapi juga dalam hidup."

Dendrobium menatap tulisan itu, hatinya meluap dengan kebahagiaan yang tak terlukiskan. "Aku siap menjadi apa pun yang kamu butuhkan."

Kala tertawa kecil, lalu melanjutkan, "Kalau begitu, mari kita mulai dari sini. Membuat mimpi ini nyata."

Di bawah langit penuh bintang, dua hati yang pernah dipisahkan oleh keraguan kini terhubung. Tidak hanya oleh cinta, tetapi juga oleh mimpi yang akan mereka wujudkan bersama.

**

M Sanantara, lahir di Bogor, 650 SM. Sarjana botani, penikmat dosa, lukisan impresionisme, dan berpuisi dimana saja asal bukan di alam kubur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun