Masyarakat kota sebagian besar sering berimajinasi tentang kehidupan di desa yang damai. Kota dengan keidentikan suasana yang bising, macet, dan panas menjadi penyumbang terbesar kejenuhan. Tidak sedikit dari pensiunan pegawai mendambakan menghabiskan sisa umurnya di kampung halaman, menikmati kicauan burung setiap pagi ditemani dengan segelas kopi hangat, menunggu sarapan sambil menghirup aroma asap dari kayu di tungku pembakaran. Jika saya benar, tandanya kita mempunyai mimpi yang sama.
Ternyata, realitanya kehidupan di kampung tidak semudah dan sesederhana yang kita bayangkan. Satu bulan lalu, saya berkesempatan menemani ibu pulang kampung ke Rejotangan, Tulungagung, Jawa Timur. Selama satu minggu tinggal di sana, memang saya akui bahwa biaya hidup yang dikeluarkan jauh lebih rendah dibandingkan di kota. Saya masih menemukan harga satu porsi makanan di bawah lima ribu rupiah, dengan harga yang sama jika di kota mungkin hanya bisa membeli sepotong kue basah.
Rumah ibu di kampung berada di tepi Sungai Brantas. Terkahir saya ke sini, kondisi penerangan masih terbatas, akses jalan masih berupa tanah merah dengan bebatuan sungai yang menonjol, masih banyak hewan-hewan seperti babi hutan berkeliaran. Sekarang, setelah hampir lima belas tahun berlalu, kondisi telah banyak berubah. Rumah-rumah bilik berganti dengan rumah dengan pilar yang megah, bisa dikatakan mengalahkan rumah saya di kota. Infrastruktur tergolong baik dan akses listrik sudah dapat dinikmati oleh warganya.
Fenomena yang menarik adalah masyarakat di sini belum bisa meninggalkan getek sebagai transportasi yang mereka gunakan. Getek digunakan untuk menyebrang dari Tulungagung menuju jalan tembusan Kediri. Lima belas tahun lalu, getek yang tersedia hanya berupa perahu kecil dengan kapasitas sepuluh orang. Getek dijalankan secara manual dengan menarik tali tambang yang terbentang menyebrangi sungai.
Sekarang, getek sudah bertransformasi menjadi perahu kayu berukuran panjang dua puluh meter yang dapat mengangkut tiga mobil, sepuluh motor, dan belasan penumpang sekaligus. Dengan kapasitas yang dikatakan fantastis untuk ukuran perahu kayu, getek tetap dijalankan manual. Orang-orang yang menjadi nakoda selama penyebrangan harus menarik tali baja mengarungi arus deras Sungai Brantas.
![Getek sebagai alat transportasi mayarakatnya/dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/15/70407-5b7459c312ae944d270d2ff7.jpg?t=o&v=770)
Tarif satu kali menyebrang dua ribu rupiah untuk satu orang, lima ribu rupiah untuk sepeda motor, dan sepuluh ribu rupiah untuk mobil kecil. Harga yang murah jika dibandingkan jarak yang harus ditempuh jika melalui darat.
Mas Hari mungkin bagi sebagian besar penumpang di sini hanyalah seorang pria penarik getek. Tapi bagi saya, setelah mendengar percakapannya dengan ibu sosok Mas Hari adalah cahaya dalam rimbunnya pohon. Tetap menghangatkan dan memberikan kehidupan walaupun cahayanya tidak selalu dapat terlihat.
Kehidupan di kampung dalam kaca mata saya sekarang sudah mulai bergeser. Awalnya saya menilai orang-orang di kampung yang tidak berminat untuk pindah ke kota hanya karena takut hidupnya tidak terjamin, takut tergerus kerasnya persaingan di kota. Tapi pemikiran seperti itu membuka hati saya, jika semua orang di kampung mengadu nasib di kota, lalu siapa yang tinggal di sini? Siapa yang merawat keluarganya yang sudah sepuh?
Perempuan di kampung ini sebagian besar menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri seperti Hongkong, Arab Saudi, dan Brunei. Hampir seluruhnya rumah berpilar megah itu dibangun karena ada anggota keluarganya yang pergi bekerja di luar negeri. Mayoritas kelompok itu adalah perempuan sebagai asisten rumah tangga.
Hanya sedikit saja laki-laki bekerja di luar negeri, kalau pun ada mereka bekerja sebagai buruh kasar di kapal pelayaran yang akan berangkat ke luar negeri, lalu pulang bertahun kemudian. Dominasi pekerjaan laki-laki di kampung ini sebagai pencari wedi atau dalam bahasa adalah batu sungai. Mereka menjadi penambang liar di sepanjang Sungai Brantas.
Sebetulnya, mata pencarian utama mereka adalah berkebun dan berladang. Di daerah Tulungagung sendiri sudah dikenal sebagai sentral buah jeruk. Namun setiap musim panen tiba, petani di sini sering mengalami rugi. Penyebabnya karena hasil panen melimpah antar kebun malah membuat harga jualnya anjlok. Ini juga terjadi pada komoditas lain yang ditanam seperti belimbing dan kelengkeng.
Alasan ini yang membuat Mas Hari bertahan tetap sebagai penarik getek. Ia tidak ingin istrinya pergi ke luar negeri sebagai TKW. Tapi tubuh kurusnya juga tidak cukup kuat jika harus menjadi buruh kasar di kapal atau sebagai penambang batu. Alasan itu yang menjadi semangat bertahan selama puluhan tahun sebagai penarik getek.
Mas Hari enggan kepergian istrinya ke luar negeri hanya membuang waktu kebersamaan dengan keluarganya. Uang yang didapatkan istrinya akan habis untuk kebutuhan hidup setelah kepulangannya nanti.
Saya akhirnya penasaran bertanya tentang tarif yang dipatok sangat murah untuk sekali menyebrang. Padahal jika dibandingkan harga tersebut tidaklah sebanding dengan jumlah ongkos yang dikeluarkan jika tidak melewati jalan tembusan melalui Sungai Brantas ini. Atau alasan tidak menggunakan mesin motor pada perahunya agar tidak perlu menarik manual.
Getek dengan kapasitas yang sudah dapat memuat mobil tentu mempermudah warga kampung untuk mempercepat perjalanan mereka menuju kota lain. Terutama ketika membawa hasil panen jeruk, risiko kebusukan dapat diminimalisir, serta ongkos distribusi dapat ditekan.
Dalam skala yang lebih kecil, setiap harinya puluhan orang terbantu aktivitasnya karena keberadaan getek. Anak-anak sekolah dapat menyebrang lebih aman, pegawai kantoran tidak perlu terjebak macet, petani, serta pedagang kecil seperti tukang sayur gerobak sangat merasakan dampak dari keberadaan getek.
Lalu bayangkan jika tarif satu kali menyebrang mahal, ditambah dengan ongkos bahan bakar mesin perahu, berapa sisa uang anak sekolah? Berapa rupiah harga sayuran dan hasil tani harus dijual? Berapa banyak gaji orang setiap harinya terpotong untuk ongkos menyebrang? Harga murah saja di sini masih susah cari uang, bayangkan jika harus membebankan penumpang lagi, padahal mereka itu juga mayoritas menyebrang sungai dengan harapan mendapatkan uang yang lebih banyak lagi.
Saya terpaku mendengar jawaban Mas Hari. Zaman sekarang sikap enggan mengambil untung sebanyak-banyaknya sangat langka. Ia adalah satu potret kepolosan masyarakat desa.
Mas Hari bisa dikatakan adalah satu-satunya orang yang telaten menjadi penarik getek selama puluhan tahun. Kawannya banyak memilih pekerjaan lain. Tidak mudah menarik perahu sebesar itu dengan tangan kosong, tanpa menggunakan sarung tangan. Dan kegiatan ini berlangsung selama 24 jam.
![Mas Hari dan dayung raksasanya/dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/15/70408-5b7459ec12ae9431b5335fa7.jpg?t=o&v=770)
Saya pribadi sudah merubah orientasi pemikiran masa pensiun yang nyaman itu dihabiskan di kampung. Jika memang ingin kembali ke kampung, kembalilah dengan membawa perubahan. Karena sejatinya masyarakat di kampung membutuhkan edukasi untuk memanfaatkan sumber daya yang potensial di daerahnya sehingga tidak perlu bekerja ke luar negeri.
Pulanglah ke kampung dengan membawa ilmu dan tularkan ilmu itu ke orang-orang di sana. Jika hasil panen jeruk di kampun membusuk karena saking berlimpahnya, pikirkan teknologi apa yang dapat diterapkan sehingga hasil panen jeruk dapat bertahan lebih lama. Menggantungkan hidup pada sumber daya tambang dapat habis di satu waktu kelak. Merasakan terpisah dari keluarga dalam jarak yang jauh juga tidak selamanya bijaksana.
Seperti Perusahaan Gas Negara yang terus mengembangkan potensi terbaik bagi Indonesia. Jika memang ingin kembali ke kampung, jadilah sesuatu yang berdampak baik bagi sekitar. Berdayakan masyarakat dengan pengetahuan yang punya, sehingga pemikiran seperti yang Mas Hari miliki menemukan solusi. Doakan saya dapat kembali ke sana sebelum menunggu masa tua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI