Mohon tunggu...
Mahansa Sinulingga
Mahansa Sinulingga Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta.

Ikuti saya di blog mahansa.wordpress.com dan Twitter @mahansa.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menjadi Seorang Amatir yang Profesional

25 Oktober 2016   09:01 Diperbarui: 26 Oktober 2016   11:49 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fotografer profesional sedang memperhatikan seorang amatir. (Foto by Pixabay.com)

Sekarang ini, batasan antara amatir dan profesional pada profesi-profesi yang terkait dengan kreativitas kian kabur. Dulu, dengan gampang kita membedakan antara seorang penulis atau jurnalis, fotografer, filmmaker yang profesional dengan yang amatir. Pemicunya mungkin masih bisa didiskusikan lagi, apakah karena faktor teknologi, dengan hadirnya teknologi digital, atau karena generasinya memang begitu, kalau menilik karakter Gen Y.

Ada beberapa hal yang perlu diluruskan dulu. Pertama, per definisi, profesional menurut KBBI IV adalah menyangkut profesi, membutuhkan kepandaian khusus, dan mengharuskan ada pembayaran. Kalau di Wikipedia, disebutkan profesional adalah istilah bagi seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya.

Jadi ada keahlian dan ada bayaran. Sesederhana itu.

Sementara itu, amatir, menurut KBBI IV, merupakan kegiatan yang dilakukan atas dasar kesenangan dan bukan untuk memperoleh nafkah.

Ketika saya selesai kuliah, boleh dibilang batas antara profesional dan amatir itu sangat jelas dan tegas. Untuk profesi yang saya tekuni, yaitu penulis, kalau sudah menyangkut media-media besar ya harus memiliki skill set yang mumpuni. Belum lagi soft skill, yang saya bentuk dengan menempuh pendidikan dan menempa diri dengan pengalaman. Itulah “harga” yang harus saya bayar untuk dapat memperoleh “status” profesional.

Tak heran, yang kemudian berkembang adalah semacam pride atas eksistensi, “Ini lho gue, seorang profesional.” Dan, memang, seorang penulis profesiona nyaris dalam hal apa pun tidak bisa disamai oleh seorang amatir. Ya pasti beda. Mana ada ceritanya penulis kaliber media massa nasional disamakan dengan penulis catatan harian.

Itu cerita 20 tahun lalu.

Hari ini, seberapa sering panel diskusi menampilkan penulis media massa bersanding dengan blogger. Ya blogger itu kan kira-kira dapat dibandingkan dengan penulis catatan harian, hanya saja karyanya terpublikasikan melalui internet, bukan disimpan dalam laci meja belajar.

Apakah jadi blogger tidak butuh skill set? Minimal baca-tulis sih iya. Tapi, seberapa ketat blogger dengan tata bahasa baku? Seberapa peduli penulisnya dengan langgam dan gaya bahasa? Belum lagi tentang etika, apakah dia pernah mengetahui kode etik jurnalistik? Seberapa paham dia tentang macam-macam fungsi dan peran pers? Dan, apakah ada sekali saja terbetik dalam benaknya untuk memikirkan hal-hal ini?

Saya melihat, pride dan eksistensi penulis profesional terganggu. Zaman saya kuliah, saya mengagumi penulis-penulis profesional tertentu. Umumnya mereka bernaung di bawah media besar. Tapi sekarang, saya mungkin lebih kenal nama-nama blogger yang aktif dan kontennya menarik, ketimbang penulis-penulis profesional yang entah kenapa mungkin belum menyamai pencapaian generasi-generasi terdahulu. Atau, mungkin saya saja yang kurang menaruh perhatian. Entahlah.

Yang lebih mengkhawatirkan, dari sisi ekonomi, penulis-penulis profesional ini pun terancam. Pundi-pundinya tergerus oleh penulis-penulis amatir yang bersenang-senang dengan blog dan berbagai macam konten digital lainnya. Mungkin ini terlalu menyederhanakan, tapi gejala ini sudah sangat terasa.

Secara singkat, kalau profesionalisme hanya diartikan sebagai status, maka selesailah sudah. Di era digital sekarang ini, orang tak lagi peduli status. Yang penting hasil karya. Dan, celakanya lagi, dengan kemudahan teknologi, berapa banyak karya seorang amatir yang look dan feel-nya tak kalah dibandingkan karya seorang profesional. Malah, institusi-institusi (yang seharusnya) mapan pun kini mengeluarkan karya yang “keamatir-amatiran”. Bisa dilihat, ada stasiun televisi yang memutar video Youtube atau koran yang memuat tulisan blog. Ternyata, look dan feel amatir itu kini juga ada penggemarnya. Dan, yang jelas, ke mana cuan mengalir, ya ke situ orang pergi.

Kalau sudah begini, saya teringat cerita akan seseorang yang sedang tiduran bermalas-malasan di bawah pohon kelapa tepi pantai. Seorang kaya melintas dan tak tahan melihat kelakuan si pemalas. Dia menegur, “Hei Bung, kenapa kamu tiduran saja? Bukankah ada banyak hal yang dapat kamu lakukan?”

Si orang tersebut dengan acuh tak acuh menjawab, “Emang saya harus ngapain?”

Si kaya menjelaskan, “Kan kamu bisa ikut kapal dan bekerja menangkap ikan. Dari situ, kamu akan punya duit. Kumpulkan sedikit demi sedikit sehingga kamu nanti bisa punya kapal sendiri. Kalau kamu rajin, usahamu berkembang. Menabunglah dan kumpulkan duit lebih banyak lagi. Nanti kau akan bisa menikmati hasilnya. Kau bisa berlibur, bersantai di tepi pantai...”

Orang tersebut menanggapi dengan santai, “Lha kamu kira aku sekarang sedang ngapain?”

Saya tidak dalam posisi untuk mengatakan yang satu lebih baik ketimbang yang lain. Yang saya pelajari, yang penting bukanlah status, tapi attitude. Karena menyangkut skill, yang terpenting adalah terus diasah dan digunakan. Buat apa ngaku-ngaku penulis kalau tidak pernah berkarya. Tak pusinglah menjadi seorang amatir, tapi attitudedan karyanya profesional. Apalagi kalau cuan-nya profesional, siapa yang tak mau, hehehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun