Sekarang ini, batasan antara amatir dan profesional pada profesi-profesi yang terkait dengan kreativitas kian kabur. Dulu, dengan gampang kita membedakan antara seorang penulis atau jurnalis, fotografer, filmmaker yang profesional dengan yang amatir. Pemicunya mungkin masih bisa didiskusikan lagi, apakah karena faktor teknologi, dengan hadirnya teknologi digital, atau karena generasinya memang begitu, kalau menilik karakter Gen Y.
Ada beberapa hal yang perlu diluruskan dulu. Pertama, per definisi, profesional menurut KBBI IV adalah menyangkut profesi, membutuhkan kepandaian khusus, dan mengharuskan ada pembayaran. Kalau di Wikipedia, disebutkan profesional adalah istilah bagi seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya.
Jadi ada keahlian dan ada bayaran. Sesederhana itu.
Sementara itu, amatir, menurut KBBI IV, merupakan kegiatan yang dilakukan atas dasar kesenangan dan bukan untuk memperoleh nafkah.
Ketika saya selesai kuliah, boleh dibilang batas antara profesional dan amatir itu sangat jelas dan tegas. Untuk profesi yang saya tekuni, yaitu penulis, kalau sudah menyangkut media-media besar ya harus memiliki skill set yang mumpuni. Belum lagi soft skill, yang saya bentuk dengan menempuh pendidikan dan menempa diri dengan pengalaman. Itulah “harga” yang harus saya bayar untuk dapat memperoleh “status” profesional.
Tak heran, yang kemudian berkembang adalah semacam pride atas eksistensi, “Ini lho gue, seorang profesional.” Dan, memang, seorang penulis profesiona nyaris dalam hal apa pun tidak bisa disamai oleh seorang amatir. Ya pasti beda. Mana ada ceritanya penulis kaliber media massa nasional disamakan dengan penulis catatan harian.
Itu cerita 20 tahun lalu.
Hari ini, seberapa sering panel diskusi menampilkan penulis media massa bersanding dengan blogger. Ya blogger itu kan kira-kira dapat dibandingkan dengan penulis catatan harian, hanya saja karyanya terpublikasikan melalui internet, bukan disimpan dalam laci meja belajar.
Apakah jadi blogger tidak butuh skill set? Minimal baca-tulis sih iya. Tapi, seberapa ketat blogger dengan tata bahasa baku? Seberapa peduli penulisnya dengan langgam dan gaya bahasa? Belum lagi tentang etika, apakah dia pernah mengetahui kode etik jurnalistik? Seberapa paham dia tentang macam-macam fungsi dan peran pers? Dan, apakah ada sekali saja terbetik dalam benaknya untuk memikirkan hal-hal ini?
Saya melihat, pride dan eksistensi penulis profesional terganggu. Zaman saya kuliah, saya mengagumi penulis-penulis profesional tertentu. Umumnya mereka bernaung di bawah media besar. Tapi sekarang, saya mungkin lebih kenal nama-nama blogger yang aktif dan kontennya menarik, ketimbang penulis-penulis profesional yang entah kenapa mungkin belum menyamai pencapaian generasi-generasi terdahulu. Atau, mungkin saya saja yang kurang menaruh perhatian. Entahlah.
Yang lebih mengkhawatirkan, dari sisi ekonomi, penulis-penulis profesional ini pun terancam. Pundi-pundinya tergerus oleh penulis-penulis amatir yang bersenang-senang dengan blog dan berbagai macam konten digital lainnya. Mungkin ini terlalu menyederhanakan, tapi gejala ini sudah sangat terasa.