Mohon tunggu...
Mahansa Sinulingga
Mahansa Sinulingga Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta.

Ikuti saya di blog mahansa.wordpress.com dan Twitter @mahansa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paradoks Produktivitas

12 Oktober 2016   19:29 Diperbarui: 12 Oktober 2016   19:37 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aplikasi-aplikasi pendukung produktivitas di Play Store. (Sumber: screen capture dari ponsel sendiri; bukan comot dari karya orang)

Kondisi inilah yang saya maksud dengan istilah keren pada awal tulisan: paradoks produktivitas.

Peralatan yang semakin lengkap ternyata bukannya membuat semakin rajin, tetapi malah bikin terdistraksi. Justru, dengan peralatan yang minim dan seadanya, produktivitas terpacu. Saat masih menggunakan mesin tik titipan, saya selalu berpikir bahwa saya harus mengoptimalkan alat tersebut saat itu juga sebelum si empunya mengambilnya kembali. Sedangkan saat sudah memiliki komputer sendiri yang lengkap, saya justru terlena dan berpikir, tenang saja, saya bisa bekerja kapan saja. Toh, semua sudah tersedia. Ck ck ck...

Bukan hal baru

Sebelum menulis artikel ini, saya coba googling untuk mencari tahu, apakah sudah pernah ada yang menggunakan istilah paradoks produktivitas. Ternyata, istilah ini sudah dikenal sekurangnya sejak dekade 1970-an dan 1980-an. Pada periode tersebut, di AS banyak perusahaan melakukan investasi besar-besaran untuk teknologi informasi. Namun, ternyata, investasi itu tidak sebanding dengan tingkat produktivitas. Maka, dikenallah Paradoks Komputer Solow, yang mengacu pada pernyataan ekonom Robert Solow. Pada tahun 1987, ia mengatakan, “Anda dapat melihat zaman komputer di mana-mana, kecuali pada statistik produktivitas.”

Terkait paradoks tersebut, terdapat silang pendapat tentang analisis dan ukuran produktivitas yang dimaksud. Faktanya, memang investasi teknologi membutuhkan biaya besar. Bukan cuma untuk alat, tetapi juga untuk melatih orang-orang yang menggunakannya serta perawatannya. Itu sebabnya, ekspektasi terhadap output alias tingkat produktivitas harus jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum investasi teknologi dilakukan.

Kalau ternyata banyak yang gagal meningkatkan produktivitas, apakah ini “penyakit” teknologi? Barangkali tidak. Bagaimana pun teknologi hanyalah alat. Bermanfaat atau optimal-tidaknya alat tersebut sangat tergantung pada orang yang menggunakannya. Dibutuhkan komitmen dan konsistensi pengguna. Seperti penggunaan aplikasi produkvitas yang saya contohkan di atas. Ya memang tidak ada artinya bikin checklist atau reminder kalau tidak benar-benar dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun