Tiba-tiba saja, saya tertumbuk pada istilah yang terdengar keren ini: paradoks produktivitas (productivity paradox).
Sejujurnya, saya belum pernah membaca literatur apa pun seputar istilah ini. Tiba-tiba saja muncul di kepala dan rasanya tepat untuk menggambarkan situasi yang kerap saya alami.
Jadi, ceritanya begini. Sejak lama saya merasa, berbagai kemudahan yang saya peroleh dengan bantuan teknologi ternyata tidak serta-merta meningkatkan produktivitas.
Pada saat saya kuliah di Bandung dan nge-kos di kawasan Sekeloa awal dekade 1990-an, saya membeli mesin tik merek Brother di Jalan Banceuy. Saya butuh mesin tik untuk bikin tugas dan laporan kuliah. Zaman itu, komputer masih barang mahal. Jadi, masih banyak yang ketik-mengetik secara manual.
Apa daya, belum ada setahun, mesin tik itu raib digondol maling. Saya pun terpaksa minjam sana-sini kalau mau membuat laporan.
Suatu kali, seorang kawan yang pindahan tempat kos menitipkan mesin tiknya. Saya lupa mereknya, tapi yang jelas lebih jelek dibandingkan saya punya. Mesin tik kawan ini hurufnya kecil-kecil dan tutsnya keras. Tapi saya sangat bersyukur karena tak perlu repot minjam ke sana-sini. Apalagi, sekian lama, si kawan yang menitipkan tak pernah menanyakan keberadaan mesin tiknya. Saya pun tak berusaha untuk mengingatkan.
Ternyata, masa-masa menggunakan mesin tik titipan ini merupakan periode paling produktif saya menulis. Bukan cuma membuat laporan kuliah dan tugas-tugas, dengan mesin tik ini saya menghasilkan sejumlah artikel dan resensi buku yang dimuat di surat kabar. Berkat mesin tik ini, saya mendapatkan honorarium yang lumayan untuk menambah uang saku.
Menjelang lulus kuliah, saya mendapat kucuran dana sehingga bisa membeli satu set komputer lengkap dengan printer. Namun, alih-alih lebih produktif, nyaris tidak ada tulisan yang saya hasilkan dengan komputer ini—kecuali skripsi yang dibuat dengan terpaksa. Komputer ini justru lebih banyak digunakan untuk memainkan game Championship Manager 2 yang sedang populer-populernya pada paruh kedua dekade 1990-an itu.
Begitu pun saat ini, saya termasuk getol menjajal berbagai aplikasi yang digadang-gadang dapat meningkatkan produktivitas, antara lain aplikasi office suite, kalender, note taking, atau to-do-list. Ada macam-macam keunggulan yang ditawarkan, mulai dari berbasis cloud sehingga bisa diakses dari berbagai platform atau beberapa device sekaligus, hingga otomatisasi proses yang sangat memudahkan, dan tampilan yang intuitif.
Saya paling suka membuat checklist dan reminder. Namun, yang biasanya terjadi kemudian, checklist itu dilupakan dan tak dilihat-lihat lagi. Sementara itu, reminder yang berbunyi biasanya langsung di-snooze atau malah dimatikan tanpa menyelesaikan tugas yang di-remind.
Padahal, setiap kali ganti gadget, salah satu alasannya yaitu agar dapat menjalankan aplikasi tertentu untuk meningkatkan produktivitas. Biasanya, dalam hati berjanji-janji, kalau nanti sudah ganti gadget akan lebih rajin dan produktif dengan bantuan aplikasi. Nyatanya, setelah gadget baru dalam genggaman dan aplikasi dimaksud sudah bisa diinstall, tetap saja tak lebih dari sekadar coba-coba dan hot-hot-chicken-shit (baca: hangat-hangat-tahi-ayam). Habis itu, ya lupa lagi janji-janji tadi.