Mohon tunggu...
Mahansa Sinulingga
Mahansa Sinulingga Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta.

Ikuti saya di blog mahansa.wordpress.com dan Twitter @mahansa.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Apa yang Salah dengan “Self-Proclaimed Expert”

2 Februari 2016   19:56 Diperbarui: 2 Februari 2016   20:04 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehadiran internet dan media sosial memang menjungkirbalikkan pemahaman tentang media yang selama puluhan tahun dipahami. Dulu, pers sempat dianggap sebagai “the fourth estate” alias kekuatan sosial-politik keempat, setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Terkait kebebasan pers, John Milton dan John Stuart Mill mengemukakan gagasan tentang pasar bebas ide. Namun, memang tidak setiap orang dapat bersuara.

Contoh di Tanah Air, ada masa di mana pers menjadi pers perjuangan dan corong politik aliran. Belakangan, karena bagaimana pun pers juga adalah bisnis, hanya yang bermodal kuatlah yang bertahan dan berkembang. Waktu pun menyaring media-media yang kemudian menjadi media arus utama. Posisi media menjadi kuat dan menentukan. Media menjadi otoritas yang menentukan, opini mana yang patut dan layak disuarakan.

Intelektual dan seniman antara lain menjadi contoh yang sulit menyatakan suaranya melalui karya yang dimuat di media. Keterbatasan ruang dan waktu menjadi alasan untuk tidak memuat karya itu. Apalagi kalau isinya bertentangan dengan kebijakan media, sudah dipastikan mereka tidak akan pernah mendapat tempat.

Kehadiran internet memecah kebuntuan itu. Kini, setiap orang memiliki media dan dapat bersuara apa saja. Inilah zaman di mana seorang Jonru dapat membangun “umat”. Peluang untuk langsung menjangkau khalayak terbuka lebar, asalkan tahu memanfaatkannya. Dan, Gary memberikan contoh dan panduan praktis melakukannya.

Pada era media arus utama, media dapat menjadikan seseorang sebagai tokoh. Ini simbiosis mutualisme. Intelektual, seniman, atau politisi butuh media, sedangkan media butuh narasumber. Kalau klop, amanlah sudah. Bagaimana kalau tidak pernah dilirik media? Ya susah. Coba dan coba lagi, kali-kali saja bisa. Tentang hal ini, media arus utama berdalih, opini mereka tidak mengandung hal baru, kurang bermutu, analisisnya kurang tajam, atau kalau sudah tidak ada alasan lain, ya pakai alasan keterbatasan ruang dan waktu. Mau apa lagi?

Itu sebabnya, kalau ada intelektual atau seniman yang karyanya dimuat, itu menjadi pengakuan atas “kepakaran”. Orang itu dianggap layak untuk didengarkan. Bandingkan dengan yang dilakukan Gary. Tak ada yang mengenalnya. Tapi, karena tak kenal lelah, akhirnya ia bisa membangun pengikut dan pelan-pelan terangkat dan dikenal publik.

Bukankah itu juga yang kita lakukan di Kompasiana ini? Siapa pun dapat menulis dan menyuarakan pendapatnya di sini.  Apakah kita sudah pantas dianggap pakar—menurut standar media arus utama? Silakan dijawab sendiri.

Jadi, pertanyaannya, apa yang salah menjadi “self-proclaimed expert”? Platform berbasis internet bisa dibilang pasar bebas ide ala Milton yang sesungguhnya. Tinggal, seberapa keras usaha kita agar suara kita didengar.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun