Mohon tunggu...
Mahansa Sinulingga
Mahansa Sinulingga Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta.

Ikuti saya di blog mahansa.wordpress.com dan Twitter @mahansa.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Apa yang Salah dengan “Self-Proclaimed Expert”

2 Februari 2016   19:56 Diperbarui: 2 Februari 2016   20:04 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Self-proclaimed expert. (Photo by Pixabay.com)"][/caption]Saya baru membaca artikel lama tentang Gary Vaynerchuk di Fortune. Intinya, menurut tulisan itu, Gary bisa menjadi social media guru karena aktif mempromosikan diri melalui berbagai platform di internet. Promosinya boleh dibilang sangat “telanjang” dan “terus terang”, misalnya dia suka bilang, “F**cking follow me, right now”.

Bahkan ketika Gary menjadi salah satu juri kontes Miss America ke-88 tahun silam, bersanding dengan nama-nama tenar mantan model dan tokoh olahraga, boleh dibilang masih banyak orang yang belum mengenalnya. Ia terhitung jarang mendapat ekspos di televisi. Namun, kalau di internet, Gary adalah selebritas. Seperti dikatakan host podcast Entre Leadership, Ken Coleman, ia ada di mana-mana. Blog, podcast, Facebook, Twitter, Instagram, Periscope, Medium, Snapchat... You name it-lah.

Siapa sih Gary Vaynerchuk?

Mengutip Fortune, Gary kelahiran Belarus dan beremigrasi ke AS pada 1978. Ia tinggal di New Jersey, di mana ayahnya membuka toko anggur. Ketika internet mulai banyak digunakan pada awal 1990-an, Gary masih duduk di bangku kuliah. Ia lalu punya ide untuk mengembangkan bisnis ayahnya. Pada 1997, ia membangun WineLibrary.com, yang menjadi salah satu situs e-dagang anggur yang pertama.

Selesai kuliah, ayahnya memberi kebebasan pada Gary untuk mengembangkan bisnis. Nama toko diganti menjadi Wine Library. Gary juga aktif mempromosikan tokonya melalui internet, di samping melalui media tradisional. Ternyata, Gary berhasil melipatgandakan penghasilan tahunan tokonya dari 3 juta dollar menjadi 45 juta dollar pada 2003.

Pada 2006, Gary melakukan terobosan dengan meluncurkan Wine Library TV, pertunjukan uji anggur yang ditampilkan di Youtube. Dengan kamera seadanya dan penampilan yang sangat santai, Gary menjelaskan berbagai macam anggur. Acara ini ternyata menarik perhatian orang hingga pada puncaknya setiap episode bisa ditonton lebih dari 100 ribu orang.

Dalam acara itu, Gary acap mengundang bintang tamu dari orang biasa hingga selebritas. Sejumlah orang dari industri anggur mencela Gary karena menganggapnya merendahkan seni mengapresiasi anggur. Namun, Gary berdalih bahwa melalui acaranya ia justru menciptakan pencinta-pencinta baru anggur.

Belakangan, yang menonjol dari Wine Library TV bukan lagi soal anggur, tetapi sosok Gary. Ia sukses membangun brand personality. Tak heran jika “umat”-nya bertambah dan ia mendapatkan kontrak senilai tujuh digit untuk menulis serial buku. Bukan lagi soal anggur, tapi tentang motivasi, bisnis, pemasaran, dan kepemimpinan. Ia juga menerima banyak tawaran menjadi pembicara. Saat yang tepat bagi Gary untuk mengepakkan sayap bisnis yang lain.

Pada 2011 ia menyudahi Wine Library TV. Ia memulai acara baru yang disebut #AskGaryVee, di mana ia menjawab pertanyaan apa saja, utamanya seputar pengembangan karier dan pemanfaatan media sosial. Ia juga membangun perusahaan baru, VaynerMedia, yang bergerak di bidang agensi digital.

Tak ada yang menyangkal kesuksesan Gary. Namun, banyak kritik yang menyebutkan bahwa kesuksesannya berkat promosi yang tak kenal lelah di media sosial. Meski tidak semua setuju Gary dianggap membawa paradigma baru dalam dunia media, tetapi mereka mengakui keunikan pendekatannya. Seperti ditulis Fortune, “Ia mewakili promosi tanpa malu... Tapi itu benar-benar populer, dan itu mudah dimengerti. Seperti musik pop.” Penggunaan media sosial, di samping media tradisional, bukanlah hal baru bagi perusahaan-perusahaan PR besar. Namun, Gary justru fokus pada hal itu. Ia membujuk klien-kliennya untuk mengalihkan budget pemasaran ke media sosial.

Cukuplah tentang Gary Vaynerchuk.

Kehadiran internet dan media sosial memang menjungkirbalikkan pemahaman tentang media yang selama puluhan tahun dipahami. Dulu, pers sempat dianggap sebagai “the fourth estate” alias kekuatan sosial-politik keempat, setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Terkait kebebasan pers, John Milton dan John Stuart Mill mengemukakan gagasan tentang pasar bebas ide. Namun, memang tidak setiap orang dapat bersuara.

Contoh di Tanah Air, ada masa di mana pers menjadi pers perjuangan dan corong politik aliran. Belakangan, karena bagaimana pun pers juga adalah bisnis, hanya yang bermodal kuatlah yang bertahan dan berkembang. Waktu pun menyaring media-media yang kemudian menjadi media arus utama. Posisi media menjadi kuat dan menentukan. Media menjadi otoritas yang menentukan, opini mana yang patut dan layak disuarakan.

Intelektual dan seniman antara lain menjadi contoh yang sulit menyatakan suaranya melalui karya yang dimuat di media. Keterbatasan ruang dan waktu menjadi alasan untuk tidak memuat karya itu. Apalagi kalau isinya bertentangan dengan kebijakan media, sudah dipastikan mereka tidak akan pernah mendapat tempat.

Kehadiran internet memecah kebuntuan itu. Kini, setiap orang memiliki media dan dapat bersuara apa saja. Inilah zaman di mana seorang Jonru dapat membangun “umat”. Peluang untuk langsung menjangkau khalayak terbuka lebar, asalkan tahu memanfaatkannya. Dan, Gary memberikan contoh dan panduan praktis melakukannya.

Pada era media arus utama, media dapat menjadikan seseorang sebagai tokoh. Ini simbiosis mutualisme. Intelektual, seniman, atau politisi butuh media, sedangkan media butuh narasumber. Kalau klop, amanlah sudah. Bagaimana kalau tidak pernah dilirik media? Ya susah. Coba dan coba lagi, kali-kali saja bisa. Tentang hal ini, media arus utama berdalih, opini mereka tidak mengandung hal baru, kurang bermutu, analisisnya kurang tajam, atau kalau sudah tidak ada alasan lain, ya pakai alasan keterbatasan ruang dan waktu. Mau apa lagi?

Itu sebabnya, kalau ada intelektual atau seniman yang karyanya dimuat, itu menjadi pengakuan atas “kepakaran”. Orang itu dianggap layak untuk didengarkan. Bandingkan dengan yang dilakukan Gary. Tak ada yang mengenalnya. Tapi, karena tak kenal lelah, akhirnya ia bisa membangun pengikut dan pelan-pelan terangkat dan dikenal publik.

Bukankah itu juga yang kita lakukan di Kompasiana ini? Siapa pun dapat menulis dan menyuarakan pendapatnya di sini.  Apakah kita sudah pantas dianggap pakar—menurut standar media arus utama? Silakan dijawab sendiri.

Jadi, pertanyaannya, apa yang salah menjadi “self-proclaimed expert”? Platform berbasis internet bisa dibilang pasar bebas ide ala Milton yang sesungguhnya. Tinggal, seberapa keras usaha kita agar suara kita didengar.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun