Mohon tunggu...
Mahansa Sinulingga
Mahansa Sinulingga Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis yang tinggal di Bekasi dan bekerja di Jakarta.

Ikuti saya di blog mahansa.wordpress.com dan Twitter @mahansa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ber-“Vivere Pericoloso” di Era Digital

28 Oktober 2015   09:08 Diperbarui: 28 Oktober 2015   09:08 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Jiwa muda penuh semangat, harus berani menyerempet bahaya. (sumber foto: Pixabay.com)"][/caption]Ketika saya kuliah dulu pada awal tahun 1990-an, namanya masih muda, masih semangat-semangatnya mengusung idealisme. Tentu saja butuh “bahan bakar” berupa “ideologi” dan panutan. Berhubung kala itu internet belum ada, maka yang diubek-ubek adalah buku-buku jadoel di toko buku bekas atau perpustakaan.

Belajar dari sejarah dan kiprah para pendiri bangsa, saya ketemu dengan istilah vivere pericoloso. Istilah ini digunakan Bung Karno pada pidato kenegaraan 17 Agustus 1964 yang berjudul “Tahun Vivere Pericoloso (Tavip) atau Tahun Menyerempet Bahaya. Istilah dalam bahasa Italia ini secara langsung dapat diartikan sebagai “hidup dalam bahaya” atau “living dangerously”. Istilah ini kemudian menjadi sangat populer pada 1964-1965. Oya, aku juga mengenal setidaknya dua orang yang bernama “Tavip”, dan mereka memang lahir sekitar periode tersebut.

Pada masa itu, konteksnya tentu saja berbeda dengan zaman sekarang. Waktu itu lagi terjadi “perang ideologi”. Dalam pidatonya, Bung Karno mengingatkan bahwa ada ranjau revolusi dan keberanian menjadi penting untuk menghadapi krisis serta kemandirian sebagai fondasi demokrasi. Terkait ancaman revolusi, ia menuding ada kekuatan-kekuatan reaksioner dan apa yang disebutnya “setan multiparty system”. Bukannya antipolitik, tapi yang tidak disukai Bung Karno yaitu praktik-praktik menunggangi partai politik untuk memperkaya diri dan melampiaskan ambisi-ambisi perseorangan (kayaknya yang ini masih relevan hingga kini ya).

Aku ingat, ada sumber lain di mana aku baca Jenderal Besar AH Nasution dalam satu kesempatan berbicara di hadapan mahasiswa dan berpesan bahwa mahasiswa harus ber-vivere pericoloso. Harus berani menyerempet bahaya. Keruan saja, bahan-bahan ini aku olah lagi menjadi bahan diskusi dan tulisan di kampus. Bagaimana pun jiwa muda memang paling tidak bisa ditantang. Mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini pasti terbakar semangatnya.

Sekian tahun berlalu, kemarin mendadak aku harus bikin tulisan singkat untuk mengisi space yang tersisa. Topiknya seputar generasi muda sekarang. Ungkapan vivere pericoloso menjadi hal pertama yang terlintas dalam kepala. Tapi, konteks seperti periode tahun 1960-an dan 1990-an rasanya sudah tidak relevan.

Anak muda zaman sekarang merupakan generasi yang disebut juga Generasi Y atau Generasi Milenial, yaitu mereka yang lahir pada awal 1980-an hingga awal 2000-an. Secara teknologi, generasi ini tak kenal lagi peranti-peranti analog. Mereka besar ketika Google sudah meraja, ketika semua orang sudah menggunakan smartphone. Bersosialisasi bagi mereka berarti tegur sapa di media sosial atau aplikasi pesan singkat.

Gen Y juga punya “masalah” di dunia kerja. Mereka dianggap tidak bisa diatur, seenaknya, tidak serius, tapi kreatif. Kelekatannya dengan media sosial bisa dianggap peluang atau malah masalah. Tak heran, masalah Gen Y ini menjadi bahan diskusi tersendiri di sekolah-sekolah manajemen. Kayaknya pada mulai sepakat bahwa keunikan generasi ini jangan dianggap (semata) masalah, tetapi peluang menarik jika bisa dikelola dengan tepat.

Era digital sekarang juga digembar-gemborkan sebagai zamannya ekonomi kreatif. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda sekarang. Kalau mau sukses dengan kreativitas maka ajakan ber-vivere pericoloso kembali relevan.

Yup, mumpung masih muda, generasi muda memang harus berani hidup dalam bahaya. 5 saran berikut patut disimak oleh generasi muda zaman sekarang. Pertama, berani mengambil risiko.  Selagi masih belum punya tanggungan, periode ini menjadi kesempatan untuk menjajal berbagai tantangan dan menghadapi berbagai risiko. Beda kalau nanti (seperti aku) sudah berkeluarga, punya anak, dan harus mikirin ini-itu (lho kok jadi curhat?).

Kedua, manfaatkan media sosial. Sekarang zamannya Facebook, Twitter, Instagram, dan banyak lagi. Beragam platform itu dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan positif dan bermanfaat. Kuasai pemanfaatannya dan gunakan semaksimal mungkin untuk mengembangkan bisnis dan karier. Selain dapat memperluas hubungan sosial, dalam bisnis, media sosial juga dapat dimanfaatkan untuk berpromosi dan menjalin hubungan yang lebih erat dengan pelanggan.

Ketiga, mencari mentor. Salah satu kelemahan utama seorang muda adalah miskin pengalaman. Hal itu dapat diatasi antara lain dengan menerima masukan dan saran dari orang-orang yang lebih berpengalaman. Jangan ragu dan malu untuk belajar. Mentor yang baik akan membantu untuk menghadapi berbagai tantangan.

Keempat, manfaatkan semua sumber daya yang memungkinkan. Generasi sekarang sangat dimanjakan oleh melimpahruahnya informasi, yang juga menjadi sumber ilmu yang kaya. Belum lagi dengan maraknya berbagai komunitas dan kelompok berdasarkan minat, berbagi ilmu kini bukan lagi hal yang sulit. Sekali lagi, manfaatkan dengan maksimal semua sumber daya tersebut.

Kelima, bersiaplah untuk gagal. Penulis sukses Robert Kiyosaki bahkan berujar, usahakan untuk bangkrut sebelum usia 30 tahun. Pasalnya, ada banyak hal yang bisa dipelajari dari kegagalan. Dan, seseorang akan lebih berhati-hati untuk tidak gagal apabila sudah memiliki tanggungan. Sementara masih muda, carilah pengalaman sebanyak-banyaknya, bahkan jika hal itu harus berupa kegagalan yang pahit.

Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda dan menjadi generasi muda yang ber-vivere pericoloso!

* Catatan: sebagian tulisan ini juga dimuat pada Inspiratorial Generasi Muda di Kompas, Rabu (28/10/2015) hlm 24.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun