Tinggal 2 hari lagi, Jumat, 4 September 2015, album baru Iron Maiden yang bertajuk The Book of Souls akan diluncurkan.
Saat pertama kali mendengar kabar Iron Maiden mau mengeluarkan album baru, responsku adalah: Alamak! Yang benar aja! Apakah 15 album yang sudah keluar selama ini masih kurang?
Namanya fans, kadang suka kombur nggak jelas. Entah dapat info dari mana, konon katanya The Final Frontier (2010) itu merupakan album terakhir Maiden. Tengok saja, namanya pakai kata “final”. Dan, konon juga, Steve Harris memang merencanakan hanya mengeluarkan 15 album sepanjang karier Maiden.
Meski kebenarannya nggak bisa dipertanggungjawabkan, fans senang saja berkombur seperti ini. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang merasa udah paling kenal sama Harris cs, atau paling tahu segalanya. Di situlah serunya menjadi fans.
Terserahlah. Mau si Harris selama ini bokis atau nggak, yang jelas album ke-16 ini sudah siap untuk diluncurkan. Jadi, apa yang (bisa) kita harapkan dari album baru Maiden ini?
Menjelang peluncurannya, ada kabar yang tidak mengenakkan. Dickinson divonis mengalami kanker. Ada tumor di belakang lidah yang memaksa Dickinson menjalani kemoterapi dan radisi selama tujuh minggu. Beruntung, pada 15 Mei, muncul berita bahwa dokter menyatakan Dickinson “all-clear”.
Nyatanya, album ini sudah direkam sejak sebelum Dickinson sakit. Bahkan, pada Februari 2015, Nicko bilang bahwa album ini telah setelah rampung. Jadi, sakitnya Dickinson hanya menunda peluncurannya saja, tidak sampai mengganggu proses rekaman. Pada 18 Juni, muncul kabar resmi tentang tanggal peluncuran, yaitu 4 September, dari album yang kemudian diberi tajuk The Book of Souls.
Kurang greget
Kebanyakan grup-grup besar yang masih aktif mengeluarkan album baru, biasanya rilisannya kurang greget atau tidak ada gebrakan baru. Jangan salah, bukan berarti jelek. Bahkan, secara teknis bisa dibilang makin matang dan mumpuni. Hanya saja, tidak lagi meledak-ledak seperti waktu masih culun di usia 20-an dulu.
Dan, memang, usia para penggawa Maiden tidak lagi muda. Dickinson dkk kini berusia 58 atau 59 tahun. Nicko, yang tertua, kini bahkan sudah menembus kepala enam, tepatnya 63 tahun.
Gejala kurang greget ini sudah aku rasakan sejak Brave New World (2000) yang menandai kembalinya Dickinson dan Smith. Sebenarnya, buat aku pribadi, Maiden sudah “selesai” sejak mengeluarkan Seventh Son of a Seventh Son (1988). Soalnya, sesudah itu aku kepincut pada thrashmetal. Pasang-surut Maiden dengan keluarnya Smith, disusul kemudian Dickinson, dan masuknya Gers dan Bayley membuat aku makin jauh. Tetapi, masuknya kembali Dickinson dan Smith yang stabil hingga kini dengan formasi trio gitar membuat aku kembali pada “cinta mula-mula”.
Bagaimana pun, cuma ada satu album yang bertajuk The Number of the Beast (1982), album yang melontarkan Maiden sebagai supergrup dunia. Lagu sekelas “Hallowed be Thy Name” yang didapuk sebagai lagu heavymetal terbaik sepanjang masa juga cuma ada satu. Belum lagi, anthem song seperti “The Trooper” atau “Two Minutes to Midnight”, rasanya sulit untuk diulang. Sejarah tidak bisa diulang. Ini bisa jadi satu sudut pandang untuk menilai.
Atau, memang, penjelajahan musik dan kreativitas Maiden sudah berakhir. Sentuhan midas Harris atau duet maut Smith-Dickinson tak lagi ampuh. Jadi, rekaman-rekaman yang muncul belakangan tak lain hanya catatan kaki dari 4 album dari periode emas (1981-1984), yaitu Killers (1981), The Number of the Beast (1982), Piece of Mind (1983), dan Powerslave (1984). Ini memang periode terdahsyat Maiden. Mereka begitu produktif (tiap tahun meluncurkan album) dan konser-konsernya juga laris manis yang terekam dalam double live album Live after Death (1985).
Ini yang kerap dirasakan oleh banyak pendengar. Kok lagu yang ini mirip dengan lagu yang itu ya... Jadinya, hanya pengulangan saja. Tidak ada musik yang benar-benar baru. Yeah, Maiden juga memang bukan dewa yang bisa terus-terusan mencetak hits.
Imho, kata sejumlah pakar manajemen, sukses itu (sebenarnya) punya formula. Kalau sudah ketemu polanya, ya ikuti saja. Dijamin pasti sukses. Kira-kira seperti itulah maka Maiden juga punya sejumlah formula.
Yang paling kental dan khas Maiden adalah pola rhythm seperti gallop alias derap kuda. Ini terutama dibentuk oleh kombinasi drum Nicko dan cabikan bas Harris. Ritem gitar mengisi layer di atas pola yang sudah terbentuk itu. Simak yang paling kental misalnya di “The Trooper”, atau versi yang lain di “Alexander the Great”, atau yang lebih lambat di “Seventh Son of a Seventh Son”. Begitu khas.
Selain itu, mestinya di tiap album ada satu lagu hits yang enak buat sing along, seperti “Wasted Years” di Somewhere in Time (1986), “2 Minutes to Midnight” di Powerslave, atau “Rainmaker” di Dance of Death (2003). Lagu hits ini biasanya tidak terlalu panjang (radio friendly?) dan punya riff yang catchy. Ini cocok untuk konser. Selain itu, umumnya ada lagu yang menjadi judul/tema album. Biasanya cukup panjang dan (biasanya juga) ditulis oleh Harris.
Selanjutnya lagi, ada lagu epik yang panjangnya kadang nggak kira-kira, seperti “Rime of the Ancient Mariner” sepanjang 13 menit 45 detik, “Seventh Son of a Seventh Son” sepanjang 9 menit 52 detik, atau “Alexander the Great” sepanjang 8 menit 35 detik. Dalam kasus “Seventh Son of a Seventh Son”, lagu epik nan panjang ini sekaligus menjadi lagu judul album.
Ciri lain, mestinya ada lagu yang bertempo cepat dengan tema perang atau pertempuran, seperti the “The Trooper”, “Aces High”, atau “Tailgunner”. Sejarah, peperangan, dan mitologi memang menjadi bahan baku Maiden untuk digodok menjadi lagu-lagu superkeren.
Namun, di beberapa album terakhir, formula ini tidak terlalu ketat lagi diikuti. Bahkan, boleh dibilang 4 album terakhir cenderung monoton. Nyaris sama, begitu-begitu saja. Lagu-lagunya panjang nggak jelas, beda dengan album-album awal, yang meskipun panjang terasa nikmat dikunyah. Memang sih, masih ada saja satu atau dua lagu yang nyangkut di kuping, seperti “The Talisman” dari The Final Frontier menurutku sangat kuat dan sangat Maiden.
Menjajal teaser
Sekarang sudah lazim, sebelum mengeluarkan album baru, ada klip video yang dijadikan teaser dirilis di Youtube, seperti halnya Rhapsody kemarin merilis “Prometheus”. Maiden pun merilis “Speed of Light” di YouTube pada 14 Agustus kemarin.
Nah, teaser ini lumayan bikin terperangah. Waktu Maiden merilis “The Reincarnation of Benjamin Breeg” sebagai teaser A Matter of Life and Death (2006), i was like WTF? Apaan nih? Dan, ternyata albumnya benar-benar bikin puyeng. Begitu juga dengan “El Dorado” yang jadi teaser The Final Frontier, sebelas-dua belas lah.
“Speed of Light” mengingatkan lagi masa-masa awal Maiden. Kalo kata salah satu teman yang menjadi penggemar Maiden era-era awal, lagu ini sangat kental nuansa rocknya. Bahkan, intronya pakai suara cow bell segala, yang biasanya menjadi mainan band-band seperti Aerosmith atau Motley Crue, atau GNR eranya Adler. Di Maiden ini jelas barang baru. Mungkin saja Nicko baru beli cow bell dan mau coba-coba :)
Satu hal lagi, sependengaranku, kok riff di intro ini nyamber-nyamber riff-nya “Enter Sandman”-nya Metallica. Terlepas beneran atau cuma kebetulan, ada hal-hal baru yang coba ditawarkan Maiden melalui teaser ini. Jadi, apakah kali Maiden mau ikut formula lama, mau garing-garingan nggak jelas, atau benar-benar punya sesuatu yang baru untuk ditawarkan kepada fans. Oya, menjawab pertanyaan seorang teman, terus harapannya apa? Kalau aku pribadi jelas berharap ada sesuatu yang baru ditawarkan Maiden.
Kita tunggu dua hari lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H