[caption caption="Icha dalam ruangan"][/caption]
Sabtu (22/8) kemarin, aku mengantar Icha untuk terapi hiperbarik di RS THT Proklamasi. Ini adalah terapi ke-10 atau yang terakhir dalam satu seri rangkaian terapi yang dianjurkan.
Kenapa Icha sampai harus diterapi hiperbarik?
Jadi, ceritanya, sejak pulang dari Jepang sampai Lebaran, kita punya proyek renovasi rumah kecil-kecilan. Dibilang kecil, tapi cukup menguras tenaga juga, paling tidak untuk memindah-mindahkan barang. Pada Lebaran kedua, kita juga seharian di luar rumah, berkunjung ke tempat saudara.
Makanya, pada Minggu (19/7), aku usul kita bersantai dulu. Santainya anak muda zaman sekarang apa lagi kalau bukan jalan-jalan ke mal. Ya nggak bisa dibilang santai juga, karena kalau sudah ke mal, Icha tidak bisa diam, pasti jalan kian-kemari.
Nah, Minggu pagi itu, Icha sebenarnya sudah mengeluh, ada yang tidak beres dengan pendengarannya. Berasanya seperti telinga tersumbat kalau lagi bindeng. Meski sudah mencoba menguap dan menggerak-gerakkan rahang, kuping yang kiri tetap berasa tersumbat. Cuma, karena habis itu ke mal, Icha tidak terlalu merasakannya.
Keesokan harinya, Senin (20/7), aku sudah masuk kerja. Siangnya, Icha telepon dan bilang kalo telinganya masih tersumbat dan kayak ada bunyi berdenging. Aku masih bergeming dan bilang, itu barangkali cuma karena mau flu dan kecapekan. Tapi, Icha ngotot minta diperiksa ke dokter. Ya sudah, kebetulan bisa kabur lebih cepat, Senin sore itu kita ke dokter di RS THT Ciranjang.
Kita sama sekali tidak menduga macam-macam. Barangkali cuma flu atau kenapa gitu, lalu dikasih obat dan selesai. Waktu pertama kali ketemu dokter, ia memeriksa penampakan fisik dengan mikroskop yang dipampangkan di layar TV. Pertama, ia memeriksa telinga kanan. "Nah, kalo normal, warnanya keperakan begini, Bu," katanya. Ternyata, ketika yang kiri diperiksa, kondisinya juga sama. Di sini wajah dokter sudah rada berubah. Ia lalu menyuruh Icha untuk periksa audiometri.
Pemeriksaan audiometri menggunakan headphone di dalam sebuah ruang tertutup. Dokter audiometri memberikan instruksi tertentu dan kalau kita mendengarkannya, kita harus memencet tombol. Dengan itu, dokter tahu sampai di mana tingkat pendengaran kita.
Setelah tes audiometri, kita kembali ke dokter THT dengan hasilnya. Dan, dokter pun memberi vonis yang sama sekali tidak kita duga. "Ini emergency, Ibu kalau 2 x 24 jam tidak dirawat, saya tidak bisa jamin pendengarannya pulih kembali. Bisa permanen seperti itu," kata dokter.
Lha, harus dirawat? Aku masih antara percaya tidak percaya. Lho kok gangguan kuping aja harus dirawat? Ketika kami tanya penyakitnya apa, dokter menjawab namanya sudden deafness alias tuli mendadak. Nama susahnya sudden sensorineural hearing loss (SSHL) atau dikenal juga dengan ear stroke. Yup, you got it right, stroke. Stroke kuping. Alamak, apa pula ini? Saat itu, kami benar-benar tidak tahu harus bagaimana, cuma karena dibilang emergency, kami ikut saja apa kata dokter. Aku cuma memastikan bahwa tidak ada tindakan aneh-aneh, hanya dikasih obat.